Cari Karya

Jumat, 12 Oktober 2018

Blurb (sinopsis) "Sepaket Kisah untuk Diriku yang Baru"

Di setiap perjalanan hidup, kita tentu memiliki segudang kisah yang mungkin hanya kita yang mengetahui atau sebagian orang saja yang kita beri tahu. Mulai dari kisah bahagia, kesedihan, haru, canda tawa, hingga kedukaan. Di setiap pergantian usia, pasti kita memiliki satu paket kisah lama yang akan disimpan untuk di kemudian hari dapat dikenang, dan satu paket kisah baru yang masih terbungkus rapi oleh takdir-Nya.

Kisah yang baru inilah yang menjadi rahasia setiap manusia, takdir mungkin boleh jadi sudah menanti kita. Namun, bukankah takdir dapat diubah sesuai dengan seberapa besar usaha manusia? Maka, manusia kerap kali berusaha di dunia ini untuk mengejar cintanya, menyelesaikan ujiannya, dan menghabiskan usianya yang entah dengan kebermanfaatankah? Atau bisa jadi dengan kesia-siaan. Itu semua bergantung pada bagaimana kita menyikapi dan memiliki mindset untuk hidup ini.

Di dalam buku ini, terdapat berbagai cerita mengenai sepaket kisah baru dari setiap penulis yang tidak lain mencakup kisah cinta, ujian, dan usia. Di mana ketiga hal tersebut telah menjadi satu kesatuan dalam hidup ini. Di dalam buku ini pula kamu akan mendapatkan berbagai hikmah dari setiap kisah yang mungkin saja kisahnya memiliki kesamaan dengan kehidupan kita.

Selamat mengarungi sepaket kisah yang baru!

Info pemesanan:
Id line        : @firda_abdllh
Line @       : @qgt4149r
WhatsApp: 088808595228
Ig pribadi : @firda_abdllh
Ig bisnis    : @firdasmanad

Cek unggahan sebelumnya untuk blurb (sinosis) "Karena Tuhan Tidak Tidur"

Minggu, 07 Oktober 2018

Blurb (sinopsis) "Karena Tuhan Tidak Tidur"

Setiap kita memiliki ranah tersendiri untuk berjuang.  Ada beragam, ada yang berjuang menahan rasa sakit yang dilimpahkan sebagai ujian. Ada yang berjuang berpeluh keringat demi menafkahi dan melindungi keluarganya. Ada yang berjuang dengan giatnya belajar agar bisa membanggakan keluarga dan ribuan ranah perjuangan yang sampai hari ini masih terus bergulir.

Memulai cerita dari sebuah postingan hari ke hari di bulan Ramadhan melalui @ramadhanbercerita. Perjuangan-perjuangan itu tampak. Ternyata ada banyak cerita mengagumkan yang selama ini tersimpan. Layaknya gunung es, perjuangan di dalam cerita-cerita yang dikemas itu punya perasaan yang jauh lebih dalam, punya perjuangan lebih panjang.

Untuk itulah mubazir rasanya jika pertemuan-pertemuan orang-orang yang bertumbuh tidak melahirkan karya.  Hampa rasanya jika cerita-cerita dan pengalaman hidup yang layak dibagikan hanya terekam di kepala. Karena kehidupan ini sejatinya tidak kekurangan orang baik. Namun kehilangan orang-orang baik yang memilih berbicara.. Untuk itulah tulisan-tulisan ini dibukukan.  Untuk membuka lembar-lembar baru agar satu sama lain bisa belajar mengambil hikmahnya. Juga untuk meninggalkan jejak apabila satu per satu dari kami “kembali” pada nantinya. Dengan penuh harap agar pahala tetap mengalir dari setiap tetes tinta yang dituangkan.

Info pemesanan:
Id line       : @firda_abdllh
Line@       : @qgt4149r
WhatsApp: 088808595228
Ig pribadi : @firda_abdllh
Ig bisnis    : @firdasmanad

Cek unggahan selanjutnya untuk blurb (sinosis) "Sepaket Kisah untuk Diriku yang Baru"

Selasa, 12 Juni 2018

Ramadhan Bersama Manda #27

Membumikan Al-Quran


Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Hai kamu πŸ‘‹ iya kamu, selamat membaca ya πŸ“–πŸ˜‚


Sampai di rumah. Ayah mengingatkan perihal agenda nanti malam. Aku hampir terlupa. Perasaan bahagia meletup-letup dari dalam jiwaku. Setidaknya aku bisa merasakan hal mirip yang sejak kemarin ayah tak izinkan.

Aku baru selesai shalat isya' saat ayah menyuruh aku, Rizki, dan Layla bersiap untuk acara khatam Al-Qur’an bersama. Aku bergegas ke kamar dan mencari gamis biru gelap yang merupakan dresscode acara itu. Selesai, aku keluar kamar. Kuintip Layla dari balik pintunya yang sedikit terbuka. Aku tertawa pelan melihat tingkah Layla yang sibuk menggunakan jilbab segiempat.

“Layla, cepetan, yang lain udah pada siap tuh.” Ujarku.
“Iya sabar. Udah kakak ke sana dulu.” Balasnya mengusirku pergi.

Aku melenggang meninggalkan kamarnya. Tak lama, dia keluar dengan mengenakan kerudung langsung. Aku hanya geleng-geleng kepala melihatnya. Kami jalan ke masjid tak lama kemudian.

Di masjid, sudah banyak anak-anak dan remaja seusia kami berkumpul. Mereka membawa serta Al-Qur’an masing-masing. Aku langsung memisahkan diri, berkumpul ke kumpulan remaja perempuan. Ayah selaku ketua DKM menenangkan kegaduhan anak-anak, ia meminta kami untuk membentuk saf-saf agar acara bisa segera dimulai.

Jauh sebelum acara, peserta diminta untuk menyelesaikan tilawahnya sampai juz 29. Aku? Setelah tadi siang ayah memberi tahu aku langsung kebut ketertinggalanku. Di malam ke-27 yang sekali lagi bisa jadi merupakan lailatul qadar, aku dan anak-anak yang lain membumikan Al-Quran. Kami terus melantunkan ayat demi ayat. Sampai masing-masing dari kami mengkhatamkan Al-Qur’an.

Acara ditutup dengan seremonial seperti wisuda Akbar. Diakhiri dengan do'a lalu foto bersama. Kami pulang ke rumah masing-masing saat hampir tengah malam. Walau pada dasarnya aku tidak melakukan i'tikaf, kegiatan tadi seperti membayar i’tikaf yang tidak dibolehkan. Sederhana memang, tapi aku belum pernah melihat kegiatan semacam ini di tempat lain. Ingin sekali tahun depan ada kegiatan semacam ini.

“Pa, papa dapet ide darimana acara kayak gini?” aku bertanya saat perjalanan pulang ke rumah.

“Dulu, di kampung papa kegiatan kayak gini udah jadi agenda tahunan. Nah, daripada masjid sepi karena sedikit juga yang i’tikaf, papa coba adain ini, sekaligus biar kamu seneng.” Papa menjawab diikuti jawilan di pipi kananku.

Tak sempat aku mengelak. Aku hanya manggut-manggut mendengar penuturannya.

“Berarti tahun depan adain ini lagi, pa?”

“Insyallah. Niatnya, papa juga mau buat spanduk di depan perumahan, biar makin banyak yang ikut.” Ayah menjawab mantap.

Aku tersenyum sumringah, bilang siap membantu. Akan kuajak pula anak osis dan rohis, barangkali mereka bisa ikut berpartisipasi. Pikiranku melesat jauh ke masa itu. Tak sabarnya menunggu momen itu terulang kembali.

Sampai di rumah, aku mengecek handphone-ku. “Barangkali ada pesan penting.” Pikirku. Rupanya, ada pesan instan dari kak Arif. Bibirku membentuk lekukan ke atas seperti bulan sabit di malam itu.
“Iya, kak. Aku bisa tanggal segitu.”

Bersambung...


Pendek ya? πŸ™ˆSekian. Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Senin, 11 Juni 2018

Ramadhan Bersama Manda #26

Definisi Cinta (?)


Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. (Ehem) 😌 ada yang tau definisi cinta? Yuk, simak definisi cinta menurut Manda.


Sampai di rumah, ibu bilang bahwa besok kita akan ke pergi ke rumah saudara. Dalam hati aku bertanya, rumah siapa gerangan? 

Aku tengah mematut diri di depan cermin. Masih terngiang di pikiranku perihal rumah saudara yang akan ibu, aku, dan adik bungsuku sambangi. Hingga menjelang keberangkatan, ibu masih saja merahasiakannya. Entah apa yang mendorongnya untuk merahasiakan hal-hal seperti ini. Apa ibu sengaja menggodaku? Bodohnya, aku termakan bujuk tipuan rahasianya. Aku melupakan hal itu, lantas bergegas menemui ibu.

Di dapur, ibu sedang menyusun beberapa stoples nastar keju. Pikiranku melesat cepat, sepertinya saat silaturahmi keluarga besar ibu mendapatkan pesanan dari salah satu saudara. Siapa kiranya ya? Setelah tersusun rapi, aku membantu ibu membawanya ke motor. Beberapa di bagasi motor, yang lainnya di gantung di gantungan depan. Siap. Kami berangkat kala matahari mulai memanggang bumi.

Perjalanan membutuhkan waktu cukup lama. Tanganku sampai kesemutan dibuatnya. Rumahnya tampak asing bagiku. Maklum, saudara jauh. Aku berpapasan dengan wanita seusia ibu. Kali ini ibu itu tampak tak asing, aku beberapa kali melihatnya di antara puluhan anggota keluarga kala itu.

“Anakmu udah gadis toh.” Ucapnya menyinggungku saat bersenda gurau dengan ibu.

“Ya begitulah. Oh iya, Manda, bawa adek kamu ke ruang tengah sana, anaknya budeh jauhmu ini punya anak kecil juga, sana ajak main. Gapapa 'kan, mba?” ibu menyuruhku sambil menyerahkan Zaki.

“Boleh kok, kebetulan dia juga lagi main sama masnya.”

Aku mengangguk paham, lalu masuk ke dalam. Aku membeku kala melihat sosok yang kukenal baru-baru ini. Kehebatannya mengalahkan kebolehanku. Serta, perangainya yang arif serupa betul dengan namanya. Kak Arif. Dia tengah bercanda riang dengan adiknya.

Sapaan hangat darinya mencairkan keterkejutanku. Aku balas menyapa, lantas mendekat.

“Kuenya masih di sana ya?” pertanyaan pertama yang keluar dari mulutnya tak pernah kuduga.

“Eh? Iya. Kamu udah tau aku mau ke sini?” aku bertanya balik.

“Enggak sih. Yang aku tau mama kamu mau ke sini bawa kue, begitu kata ibuku.”

Aku hanya ber-oh-ria. Kami mulai mengobrol soal perkuliahannya dan sekolahku. Zaki sudah asyik bermain dengan Isna — adik Arif, sedari tadi. Sesekali aku menanyakan soal masuk ke perguruan tinggi. Apalagi, kebetulan dia kuliah di kampus impianku.
Sesekali aku juga menanyakan tentang kehidupan di kampus. BEM, LDK, UKM, dll.

Dering telepon dari handphone-nya menciptakan jeda obrolan di antara kami. Dia menjauh sedikit dariku, sebegitu rahasiakah pembicaraannya? Sayup-sayup, aku mendengar perbincangan kak Arif dengan perempuan di ujung telepon.

“Nanti malam jadi nonton 'kan?”
“Jadi kok. 'Kan aku gak bilang gak jadi.”
“Ya udah. Nanti, pas buka jangan lupa makan kurma yang aku beli ya, hunny.”
“Iya bunny-kuu..”

“Siapa kak?” aku bertanya basa-basi.
“Eh? Pengen tau aja atau pengen tau banget?” ledeknya.
“Ya ampun kak, gitu amat.”
“Hehe. Tapi jangan kasih tau ibu aku ya? Jadi.. sebenarnya.. yang tadi itu pacar aku.” Kak Arif menjawab dengan lantang.

Tak kusangka. Benar saja dugaanku. Mendengar percakapannya tadi sebenarnya aku sudah bisa menyimpulkan, tapi aku masih mengelak dengan kenyataan itu. Aku pikir dia memang benar-benar seseorang yang arif, sampai pacaran tidak pernah ada dalam kamus kehidupannya. Rupanya sama saja dengan kebanyakan orang yang aku kenal.

Aku terus bertanya soal gadis itu. Bagaimana dia bisa memikat kak Arif, awal bertemu, hingga hal-hal konyol lainnya. Tak pernah aku sepenasaran ini perihal kekasih orang. Aku tersenyum melihat dia bahagia menceritakan orang terkasih dan segala kisah cintanya. Tapi entah apa yang mengganjal di hati. Keterbalikan dari senyum di bibir. Kalbu dan tepi mulut terasa tak beriringan.

Sudahlah. Perasaan yang baru menyiram benih ini harus dijaga dengan cara yang patut atau dihancurkan sampai benihnya pecah. Tapi siapa aku yang tega membunuh bibit kecil tak berdaya? Walau pun aku sendiri tak tahu benar apa ini definisi cinta? Akan kujaga biji yang siap bertunas ini. Entah wujud pohon apa yang akan tumbuh. Apakah menyenangkan hati layaknya sakura? Atau hanya menusuk-nusuk hati bak kaktus?

Aku pamit pulang saat ibu mengisyaratkan untuk pulang. Kami berniat untuk bertemu lagi. Aku merencanakan agenda belajar SBMPTN, karena yang kutahu hal seperti itu harus dipersiapkan jauh-jauh hari. Siapa pula yang tahan jauh dari orang seperti dia?

Setidaknya aku akan belajar di rumahnya. Bukan berduaan entah di mana. Sebenarnya aku tak tahu ini dosa atau tidak, tapi hasrat ini begitu menggebu-gebu, seperti minta dituntaskan. Aku hanya bisa berdoa minta perlindungan-Nya.

Sampai di rumah. Ayah mengingatkan perihal agenda nanti malam. Aku hampir terlupa. Perasaan bahagia meletup-letup dari dalam jiwaku. Setidaknya aku bisa merasakan hal mirip yang sejak kemarin ayah tak izinkan.

Bersambung...


Ada yang punya definisi cinta sama seperti Manda? Hmm. Jawab masing-masing ya πŸ˜… Sekian. Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Minggu, 10 Juni 2018

Ramadhan Bersama Manda #25

Congratulation, Ambar!


Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh semuanya! Kembali lagi di cerbung ini! Kebanyakan tanda seru (!) mulai aja ya, selamat membaca!


Aku pamit pergi ke kamar. Kalender meja di kamar tergeletak malas, memperlihatkan tanggal merah di angka 15 yang kulingkarkan belum lama ini. Tak terasa, hari kemenangan sudah begitu dekat. Bagaimana kabarnya di sana ya? Sepertinya kami semakin jauh dipisah oleh waktu.

Aku baru saja menyelesaikan satu tulisan dan  mempublikasikannya di blog pribadi, saat handphone-ku bergetar tanda pesan penting dari aplikasi pesan instan. Pesan dari grup osis. Aku membacanya sekilas.

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh 
Diberitahukan kepada seluruh pengurus OSIS, agar datang, pada...

Kupikir Minggu ini aku akan menjalaninya dengan tenang di kamar, rupanya harus menghirup sesaknya udara kota. Aku melihat lagi waktu rapat di pemberitahuan itu, pukul 09:00 – selesai. Itu berarti pulangnya aku harus mengarungi aspal ibukota yang bagaikan gurun pasir itu? Tidak di bulan ramadhan. Pikiranku bisa goyah karenanya.

Aku menimbang-nimbang, oase mana yang kiranya bukan fatamorgana. Ingatanku melesat pada kenangan kami berdua. Apa dia bisa? Kebetulan rumahnya pun tak jauh dari lokasi rapat. Kuhubungi dia, tidak menjawab. Aku meninggalkan pesan singkat di aplikasi pesan instan.

“Ambar, besok aku ke rumah kamu ba'da Dzuhur. Bisa gak?” Send.

Aku melihat-lihat social media lain sebentar. Lantas memilih melanjutkan tilawah sembari menunggu balasan Ambar.

Ba'da Dzuhur
“Bisaaa. Ayo main. Akhirnya bisa meet up 😍"
“Ok.” Balasku seadanya.

Sesaat setelah itu, tak lupa aku memberitahu ibu perihal ini. Tak perlu basa-basi, ibu mengangguk setuju. Aku girang bukan main, ini akan menjadi salah satu momen terbaik dalam hidupku.

***

Udara begitu panas saat keluar dari rumah salah satu pengurus OSIS. Jika air disiram ke jalanan mungkin langsung menguap. Aku segera tancap gas menuju rumah Ambar, dia sudah menunggu di sana.

Sepanjang perjalanan, aku memikirkan kisah-kasih kami selama ini. Mulai dari rok merah hingga abu-abu, semua terasa warna-warni. Entah kapan terakhir kami bertemu, aku tak ingat. Yang aku ingat, dulu kami masih lugu, namun kini bermetamorfosa menjadi kupu-kupu.

Aku sampai di rumah Ambar saat adzan terdengar dari masjid dekat rumahnya. Kuucapkan salam diikuti panggilan namanya. Dia keluar dengan tersenyum canggung, aku balas senyum seadanya. Dipikir-pikir, kami tertawa lepas di social media, saat bertemu terasa baru kenal satu atau dua hari. Ambar mempersilakan masuk, aku membuntuti.

“Biar leluasa ngobrolnya, kita sholat dulu yuk, gantian.” Ajaknya.
“Boleh tuh.”

Selesai shalat, kami basa-basi membicarakan anggota keluarga masing-masing. Aku begini dia begitu. Tiap-tiap adiknya bertengkar, aku pun sama. Kecanggungan cepat terusir pergi karenanya. Sedikit-sedikit kusinggung dia perkara nilai rapor.

“Ambar, gimana rapornya?”

“Alhamdulillah sepuluh besar. Kamu?” aku hanya cekikikan mendengar pertanyaan serupa yang ia lempar.

“Wahh, congratulation, Ambar!” Ucapku seraya menyalaminya.
“Aku gak dapet ranking, anak-anak di kelas pinter-pinter, padahal diacak.” Keluhku.

“Seriusan? Lebih banyakin usaha sama do'a, Man. Kita sama-sama berjuang.” Ambar menyemangati penuh arti.

Sepanjang siang, kami mengobrol kesana-kemari. Kantuk yang biasa menggerogotiku di jam-jam seperti ini sirna karenanya. Televisi yang menampilkan acara reality show yang sesekali kami tengok menjadi saksi kelu keseruan di antara kami. Terkadang aku melihat social media Ambar begitu pun sebaliknya sebagai pengusir kebosanan, dari sana juga timbul topik-topik pembicaraan lainnya.

“Man, kamu mau di sini sampai kapan? Emang gak dicariin?” Ambar bertanya di sela-sela obrolan kami.
“Enggak kok, tenang aja, aku udah bilang kalo mau main."

Adzan ashar menjadi pengingat kami bahwa suara kemenangan sebentar lagi akan terdengar. Kami bergegas bergantian sholat, setelahnya menuju ke dapur untuk mempersiapkan bukaan.

Bersama, kami mampu menyelesaikan beberapa panganan sebelum pukul lima. Kami mengobrol lagi di ruang tengah, acara tv kini menunjukkan acara-acara khusus ramadhan. Ambar terdiam sejenak di tempat duduknya, menatap kosong layar handphone.

“Man, kita bakal kayak gini terus 'kan?” Ambar bertanya tiba-tiba.
“Eh? Ya iya lah.” Ujarku.

Semburat jingga terlihat dari balik jendela yang tidak tertutup gorden. Kami sama-sama terdiam, merenung memikirkan momen yang kita abadikan dalam ingatan masing-masing. Tak banyak memang kenangan itu kami abadikan dalam bentuk foto, situasi dan kondisinya tidak pernah pas. Tapi setidaknya, kadang aku menulis kisah kami di blog pribadi.
Aku pamit usai shalat Maghrib.
Sampai di rumah, ibu bilang bahwa besok kita akan ke pergi ke rumah saudara. Dalam hati aku bertanya, rumah siapa gerangan?

Bersambung...


Maaf kalo gak sesuai ekspektasi, lagi buntu, yang punya ide tulisan, share dong. Sekian. Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh 😊

WhatsApp: 081282698871
Line/Ig: @firda_abdllh

Sabtu, 09 Juni 2018

Ramadhan Bersama Manda #24

Nilai di Atas Kertas Ujian


Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Jumpa lagi πŸ‘‹ Temen-temen.

Bantu aku dong, biar blog ini bisa masuk daftar pencarian paling atas di google, caranya gimana? Gampang kok, cukup share link blog ini ke grup-grup yang kamu punya, satu share link dari kalian ngebantu aku banget loh, makasih ya yang mau bantu.

Oh iya, biar lebih ngerti, sebelum baca ini, kalian bisa baca ulang episode #6 karena ada kutipan dari episode itu. Btw, selamat membaca!!!


Di waktu yang sama seperti tanggal ganjil di sepuluh malam terakhir bulan ini, aku mendirikan tahajud. Angin berita yang boleh jadi baik atau bahkan buruk itu menerpa ingatanku. Tak terasa, lusa depan merupakan hari penting bagiku. Di saat itu juga, lepas menyelesaikan tahajud, aku bermunajat agar diberikan hasil yang terbaik. Tak ingin rasanya melihat air muka orang tua turun karena mengetahui hal ini.

Mentari kembali menyambut di ufuk timur. Aku baru saja keluar dari kamar, ingin menemui ibu. Di ruang tengah, ibu sedang sibuk mengerjakan sesuatu di laptopnya. Aku menghampirinya, bertanya.

“Lagi ngapain, ma?”

“Ini, mau ngecek e-mail buat pendaftaran sekolah si Rizki. Tapi kok daritadi gak bisa ya? Apa karena banyak yang make?” Ungkap ibu.

“Ah, masa sih, ma. Sekarang paling yang make cuman mama, Rizki, sama Layla. Biasanya juga kalo kita berlima make paling cuman lemot. Coba aku cek, ma.” Aku menawarkan diri.

“Hmm. Pantesan. Koneksi internetnya aja belum nyambung ke WiFi rumah.”

“Ealah. Mama lupa.” Aku menepi, mempersilakan ibu.

Tak enak hati rasanya kuganggu dia sekarang, mengurus pendaftaran sekolah tentu bukan perkara mudah. Apalagi saat ini ibu harus mendaftarkan dua anaknya. Berkali lipatlah kesukarannya. Aku memilih diam, menyimak, dan membantu apabila diminta.

“Ada apa, Man? Pasti ke mari ada sesuatu ‘kan?” memang dasarnya ibu merupakan manusia paling peka.

“Eh? Tau aja, ma.” Aku bergurau sejenak.

“Mama gak sibuk?” aku beranikan diri bertanya, sebelum mencurahkan segala gundah di hati.

“Sibuk sih, tapi masih bisa nanti-nanti dulu. Ada apa?” ibu bertanya, kali ini dia menutup laptopnya tanda siap mendengar perkataanku.

“Aku takut liat nilai aku nanti, ma.” Keluhku.

“Kenapa?”

“Ya, takut aja. Selama ini aku ngerasa prestasi aku nurun gitu. Padahal sibuk di osis sama rohis-nya masih sama. Sepanjang semester ini juga aku gak nulis di blog, paling baru-baru ini aja karena gak ada kerjaan.” Ibu malah tersenyum.

“Kamu 'kan pinter, apa yang kamu khawatirin?”

“Tapi, ma. Yang lain juga pinter, mereka dapet nilai yang sama bahkan lebih di setiap kesempatan. Sebenarnya yang paling aku khawatirin itu nilai ulangan.” Aku semakin tak terkendali, rasa-rasanya akan ada banjir di wajahku.

“Emangnya kenapa?”

“Kebanyakan mereka bagi-bagi jawaban gitu, ma. Bahkan ada yang nyontek. Aku pikir karena puasa gak akan ada aksi-aksi kayak gitu, ternyata sama aja. Aku 'kan jadi kepikiran. Nilai aku pasti kebanting sama mereka.”

“Kamu pas ujian jujur gak?”

“Ya, jujur, ma. 'Kan mama sendiri yang ngancem.” Jawabku sedikit ketus.

“Dengerin mama. Nilai di atas kertas ujian gak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan nilai di atas catatan amal. Kejujuran kamu udah di catet kok sama malaikat, Allah juga udah liat, kamu gak usah khawatir. Kalau pun nanti kamu gak bisa lolos jalur SNMPTN karena gak lolos PDSS, gak apa-apa. Mama gak akan marah, yang penting kamu jujur. Mungkin itu takdir yang emang udah Allah kasih ke kamu. Toh masih banyak jalur-jalur lain. Kamu itu pintar, nak. Bukan hanya pintar secara akademik, tapi secara pola pikir. Kamu tau mana yang baik dan mana yang buruk. Walaupun temen-temen kamu kayak gitu, kamu tetep sama pendirian kamu. Insyaallah kejujuran kamu dan kecurangan temen-temen kamu akan ada balasannya.” Ibu menasihatiku panjang-lebar.

Kini aku hanya diam, tak tahu harus berbuat apa lagi. Bodohnya aku, padahal belum genap sebulan kak Rina bilang soal itu. Tanpa diminta ucapannya berputar jelas seperti rekaman audio di pikiranku.

“Jujur. Mungkin awalnya gak gampang, banyak godaannya. Tapi percaya aja, Allah gak tidur, dia tau mana yang jujur mana yang enggak. Kalo kamu jujur, insyaallah kamu bisa kok dapet PTN inceran kamu. Tapi, kalo nanti kamu udah jujur tapi kamu gak diterima di pilihan yang kamu pengenin, mungkin emang itu udah takdir Allah, seenggaknya kamu udah usaha ‘kan” Ternyata jujur itu emang sulit, seperti yang kak Rina bilang.

Aku pamit pergi ke kamar. Kalender meja di kamar tergeletak malas, memperlihatkan tanggal merah di angka 15 yang kulingkarkan belum lama ini. Tak terasa, hari kemenangan sudah begitu dekat. Bagaimana kabarnya di sana ya? Sepertinya kami semakin jauh dipisah oleh waktu.

Bersambung..

Sekian dulu ya. Dialognya kebanyakan gak? Aku ngerasa kebanyakan, tapi bingung nyingkatnya, maklum awam. Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Jumat, 08 Juni 2018

Ramadhan Bersama Manda #23

Kebersamaan di Malam Kemuliaan


Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Lailatul qadar bareng siapa aja nih? Eh, atau malah sendiri? Tenang aja, Manda siap nemenin kalian dengan cerita-ceritanya. Simak ya.


“...besok malem kamu ajak adek kamu buat tilawah ya. Kalo dia gak mau tilawah bareng, sesekali kamu cek ke kamarnya. Hitung-hitung biar mereka biasa.” Tugas sebagai anak sulung kembali menghinggapi pundakku.
“Iya, ma.” Aku menjawab singkat.

Adzan isya' berkumandang bersahut-sahutan dari setiap masjid. Kami sekeluarga bersiap untuk shalat isya' berjama’ah. Saat ingin berwudhu, aku menemui adik-adikku yang beranjak remaja itu.

“Rizky, Layla, abis ini kita tilawah ya. Nah, kalian maunya baca bareng-bareng atau sendiri-sendiri?” Rizki dan Layla saling tatap, tak mengerti perintahku yang tiba-tiba dan mungkin tak wajar bagi mereka.

“Emangnya kenapa, kak?” Rizki balik bertanya, aku menghela napas kasar.

“Malam ini mungkin menjadi malam lailatul qadar. Terus kalian mau ngelewatin malam ini gitu aja? Tanpa ngelakuin apa-apa? Sayang banget tau. Kalian udah tau 'kan hakikat lailatul qadar itu apa? Ayolah, kalian udah gede.” Aku semakin naik darah melihat mereka hanya bergeming lantas kembali saling tatap.

“Ada apa sih ini ribut-ribut, ayo sholat Isya', papa kalian udah nungguin tuh.” Ibu menghampiri kami yang tak kunjung datang ke tempat shalat.

“Ini, ma. Aku lagi ngasih tau mereka biar abis shalat tilawah, tapi pada diem-dieman.” Aku mengadu.

“Ikutin omongan kakak kalian, mama yang nyuruh kakak kamu buat nyuruh kalian tilawah. Apa susahnya sih? Apa beratnya?” Kini, ibu yang angkat bicara.

Mereka hanya mengangguk lemah, lantas memilih tilawah bersama, “biar gak ngantuk” kata Layla. Rizki ikut saja. Kami segera mengambil air wudhu, kemudian shalat berjama’ah.

Kami berkumpul di ruang tengah. Al-Qur’an berlapis kain biru langit tetap menjadi teman tilawahku. Rizki dan Layla sedang mengambil Al-Qur’an masing-masing. Sebelumnya, ibu memintaku memandu Rizki dan Layla untuk muraja’ah. Maka, saat mereka sampai, kuminta mereka membuka surat terakhir yang mereka hafalkan.
Layla muraja’ah surat At-Takatsur, sementara Rizki surat Al-'Alaq. Sembari menunggu, aku ikut muraja’ah dengan surat Al-Lail. Ketika mereka merasa mantap dengan hafalannya, secara bergantian mereka “setor hafalan” dengan aku sebagai pembimbingnya.

Agenda disambung dengan menambah hafalan ke surat berikutnya.
Setelah itu, kami membaca Al-Qur’an bersama, mengikut ayat terakhir yang kubaca sepanjang Ramadhan. Malam ini terasa lebih damai. Bulan yang tengah bergerak ke bentuk sabit bak mengulas senyum, seperti ikut berbahagia karena melihat anak seusia kami menghidupkan malam penuh berkah.

Jarang-jarang juga kami rukun seperti sekarang. Dulu, walaupun sepanjang hari bermain, tetap saja bumbu-bumbu kecurangan dalam berbagai jenis permainan menciptakan pertengkaran. Tapi yang namanya anak-anak, sekejap kami lupa dengan kesalahan itu, lantas gelak tawa tercipta di antara kami.

Membaca Al-Qur’an bersama berakhir pukul 21:00 — waktunya Layla tidur. Tak mau berdua, Rizki memilih tilawah sendiri di kamarnya, aku hanya mengiyakan. Maka, kulanjutkan tilawah di kamar pribadi jua sampai larut datang.

Entah bagaimana orang lain dengan saudara sekandungnya melalui lailatul qadar. Atau bahkan mereka hanya melewatinya sendiri. Aku tak tahu menahu perkara itu. Yang aku tahu, aku bahagia karena memiliki keluarga yang utuh, dikelilingi suasana islami, dan adik-adik yang sepemahaman denganku.

Di waktu yang sama seperti tanggal ganjil di sepuluh malam terakhir bulan ini, aku mendirikan tahajud. Angin berita yang boleh jadi baik atau bahkan buruk itu menerpa ingatanku. Tak terasa, lusa depan merupakan hari penting bagiku. Di saat itu juga, lepas menyelesaikan tahajud, aku bermunajat agar diberikan hasil yang terbaik. Tak ingin rasanya melihat air muka orang tua turun karena mengetahui hal ini.

Bersambung...


Sekian dulu ya, ceritanya. Ada yang ngerasa kependekan? πŸ˜‚ Sekian. Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Kamis, 07 Juni 2018

Ramadhan Bersama Manda #22

Kue Manis untuk Hari Raya


Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Di sini siapa aja yang udah buat kue lebaran? Yuk, ikutan Manda buat kue bareng mamanya. Eits.. jangan lupa petik pesan moral yang terselip di dalamnya ya πŸ˜‰


Jika aku tidak berniat bergadang, mungkin aku tidak akan bisa tidur hanya karena memikirkan kue yang akan ibu buat tahun ini. Apa spesialnya lebaran tahun ini? Aku hampir larut dengan pernak-pernik Ramadhan. Al-Qur’an yang tergeletak di laci tepi tempat tidur menyadarkanku. 

Kuhampiri Al-Qur’an dibungkus kain biru langit, lantas kembali bertilawah.
Sekitar pukul 01:30, aku menutup Al-Qur’anku, berniat mendirikan tahajud. Saat aku melewati dapur, terdengar suara-suara di sana. Kuhampiri sumber bunyi tersebut, rupanya ibu.

“Ngapain, ma?” ibu sedikit terkejut mengetahui keberadaanku.

“Eh? Enggak, semalem mama lupa masak nasi, jadi mama mau masak nasi.”

“Ohh. Berarti dari tadi mama gak tidur?” aku bertanya lagi, penasaran.

“Enggak lah. Sayang banget kalo ninggalin malam ini.”

“Terus kenapa gak i’tikaf aja, ma? Apa papa gak ngizinin? Dan, kenapa papa gak i’tikaf aja?” aku langsung menghujani ibu dengan berbagai pertanyaan yang masih membekas.

“Sayang, lailatul qadar bukan hanya perkara i’tikaf atau enggak, i’tikaf cuman salah satu ibadah yang bisa dilakukan saat lailatul qadar. Toh, kalo gak i’tikaf bukan berarti gak dapet kemuliaan malam seribu bulan.” Ibu malah menjelaskan yang lain, bukan menjawab pertanyaanku.

Dia membelai rambut lurusku dengan lembut. Sampai aku lupa dengan gundahku yang masih ingin beri’tikaf. Aku pamit pergi, bilang mau sholat tahajud.

Dalam do'a di sepertiga malam terakhir, aku meminta mendapatkan kemuliaan lailatul qadar. Tak lupa juga istighfar dan puji syukur kupanjatkan pada-Nya. Selesai shalat, aku melanjutkan tilawahku sampai ibu mengajakku untuk sahur.

Paginya, ketika ibu selesai menyiapkan segala keperluan kantor ayah, ibu mengajakku membuat kue. Ia bergegas mengeluarkan bahan-bahan kue. Aku mulai menebak kue yang akan dibuat dari bahan-bahan yang ibu gunakan. Sejauh ini ibu mengeluarkan bahan-bahan umum, ada tepung terigu, telur, mentega.

“Sebenarnya mama mau bikin kue apa sih?” penasaranku sudah tak terbendung.
“Mama mau buat nastar keju.” Jawab ibu sambil mengeluarkan selai nanas dan keju dari kulkas.

Mataku langsung berbinar kala melihat keju cheddar. Bara nun jauh di sana masuk ke tubuhku, membakar semangat untuk menyelesaikan kue ini. Aku mulai membantu ibu mencampur bahan-bahan. Ibu memegang mixer dan mencampur bahan, sementara aku satu per satu menambahkan bahan yang ibu minta.

Sesaat, adonan kue siap dibuat. Kami mulai membuat bulatan yang diisi selai nanas hingga dua loyang penuh. Saat nastar baru setengah matang, dengan semangat aku mengeluarkan loyang dari oven lantas menabur parutan keju. Loyang kembali dimasukkan. Sembari menunggu, kami membuat nastar lagi dari adonan yang masih tersedia.

Tak terasa, nastar keju buatan kami selesai. Alhasil, lima stoples penuh dengan nastar keju. Aku memandang bangga kue-kue itu, rasa-rasanya aku bisa saja buka toko kue sembari kuliah beberapa tahun lagi. Sayang sekali bakat ibu yang terpendam luput karena kesibukan mengurus kelima anaknya. Walau terkadang ia menerima pesanan kue dari para tetangga.

“Manda, ini yang tiga toples tolong taro lemari ya, nanti kalo adek-adek kamu tau langsung abis  sama mereka. Nah, yang dua kasih tetangga sebelah rumah. Mama mau beresin dapur dulu.” Aku mengangguk, segera mengerjakan yang diminta ibu.

Sekembalinya aku dari mengantar kue, ibu tengah memindahkan kue-kue manis untuk hari raya ke stoples. Total ada tujuh tipe kue, sudah termasuk buatan ibu dan aku. Hampir saja aku membayangkan rasa dari setiap kue itu. Apalagi kue dengan isi selai nanas dan taburan keju di atasnya. Aku memilih membantu ibu ketimbang mengkhayalkan tanggapan lidahku.

“Ma, aku bantu ya?” aku menawarkan tenaga.
“Iya. Oh iya, besok malem kamu ajak adek kamu buat tilawah ya. Kalo dia gak mau tilawah bareng, sesekali kamu cek ke kamarnya. Hitung-hitung biar mereka biasa.” Tugas sebagai anak sulung kembali menghinggapi pundakku.
“Iya, ma.” Aku menjawab singkat.

Bersambung...


Sekian dulu ya cerbung Ramadhan Bersama Manda kali ini. Tunggu kisah-kisah selanjutnya. Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Rabu, 06 Juni 2018

Ramadhan Bersama Manda #21

Lailatul Qadar


Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Siapa di sini yang abis shalat qiyamul lail? πŸ™‹ Cocok deh. Jangan sia-siain malam kemuliaan ini ya gaess. Manda punya cara tersendiri demi menyambut malam ini. Simak ya..


Di perjalanan pulang, aku kembali membuka Al-Qur’an mungilku, melanjutkan tilawah. Membuka Al-Qur’an, membuatku teringat bahwa besok bisa jadi merupakan malam lailatul qadar. Tak sabarnya aku menyambut malam kemuliaan itu. Apa aku akan mendapatkan naungan kemuliaannya itu? Ingin sekali aku diberi pertanda apabila memperolehnya.

Keesokan harinya, aku melakukan rutinitas Ramadhan-ku seperti biasa — tilawah. Saat lelah, aku pindah menulis blog, atau mengecek timeline social media sebentar. Ba’da dzuhur, aku menyempatkan diri untuk tidur siang. Persiapan menyalami lailatul qadar nanti malam.

Aku terbangun pukul 16:30. Langsung kuambil air wudhu dan menunaikan shalat ashar. Kegiatanku dilanjut dengan tilawah sampai menjelang Maghrib. Aku dan keluarga berbuka dengan pisang goreng buatan ibu. Legit membakar lidah kami, semua larut dalam kenikmatan. Sepertinya ini saat yang tepat untuk mengatakan itu.

“Pa. Aku mau i'tikaf boleh gak?” Demi mendengar pertanyaanku, ayah tersedak saat memakan pisang gorengnya.

“Kamu gak bercanda 'kan?” Ayah menaikkan alisnya, seperti tak percaya dengan pertanyaan tadi.

“Emang kenapa, pa?” aku menanyakan alasannya.

“Berani?”

“'Kan gak sendiri, pa. Ada Ferly, Sarah, dkk.” Aku menjabarkan.

“Enggak!” ibu memotong, melarang tegas.

“Ta.. tapi, ma.” Aku berusaha menjelaskan dengan terbata-bata, tak kusangka reaksi ibu akan begitu keras.

“Kamu itu masih anak gadis, Manda. Ntar kalo ada omongan-omongan gimana?” Ibu menasehati dengan nada yang lebih lembut.

“Aku cuma mau lailatul qadar tahun ini beda, ma.” Kini aku mampu memberitahu dengan lebih jelas.

“Mama takut kamu kenapa-napa sayang, karena di sana pasti lebih banyak laki-lakinya.” Aku mengangguk lemah.

Kadang, sulit memang ketika menerima keputusan dari orang tua, tapi mungkin memang itu yang terbaik untuk kita. Di saat-saat seperti ini, peganganku hanya ucapan ibu saat dulu aku menentukan SMA atau SMK “Orang tua tidak akan pernah menjerumuskan anaknya ke hal-hal yang buruk”.

Malam itu, yang insyaallah merupakan malam lailatul qadar, aku melanjutkan tilawah. Tidur tadi siang memberikanku energi lebih untuk bergadang. Setidaknya, inilah siasatku agar lailatul qadar tidak pergi begitu saja. Dia harus singgah di kotaku, di rumahku, di kamarku.

Saat aku tengah bertilawah, seseorang dari luar mengetuk pintu kamarku. Aku menghentikan tilawahku sebentar, lantas membuka pintu. Ibu tersenyum penuh harap. Entah apa yang ibu harapkan dariku.

“Manda. Maafin mama ya soal yang tadi di meja makan.” Satu lagi sifat yang aku suka dari ibu.

 “Gapapa kok, ma. Aku juga salah, seharusnya aku mikirin segala kemungkinan terburuk.”

Ibuku merupakan tipe orang yang langsung meminta maaf apabila salah dan kasar, ibu juga pemaaf apabila anak-anaknya salah dan kasar. Love you mom, bisikku lemah saat ia menatapku penuh sayang.

“Oh iya, besok mama mau bikin kue. Kamu mau bantuin 'kan?” ibu mengganti topik dengan cepat.

“Boleh. Omong-omong, kue apa, ma?” aku bertanya penasaran.

“Liat aja besok.” Ibu semakin membuatku penasaran.

Jika aku tidak berniat bergadang, mungkin aku tidak akan bisa tidur hanya karena memikirkan kue yang akan ibu buat tahun ini. Apa spesialnya lebaran tahun ini? Aku hampir larut dengan pernak-pernik Ramadhan. Al-Qur’an yang tergeletak di laci tepi tempat tidur menyadarkanku. Kuhampiri Al-Qur’an dibungkus kain biru langit, lantas kembali bertilawah.

Bersambung...


Sekian dulu ya. Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh 😊

Selasa, 05 Juni 2018

Ramadhan Bersama Manda #20

Family Time


Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Ada merasa waktu berkualitas dengan keluarganya kurang? Yuk simak, tips dari Manda insyaallah bisa membantu loh.


“Kak, besok jadi beli baju buat lebaran 'kan?” Layla bertanya saat kami di perjalanan pulang, aku hampir lupa tentang rencana itu.
“Oh itu, jadiin aja sih, tapi mama belum ngasih uang. Ma, gimana?” 
“Hmm. Ya udah deh. Tapi kita semua berangkat bareng ya. Biar dapet baju berkualitas dengan harga terjangkau. Ok?” aku balas mengangguk.

Kami semua langsung ke kamar masing-masing saat sampai rumah. Waktu sudah menunjukkan hampir tengah malam. Perjalanan pulang yang sangat melelahkan karena macet di berbagai jalan. Aku memikirkan model baju apa yang akan kubeli besok. Aku baru teringat, jangan sampai momen belanja keperluan lebaran membuatku lupa Yang Maha Pengasih. Jelas, aku tak boleh sama dengan orang-orang kebanyakan, yang luput dengan persiapan lebaran. Padahal, lailatul qadar menyambut di depan mata.

Kami berangkat usai shalat Dhuha. Beruntungnya, ayah hari ini diberi izin cuti karena loyalitasnya. Kami tidak perlu memesan ojek online dan agenda keluarga lebih terasa lengkap. Aku juga membawa teman sejatiku saat bepergian — Al-Qur’an mungilku. Saat sampai, kami nonton film bareng di bioskop. Lepas itu, kami shalat berjama’ah di mushola mal. Lantas mulai berbelanja.

Kami masuk ke salah satu pusat perbelanjaan pakaian ternama.  Aku langsung pergi ke bagian busana muslim perempuan remaja. Sebelumnya, kami sepakat berkumpul di titik berpisah satu jam kemudian. Layla yang takut tersesat memilih membuntutiku. Aku melihat-lihat model baju yang kurasa cocok, memilih warna yang pas, lalu melihat harga dan memperkirakan uang yang ibu punya.

Puas berkeliling, aku mengantarkan Layla ke bagian anak-anak. Tak butuh waktu lama bagi Layla memilih, sejak kemarin dia memang sudah menaksir salah satu item baju dari sebuah brand. Aku dan Layla segera menuju ke titik berpisah saat Layla menemukan baju incarannya.

Ibu langsung melihat baju dan aksesoris lainnya pilihan kami. Menurut ibu cocok, dia mulai mengantre di kasir. Kami menunggu di depan toko sambil melihat-lihat toko di sebelah. Setelah itu, kami shalat ashar di mushola sebelumnya.

“Sekarang kita ke toko yang jual kue-kue lebaran ya.” Ucap ibu saat kami semua selesai shalat.

“Ya ampun, bu. Kita mau pulang jam berapa?” Rizki bertanya dengan bersungut-sungut, mungkin dia sudah lelah.

“Ya biar sekalian, Ki. Atau enggak gini aja, kalo kamu males ikut ibu, kamu ke timezone atau sejenisnya. Manda juga, kalo bosen sana ke toko buku. Gimana?” Ibu memang yang terbaik, selalu tahu apa keinginan anaknya.

“Nih, uangnya. Beli secukupnya, pakai seperlunya. Nanti langsung ke tempat makan biasa kalo kita ke mal ini, kita bakal buka di sana.” Ibu menegaskan sambil menyerahkan selembar uang 100.000 kepada masing-masing dari kami.

Aku langsung ke toko buku. Rizki dan Layla ke timezone. Ayah sepertinya memilih ke toko barang elektronik, upaya menghindar dari puluhan pertanyaan ibu saat memilih-milih kue. Ibu bersama kedua adik kecilku melesat ke toko kue. Urusan belanja, memang ibu yang paling kuat.

Aku tenggelam dalam jutaan buku. Aroma buku baru menyeruak memenuhi penciumanku. Segera kucari rak novel yang ternyata sudah dipindahkan saat kuingat-ingat tempatnya tak jauh dari posisiku berdiri saat ini. Deretan buku yang masuk dalam daftar wishlist-ku terlihat di depan mata. Aku hanya bisa membeli satu novel, 2-3 jika ada diskon.

Aku mulai menyaring novel yang  akan kubeli, dan siap menjatuhkan pilihan. Pilihanku jatuh pada novel keluaran terbaru dari penulis favoritku — Asma Nadia. Benar saja, harga asli tanpa diskon, sepertinya hari ini bukan hari keberuntunganku. Aku mengambil novel yang masih terbungkus plastik itu.

Sekilas, kuperhatikan buku-buku lain. Sejenak aku mengimpikan, suatu hari nanti novelku akan masuk di deretan novel-novel hebat ini. Membayangkannya menjadi suatu kebahagiaan tersendiri.

Kulangkahkan kakiku menuju kasir, membayarnya, lantas ke restoran langganan kami. Sudah ada ayah di salah satu meja, aku menghampirinya.

“Cepet banget, pa. Kirain aku yang pertama nyampe.” Ujarku saat duduk di salah satu kursi.

“Laptop inceran papa harganya lumayan mahal, jadi ya papa langsung ke sini aja.” Tutur ayah.

“Oh iya, papa ngecek harga laptop yang spesifikasinya pernah aku jelasin waktu itu gak?” aku teringat, menilik laptopku yang performanya mulai berkurang.

“Oh itu, papa bawa uang yang cukup sih buat laptop inceran kamu, tapi kita tunggu ‘bendahara negara’ dulu, khawatir gak diizinin sama beliau.” Ayah bergurau, menyebut ibu dengan panggilan bendahara negara.

Sambil menunggu yang lainnya datang, aku mengeluarkan Al-Qur’anku dari sling bag. Sayup-sayup mulai bertilawah. Ayah hanya mendengar, memperhatikan. Menjelang Maghrib, yang lainnya sudah datang dan ikut bergabung di meja makan. Kami mulai memesan menu favorit masing-masing.

Adzan dari handphone menyegerakan kami untuk berbuka. Aku membahas perihal laptop pada ibu, dia bilang “nanti dulu, masih lebaran kayak gini, adek-adek kamu juga mau masuk sekolah, insyaallah Agustus ya.” Ibu menjelaskan, aku hanya mengangguk mengikuti perintahnya.

Seharian kami bersama. Seingatku, terakhir aku dan keluarga memiliki family time seharian penuh adalah saat hari libur nasional, hampir tiga bulan yang lalu. Aku tersenyum bahagia, kadang tidak semua keluarga melakukan hal serupa.

Di perjalanan pulang, aku kembali membuka Al-Qur’an mungilku, melanjutkan tilawah. Membuka Al-Qur’an, membuatku teringat bahwa besok bisa jadi merupakan malam lailatul qadar. Tak sabarnya aku menyambut malam kemuliaan itu. Apa aku akan mendapatkan naungan kemuliaannya itu? Ingin sekali aku diberi pertanda apabila memperolehnya.

Bersambung...


Wah. Besok bisa jadi merupakan malam lailatul qadar, ada yang udah nyiapin agenda buat besok? Siapin ya. Biar ramadhan tahun ini gak cuman nahan lapar sama haus doang. Sekian dulu ya. Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. 

Nb: Posting malem, karena adanya kuota internet malem πŸ™ˆ

Senin, 04 Juni 2018

Ramadhan Bersama Manda #19

Silaturahmi Keluarga Besar


Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Penasaran dengan agenda penting Manda? Simak baik-baik ya.


Aku sampai lupa, besok ada agenda penting yang tidak boleh terlewatkan. Kuhampiri ibu dan memastikan segalanya baik. Semuanya baik.

“Ma. Bukber keluarga besarnya jadi 'kan? Aku udah relain gak ikut acara bukber yang lain nih.” Sahutku saat kami sedang santap sahur.

“Iya insyaallah jadi. Oh iya, semuanya, anak-anak mama, habis shalat Shubuh kalian semua mandi ya, abis itu kita berangkat.” Ibu berseru.

“Pagi banget ma, 'kan bukber.”

“Sebenarnya acara ini merupakan silaturahmi tahunan rutin, Man. Tapi karena momen puasa, jadi sekalian diadain bukber.” Ibu menjelaskan.
Aku mengangguk, lanjut menyuap makanan.

Usai shalat Shubuh, kami mandi secara bergantian. Ibu yang pertama sambil memandikan kedua adik kecilku. Kupakaikan satu set baju dengan warna hijau senada pada kedua adik kecilku. Tak lama, ibu keluar dari kamar mandi. Kini giliran aku, dilanjut yang lainnya.

Acara ini menetapkan dresscode formal warna hijau. Aku mulai membuka lemari dan memilih baju yang akan kukenakan. Got it! Gamis hijau mint dengan aksen putih ditambah khimar putih motif polkadot hijau. Tak lupa, flat shoes putih polos lengkap dengan sling bag hijau tosca. Siap.

Aku dan keluarga berangkat saat matahari sudah terbit sempurna. Aku mulai mengulang-ulang ayat yang kubaca nanti selama perjalanan di mobil. Panggilan telepon membuatku menghentikan aktivitas.

“Halo, Man.”
“Iya. Ada apa kak?”
“Kamu udah latihan lagi?”
“Udah kok kak, ini aku lagi baca ulang-ulang.”
“Ya udah, aku cuma mastiin aja. Oh iya, nanti sebelum mulai kita gladi dulu ya, apalagi dari kemaren kita gak pernah latihan secara langsung 'kan?”
“Iya, kak.”

Laki-laki itu menutup teleponnya. Arif. Sepupuku yang akan menjadi partner-ku saat pembacaan sari tilawah nanti.

Jauh sebelum Ramadhan datang, aku ditunjuk oleh panitia silaturahmi keluarga besar tahun ini untuk menjadi pembaca sari tilawah saat pembukaan acara. Aku mulai saling berkomunikasi lebih sering dengan kak Arif. Sayang, skripsi yang akhir-akhir ini mengejarnya membuat kita tidak pernah bisa bertemu.

Kami memutuskan latihan gabungan secara online melalui video call. Aduhai, rasa-rasanya gelarku sebagai juara MTQ tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan suara kak Arif. Dia memang tak pernah mengikuti lomba serupa. Minder katanya. Padahal kalo kami bersaing, pasti dia yang akan menjadi juara satu.

Kami langsung bertegur sapa saat aku turun dari mobil. Aku mengikutinya menuju ruangan panitia. Besar betul rumah ini, kami benar-benar dibuat berkeliling untuk sampai ke salah satu ruangan panitia.

“Ok. Coba kita mulai lagi.” Kak Arif mengarahkan.

Kami mulai berlatih lebih serius. Setelah semua latihan online yang kami jalani, aku dan kak Arif masih perlu banyak berlatih untuk menyamakan nada. Selain aku dan kak Arif, di ruangan ini ada dua MC dan beberapa anak yang akan memainkan drama islami. Konsentrasi kami kadang sedikit pecah di tengah hiruk-pikuk orang-orang sibuk.

Kedua MC itu keluar ruangan, sepertinya mereka akan memulai acara. Sebelum keluar, dia memberitahu kami tentang teknis pemanggilan nanti. Aku hanya manggut-manggut.

Jam masih menunjukkan pukul 08:05 saat kami dipanggil ke atas panggung kecil. Aku menaiki panggung dengan gugup yang berusaha kubungkus rapi. Aura percaya diri dari kak Arif menciptakan suasana positif bagiku. Kami mulai membuka Al-Qur’an, lalu mulai melantunkan ayat demi ayat.

Selesainya kami, acara selanjutnya dimulai. Drama islami dari anak-anak, disambung acara-acara hiburan lain. Para anggota keluarga mulai mempererat tali silaturahmi dengan anggota keluarga yang lain. Aku memilih mengobrol dengan sepupu satu nenek. Tak lama, sepupu jauh yang belum kukenal ikut bergabung dengan kami.

“Hai. Aku ikut gabung ya.” Sapanya ramah.

“Oh, iya.” Kak Arif mempersilakan.

“Kalian cucu dari nenek atau kakek siapa?” dia bertanya.

“Nenek Pujiyati. Nek Yati.” Aku menjawab.

“Oh iya, aku belum kenalan. Perkenalkan, nama aku Sofia, cucu dari nenek Sucipta, anak bungsu kakek buyut.”

“Oalah.”

“Aku cucu satu-satunya, makanya gak ada sepupu. Jadi, harap maklum aku ikut gabung sama kalian. Oh iya, kalian pasti kalo lebaran rame ya? Pengen rasanya kayak gitu juga.” Kami mengangguk mantap.

“Ya gitu deh. Atau gak gini aja, pas lebaran kamu mampir ke rumah nenek kita, biar kamu juga bisa ngerasain gimana rasanya.”

“Nyokap belum tentu ngizinin.” Jawabnya lemah.

“H-1 lebaran aku share location deh. Ntar kamu berangkat sendiri, berani ‘kan?” Aku mengusulkan.

Shofia mengangguk. Kacamatanya yang turun, dinaikkan. Adik-adikku bermain dengan sepupu yang lain. Kini, hanya tinggal aku, kak Arif, dan Shofia. Kami mengobrol seputar sekolah masing-masing. Rupanya Shofia lebih tua dariku, tahun ini ia akan duduk di bangku perkuliahan. Topik berganti menjadi seputar dunia kuliah.

Kadang perbincangan kami dijeda dengan sholat. Kami juga berpindah-pindah tempat demi mengganti suasana obrolan. Percakapan kami tak pernah bosan sampai ba'da ashar.

Ba'da ashar, aku dan kak Shofia ikut membantu di dapur, menyiapkan bukaan dan makan malam. Kak Arif sudah pergi entah ke mana, membantu beres-beres di ruang makan. Ibu dan wanita sebaya lainnya memasak secara bergotong royong. Aku dan perempuan seumuranku membantu yang dirasa bisa kami lakukan.

Panganan siap dibawa ke meja makan. Tersedia air minum gelas kemasan beberapa dus, ratusan kurma, es buah, dan teh hangat. Makanan berat juga siap sedia. Seluruh anggota keluarga mulai mengantre mengambil jatah mereka. Kak Shofia membawa bukaan untuknya dan aku, dia baru kembali membawa ayam bakar dari ruang makan.

Saat adzan Maghrib berkumandang, kami semua langsung membatalkan puasa bersama. Kak Arif yang entah datang dari mana langsung bergabung denganku dan kak Shofia. Setelah perut cukup terisi, kami semua shalat Maghrib berjama’ah, diimami oleh kakek tertua.

Agenda dilanjutkan dengan makan malam dan foto bersama. Keluarga nenekku juga foto bersama. Tak ketinggalan, aku dan keluarga mungilku. Kami bersiap pulang saat kak Shofia mengajakku berfoto. Kak Arif sudah menunggu di depan kamera. Kami bertiga berfoto cepat.

“Kak, besok jadi beli baju buat lebaran 'kan?” Layla bertanya saat kami di perjalanan pulang, aku hampir lupa tentang rencana itu.
“Oh itu, jadiin aja sih, tapi mama belum ngasih uang. Ma, gimana?”
“Hmm. Ya udah deh. Tapi kita semua berangkat bareng ya. Biar dapet baju berkualitas dengan harga terjangkau. Ok?” aku balas mengangguk.

Bersambung...


Sekian dulu ya ceritanya. Sampai ketemu lagi πŸ‘‹. Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Minggu, 03 Juni 2018

Ramadhan Bersama Manda #18 (Special Edition)

Semua Karena Kehendak-Nya


Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Jumpa lagi kita 😊. Kali ini, aku mau bawa kalian keliling dunia *eh gak deh, hanya dua tempat. Tapi, semoga berkesan ya...


Malamnya, aku membuka aplikasi Instagram. Jujur saja, selama bulan Ramadhan, baru kali ini aku membuka Instagram. Berbagai posting-an dari akun wisata alam tersaji di depan mata. Mereka menyodorkan destinasi favoritku selama ini. Melihatnya saja mampu menyejukkan mata dan hati yang gundah. Mungkin, suatu hari nanti...

Aku terlelap dengan angan-angan pergi ke tempat itu. Ya, dua tempat yang sangat ingin kukunjungi. Mekkah dan Inggris. Setiap harap punya cerita dibalik pengharapan. Begitu pun hasratku untuk berkunjung ke dua tempat mengagumkan itu.

Mekkah. Siapa pula yang tak ingin ke sana? Setiap muslim di bumi yang tahu kewajibannya untuk menunaikan haji pasti mau ke tempat ini. Aku juga ingin ke sana suatu hari nanti. Pun, kuikutsertakan ayah dan ibu. Memboyong mereka ke tanah suci itu.

Sejak kutahu sebuah kota bernama Mekkah dan berbagai sejarah serta aspek kehidupannya, aku jatuh cinta pada kota ini. Kupendam rindu pada kota ini hampir selama aku hidup. Apalagi belakangan ini kutahu mengenai tempat-tempat lain selain Masjidil Haram di Mekkah. Gua Hira di Jabal Nur, Gua Tsur di Jabal Tsur, serta Jabal Rahmah merupakan beberapa objek wisata yang memiliki nilai historis di dalamnya. Berbagai tempat di Mekkah ingin kusambangi demi melihat kekuasaan Yang Maha Pencipta.

Kota ini memiliki ciri khas tersendiri dibanding kota lain yang membuatku takjub akannya.  Bagaimana tidak? Hanya di kota Mekkah saja setiap tahun dalam beberapa hari, jutaan warga muslim dunia berkumpul di sini. Ditambah, Mekkah menjadi salah satu kota yang akan terhindar dari fitnah Dajjal. Semua karena kehendak-Nya.

Tempat kedua yaitu Inggris. Negara yang saat ini muslimnya tengah berkembang pesat di negara minoritas. Bahkan saat ini, Islam menjadi agama dengan penganut terbesar kedua setelah Kristen di negeri Ratu Elizabeth ini. Padahal, Islam baru berkembang pesat selama dua dekade terakhir.

Aku mengenal Inggris sebetulnya sudah cukup lama. Bermula dari pelajaran IPS tentang negara-negara di dunia saat di bangku SD. Tapi saat itu, pandanganku tentang Inggris merupakan sebuah negara kerajaan, negara industri, negara sepak bola, dan lainnya. Sampai suatu hari kulihat sejenis acara muslim travel yang sedang berkunjung ke Inggris. Aku langsung jatuh cinta pada negara ini.

Tak pernah terpikirkan olehku, Islam begitu membaur di Inggris. Proses islamisasinya pun berkembang cepat. Mulai dari datangnya imigran Muslim dari negara-negara seperti India dan sekitarnya. Hingga detik ini, banyak penduduk Kristen yang memutuskan menjadi mualaf.

Aku ingin melihat langsung orang-orangnya, penduduknya, bagaimana hati mereka bisa tergerak untuk pindah agama. Aku ingin mendengar cerita-cerita mereka yang berbeda budaya denganku. Pasti menarik sekali. Belum lagi tempat-tempat hebat lainnya yang bisa dikunjungi.

Hal menarik lainnya adalah, banyak masjid-masjid yang bermunculan di Inggris merupakan bekas gereja yang sepi jamaah. Aku juga ingin tahu sejarah lengkapnya melalui mulut mereka sendiri bukan dari mesin pencari. Akan kusambangi pula masjid pertama di negara tersebut, sejarahnya juga tak kalah unik prediksiku. Para penduduknya yang beramai-ramai memutuskan masuk Islam itu hebat bagiku, sangat. Kembali lagi, semua karena kehendak-Nya.

Segala keajaiban dan kehebatan dua tempat yang ingin kukunjungi itu didasari karena kehendak-Nya. Begitu pula keinginanku ke sana. Hal itu tidak bisa terlaksana jika tanpa kehendak-Nya. Semoga kakiku diringankan oleh Allah untuk pergi ke dua tempat itu.

Aku sampai lupa, besok ada agenda penting yang tidak boleh terlewatkan. Kuhampiri ibu dan memastikan segalanya baik. Semuanya baik.

Bersambung...


Kali ini, Manda ada agenda apa sih? Penasaran? Tunggu kisah selanjutnya ya. Sekian. Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Ramadhan Bersama Manda #17

Nuzulul Qur'an


Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Maaf baru ngepos, blognya sempet error tadi.


Saat Dzuhur, aku pamit ke kamar. Rizki bersiap ke kamar mandi, Layla memilih bermain dengan adik kecil kami. Aku meminta maaf, bilang ada kepentingan. Al-Qur’anku semakin lama hanya tergeletak tak tersentuh. Nanti malam merupakan malam yang istimewa. “Aku tak boleh menyia-nyiakannya.” Teguhku dalam hati.

Lepas isya', aku membuka Al-Qur'an-ku. Bacaanku tertinggal beberapa juz dari yang seharusnya ditargetkan. Ayat demi ayat mulai melantun indah memenuhi kamar. Dengung suaranya juga melewati celah-celah dinding. Bunyi jangkrik berhenti seketika saat aku membaca ayat-ayat suci Al-Qur’an, seperti ikut menyimak.

Pukul 21:00, mataku belum sayu, masih segar, seakan-akan membaca Al-Qur’an tak membuatku lelah, malah menambah kekuatan untuk membaca ayat-ayat berikutnya. Maka, aku melanjutkan bacaanku. Suara gemerencik terdengar di luar jendela kamar, pertanda malam akan dibungkus hujan.

Hujan di luar semakin deras. Kini, suaraku bersatu padu dengan titik-titik air yang berjatuhan di luar sana. Walau terdengar lebih bising, aku merasa lebih sunyi. Penduduk di rumah ini sepertinya sudah berehat, kecuali aku yang masih menguntai ayat per ayat Al-Qur’an.

Esok hari, aku mengulangi rutinitas yang sama dengan ayat selanjutnya. Setelah matahari terbit menghangatkan bumi, aku memulai membaca Al-Qur’an. Entah bagaimana caranya, adik bungsuku dengan langkah sedikit tertatih-tatih menghampiriku, ikut bergabung. Aku memangkunya.

Sesekali dia menunjuk-nunjuk ayat Al-Qur’an, kadang dia juga menggeliat minta turun dari pangkuan. Tak lama, dia minta dipangku lagi. Begitu terus sampai Habib mengajak Fathan — adik bungsuku, bermain di luar. Fathan berjingkrak kesenangan, mengejar kakaknya sampai sempat lunglai saat berjalan.

Aku kembali fokus meneruskan bacaan. Godaan datang lagi, kali ini Layla.

“Kak, main lagi yuk, kayak kemaren.”
“Nanti dulu ya, La. 'Kan aku udah janji, besok Minggu kita ke mal bareng. Eh, gimana kalo sekalian beli baju lebaran? Hmm?” aku menggodanya, memancing supaya dia mau dan cepat-cepat pergi.

Layla mengangguk tanda setuju. Aku kembali menyambung tilawahku sampai merasa letih. Istirahat sebentar, lalu lanjut lagi. Begitu terus sampai semburat jingga mulai terlihat di ufuk barat. Aku mampu mengejar ketertinggalanku selama satu hari satu malam.

Terlepas dari kapan diturunkannya Al-Qur’an. Entah itu tanggal 17 Ramadhan atau sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan. Sepatutnya yang terpenting adalah menadaburi atau merenungkan Al-Qur’an, sehingga bisa memahami, mengambil ibrah dan mengamalkan hukum-hukum di dalamnya.

Malamnya, aku membuka aplikasi Instagram. Jujur saja, selama bulan Ramadhan, baru kali ini aku membuka Instagram. Berbagai posting-an dari akun wisata alam tersaji di depan mata. Mereka menyodorkan destinasi favoritku selama ini. Melihatnya saja mampu menyejukkan mata dan hati yang gundah. Mungkin, suatu hari nanti...

Bersambung...


Sekian. Sekali lagi, maaf telat. Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Sabtu, 02 Juni 2018

Ramadhan Bersama Manda #16

Adik-Adik Manda


Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Postingan ini gak sengaja keapus, jadi dipos ulang. Harap maklum kalo tanggalnya sama πŸ˜₯


Di perjalanan, wajah kedua adik kecilku yang mewarnai suasana rumah terbayang. Entah tangisan atau gelak tawa mereka. Itu semua menciptakan rumah terasa pelangi, warna-warni keceriaan yang tidak ditemukan di luar sana. Kebimbangan tiba-tiba menggelayut di pikiranku. Aku memikirkan adik-adikku yang, entahlah.

Baru kurasakan. Aku mulai jauh dari adik-adikku sejak.. Remaja mungkin. Kami mulai jarang bermain. Intensitas melakukan kegiatan bersama juga berkurang. Kami hanya bersama saat shalat berjamaah, sarapan, dan makan malam. Sisanya, kami seperti tidak saling mengenal. Belum tentu setiap hari berkomunikasi. Aku mulai menyadarinya.

Sampai di rumah, aku ke kamar adik kecilku. Saat aku ingin membuka pintu, seseorang dari dalam membuka pintu. Ibu. Ibu baru keluar dari kamar kedua adik kecilku.

“Mereka baru aja tidur. Kamu darimana?”
“Dari rumah temen, ma.” Ibu hanya ber-oh ria.

Aku membalikkan badan, memilih shalat dzuhur terlebih dahulu. Setelahnya, aku menuju kamar adik pertamaku. Sebelum itu, kuketuk pintu kamarnya terlebih dahulu. Tak lama, sosok laki-laki tanggung berbadan tambun yang kini tingginya melampaui tinggiku. Baru kusadari hal sepele seperti ini.

“Kenapa, kak?” aku membisu, tak tahu harus menjawab apa.
“Hmm. Main yuk.” Ajakku.
“Main apa?”
Werewolf gimana?”
Game yang di-line itu?” Aku mengangguk.

Berdua, kami menuju kamar adikku yang lain. Perawakan tinggi kurus dengan rambut sedikit bergelombang keluar dari kamar itu. Adikku yang kedua tumbuh menjadi gadis berperangai elok. Ia menggebu-gebu saat diajak bermain. Pasti dia merindukan momen-momen seperti ini.

Kami berkumpul di ruang tengah. Aku dan Rizki — adikku yang pertama, sudah memegang handphone masing-masing. Layla — adikku yang kedua, baru kembali dari dapur, dia meminjam handphone ibu. Kami bermain dengan suka ria, walaupun kami tidak bermain secara fisik, tapi suasana kebersamaan begitu terasa.

Ruang tengah serasa milik kami bertiga. Naungan kebahagiaan menyelimuti ruangan ini. Kami bermain sampai adzan ashar, aku mengingatkan mereka untuk mengakhiri game sebentar. Begitu penurutnya mereka sekarang, lebih terlihat dewasa. Walaupun mereka meminta satu sesi game lagi, namun pada akhirnya mereka mau mengikuti apa yang kusuruh mereka berbuat baik.

Besoknya, kami melakukan hal yang sama sampai menjelang adzan dzuhur. Hari Jum’at, Rizki harus ke masjid untuk shalat Jum’at. Kadang, di sela-sela permainan, Layla menceritakan kenangan-kenangan masa lalu. Aku dan Rizki hanya tersenyum bahagia.

Pukul 09:00, kami benar-benar istirahat bermain, fokus mengenang kejadian waktu lampau. Canda tawa, sedih, sampai bahagia, hingga terbentuk lesung pipit di wajah Layla.
Layla kehabisan cerita, senyap sempat mengurung kami, hingga aku membicarakan topik yang sedikit serius.

“Kalian 'kan mau masuk SMA sama SMP, udah kepikiran belum mau masuk mana? Tinggal hitungan hari loh.” Rizki dan Layla saling lirik, tak tahu harus menjawab apa.

“Kok jadi pada diem-dieman?” adikku yang berumur 3,5 tahun datang menghampiriku, meminta duduk di pangkuan.

“Kak, Si Habib 'kan udah bisa baca alif-ba-ta.” Layla berusaha mengalihkan topik, melihat Habib datang.

“Gak usah ngalihin topik deh.” Kuputar bola mataku malas.

Geram. Aku menyodorkan daftar SMP di kota kami, melalui handphone-ku. Aku juga mencarikan daftar SMA dan SMK melalui handphone Rizki. Mereka membaca saksama.

Masing-masing dari mereka menjatuhkan pilihannya. Layla ingin sekolah yang paling dekat dengan rumah. Aku hanya mengangguk seadanya. Rizky, dia malah mau satu sekolah denganku, walaupun aku tahun depan lulus. Aku menanyakan alasannya.

“Gapapa.” Hanya itu kata yang keluar dari mulutnya.

Kami lebih dekat sekarang. Apa pun kejadiannya, sekalipun bertengkar harus terjadi, aku senang. Kami lebih dekat sekarang. Mungkin karena disibukkan dengan agenda rapat, atau pertemuan dengan anggota, atau mengurus rohis dan osis, dan lain hal. Intensitas kami bercanda ria berkurang. Omong kosong mengobrol, saat sampai rumah, aku disibukkan dengan tumpukkan tugas yang harus dikumpulkan keesokan harinya. Mana waktuku untuk keempat adikku?

Semua terasa berbeda kini. Tiap detik terasa berharga. Mungkin, saat tahun ajaran baru dimulai, aku harus menyiapkan waktu untuk mereka. Intensitas bertemu bukanlah patokan dalam suatu hubungan, tapi bagaimana setiap pertemuan menjadi sangat berkualitas.

Aku menyiapkan waktu untuk mereka setiap pekan. Sekadar ke bioskop menonton film yang ingin mereka tonton, atau hanya ke kedai es krim di ujung jalan rumah kami.

Saat Dzuhur, aku pamit ke kamar. Rizki bersiap ke kamar mandi, Layla memilih bermain dengan adik kecil kami. Aku meminta maaf, bilang ada kepentingan. Al-Qur’anku semakin lama hanya tergeletak tak tersentuh. Nanti malam merupakan malam yang istimewa. “Aku tak boleh menyia-nyiakannya.” Teguhku dalam hati.

Bersambung...


Postingan yang #17 nanti aku post. Mohon maaf atas ketidaknyamanan ini. Sekian. Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Kamis, 31 Mei 2018

Ramadhan Bersama Manda #15

Yang Maha Mengetahui


Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Penasaran, kenapa Manda khawatir karena melihat pengumuman di handphone-nya? Yuk baca..


Adzan Maghrib berkumandang sangat jelas, kami berbuka serentak. Sembari menunggu antrean wudhu, aku mengecek handphone-ku. Wajahku mendadak pucat pasi, ibu sampai khawatir. Aku melihat kembali pengumuman itu, entah bagaimana caraku mengatasinya.

Aku dan ibu langsung pulang setelah shalat Maghrib berjama’ah di masjid. Sepulangnya kami, ibu langsung menyiapkan makan malam yang sedikit terlambat. Aku berjalan ke kamar adik kecilku, membawa mereka ke meja makan. Di kamar, mereka masih tertidur pulas. Sepanjang sore mereka berdua tidur nyenyak, bak putri tidur.

Usai makan malam, seperti biasa kami sholat Isya’ berjama’ah. Aku langsung ke kamar setelah itu, membuka handphone. Kubaca lagi pesan itu, aku tak salah baca.

“Assalamu’alaikum, Manda. Besok ketemu kakak ya, jam 9 di rumah kakak.” 
“Wa’alaikumussalam. Insyaallah.” 

Entah apa tujuan kak Kirana mengajakku bertemu kali ini. Sisa malam kuhabiskan dengan menduga-duga, lupa dengan targetan tilawah. Aku mengambil Al-Qur’an berbalut kain biru langit sedikit malas. Kantuk mulai menggelayut manja. Tak sadar, aku tidur sambil mendekap Al-Qur’an mungilku.

Pagi kembali menyapa. Aku bersiap berangkat ke rumah kak Kirana. Saat sudah siap, aku menelepon kak Kirana.

“Halo. Assalamu’alaikum, kak Kiran.”
“Wa’alaikumussalam. Ada apa, Man?”
“Kak, aku udah siap, kalo aku berangkat sekarang gapapa 'kan?” aku menengok ke arah jam yang masih menunjukkan pukul 08:30.
“Oh. Ya udah gapapa.”
“Ok. Aku otw, kak.”

Semilir angin berembus lemah. Satu dua burung berkicau melewatiku. Aku memilih menurunkan kecepatan motorku dari kelajuan normal. Rumah kak Kirana tidak begitu jauh dari sekolah. Bertemu dengannya seperti akan menghadapi ujian fisika. Berat. Apalagi, setelah kuingat-ingat, beliau memang lulusan fisika.

Rumah kak Kirana tepat di depan mataku saat ini. Aku mengucap salam sedikit kencang. Sosok anggun berperawakan mungil muncul dengan senyum hangat serupa matahari terbit. Aku membalas senyumnya dengan senyuman tipis. Canggung. Pertemuanku dengan kak Kirana tak seperti biasanya.

“Ada apa kak?” aku bertanya to the point.
“Buru-buru amat. Tanya-tanya kabar dulu lah.”
“Gimana kabarnya?” kak Kirana bertanya setelah sebelumnya hanya sunyi memerangkap kami.
“Alhamdulillah, baik.”

Kak Kirana mulai menanyakan kabar keluargaku. Orang-orang terdekatku juga ia tanyakan kabarnya. Kami sempat menyerempet pembicaraan lain. Aku masih belum tenang, entah apa yang nanti akan ditanyakan kak Kirana pada akhirnya. Sampai akhirnya ia mulai menanyakan inti percakapan.

“Syiar apa kabar?”
“Ya, begitulah kak.”
“Coba jelasin.” Kak Kirana bertanya tegas disertai senyuman.
“Ya, gitu deh kak. Sebenarnya sejauh ini baik-baik aja. Ada sih hambatan, tapi masih bisa ke-handle.”
“Tapi kok kayaknya kamu punya masalah.”

Kak Kirana tahu betul bagaimana mengontrol emosinya agar tetap stabil. Aku pasti berkali-kali gugup karena ini. Sepertinya dia juga belajar ilmu psikolog hingga dia bisa tahu apa-apa dari diriku.

“Aku ngerasa berat aja kak. Bukan karena rohisnya. Tapi karena aku harus ngejalanin dua amanah di rohis sama osis. Kadang, aku ngerasa kayak gak bisa nyeimbangin keduanya.” Aku menuturkan sejelas yang kubisa.

Kak Kirana hanya tersenyum manis. Sepertinya dia siap menembakkan pelurunya kali ini. Pistol yang sudah ia siapkan sejak tadi bersedia memuntahkan peluru demi peluru.

“Gini loh, Man. Setiap posisi itu entah bagaimana caranya bisa disematkan ke kita, merupakan hal atau takdir yang memang harus kita jalanin. Suka gak suka, bisa gak bisa. Mungkin kamu ngerasa berat karena punya jabatan banyak, tapi Allah selalu tahu kemampuan hamba-Nya. Kalo kamu dikasih dua jabatan, berarti Allah yakin kamu bisa, Man. Allah itu Yang Maha Mengetahui. Dia tahu kamu bisa.”

Aku memikirkan kata-katanya. Aku hanya menunduk, sesekali melihat wajahnya yang tidak bisa ditebak.

“Kakak diterima di fisika unj itu takdir, padahal kakak pengen kuliah yang jauh. Awalnya kakak juga ngerasa berat, tapi di beberapa situasi kakak ngerasa lebih baik kuliah di sini daripada kuliah di tempat jauh. Kamu juga pernah cerita, sekolah kamu yang sekarang bukan impianmu bukan? Tapi coba pikir-pikir lagi, inget-inget lagi, mungkin ini yang terbaik. Allah, Dia Yang Maha Mengetahui.” Sambung kak Kirana.

“Hmm, kak. Jadinya, kakak ngapain nyuruh aku ke sini?” aku mengganti topik.

“Udah kok. Kakak cuman pengen tau kabar kamu doang.” Kak Kirana menjawab sambil sedikit tertawa.

Setelah waktu terus berjalan. Kecanggungan mereda, kak Kirana mulai membicarakan hal-hal yang lebih santai. Aku terbawa suasana kehangatan. Bagiku, dia bukan hanya seorang mentor, tapi kakak. Kakak yang baik, yang juga menginginkan kebaikan untuk adiknya. Seperti tadi, dia ingin aku menjadi visioner baik di rohis maupun osis.

Aku berpamitan saat Dzuhur. Khawatir ibu kerepotan dengan kedua adik kecilku. Kak Kirana tersenyum, mengizinkan. Kali ini, kami tidak hanya bersalaman, kami berpelukan. Seperti pelukan adik-kakak yang lama tak berjumpa.

Di perjalanan, wajah kedua adik kecilku yang mewarnai suasana rumah terbayang. Entah tangisan atau gelak tawa mereka. Itu semua menciptakan rumah terasa pelangi, warna-warni keceriaan yang tidak ditemukan di luar sana. Kebimbangan tiba-tiba menggelayut di pikiranku. Aku memikirkan adik-adikku yang, entahlah.

Bersambung...


Sekian. Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Rabu, 30 Mei 2018

Ramadhan Bersama Manda #14

Ta'jil On The Road


Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Hai hai, penasaran gak hari ini bercerita tentang apa? Seperti yang sama-sama kita tahu, ta'jil on the road merupakan salah satu agenda di bulan ramadhan, yaitu kegiatan membagi-bagikan ta'jil di pinggir jalan kepada orang-orang yang berpuasa yang sedang dalam perjalanan. Langsung baca aja ya.. ngapain sih Manda kali ini?


Sampai di rumah, aku menyerahkan rok lavender milik ibu. Ibu sedang menulis sesuatu.

“Ma, nulis apa?” Manda bertanya penasaran.

 “Eh, Manda. Ini, mama lagi buat list bahan-bahan yang mau mama beli buat bagi-bagi ta'jil.” Ibu menjelaskan.

“Oalah. Oh iya ma, itu acaranya kapan?”

“Besok.”

“Aku ikut dong, ma.” Aku menjerit antusias.

“Ya, boleh sih. Tapi kenapa? Di sana ibu-ibu doang loh.” Ibu mengingatkan.

“Gapapa. Hehe, aku pernah denger hadits yang bilang kalo kita ngasih bukaan ke orang, kita bakal dapet pahala puasa orang yang puasa itu tanpa ngurangin pahala puasa dia. Bener 'kan, ma?” aku bertanya memastikan.

“Oh, iya bener.”

“Sama ini ma, aku nitip bahan-bahan buat bikin ta'jil boleh gak? Aku juga mau buat.”

“Ya udah, mana list-nya?”

“Bentar ya, ma.”

Aku melesat ke kamar. Secepatnya membuka buku resep pribadiku. Got it! Kuambil sehelai kertas dan pulpen di meja belajar, lantas menyalinnya. Kuserahkan kertas itu ke ibu.
Esoknya, sepulang ibu dari pasar modern, aku mengambil bahan-bahan milikku. Bersiap membuatnya di dapur.

“Man, kamu mau buat sekarang?” ibu bertanya heran.

“Iya, ma. Kenapa?”

“Gapapa, cuman ini 'kan masih pagi. Panganan yang mau kamu buat apa sih? Kok pake susu bubuk segala?”

“Hehe. Es kepal, ma.”

“Dasar. Ya udah sana buat, nyusun di kulkasnya hati-hati ya, agak penuh soalnya.”

“Iya ma. Oh iya, aku boleh pinjem tas yang buat es itu gak?”

“Ya udah pake aja, ada di lemari dapur, cari aja.”

Aku melenggang ke dapur dengan membawa barang belanjaan. Kuserut keseluruhan es di mangkuk besar. Setelah itu, aku meletakkan es yang sudah diserut ke masing-masing wadah. Tak lupa, kusiram dengan susu kental dan taburan aneka topping. Siap. Aku langsung memasukkan es kepal ke dalam kulkas satu per satu.

Ba'da ashar, aku bersiap berangkat ke masjid dekat rumah. Blus ungu muda polos dengan rok pink motif kupu-kupu ungu dilengkapi khimar pink beraksen ungu. Aku memasukkan es kepal ke dalam tas khusus es. Kubayangkan wajah penerima es kepal buatanku, rona bahagia tersirat dari wajah mereka.

Ibu baru keluar dari kamarnya, lantas mengambil dua plastik besar berisi belasan gelas es buah. Sambil meniti jalan, kami membawa ta'jil masing-masing. Sebenarnya, masjid hanya berjarak tiga gang dari rumah kami, tapi bak pulau di ujung laut, lama betul kami sampai di lokasi tujuan.

Setibanya kami di masjid, beberapa ibu-ibu mulai menyusun ta'jil bawaan mereka di sebuah meja yang panjang nan lebar. Aku memilih menempatkan es kepalku di pinggir, sepertinya lebih nyaman. Setelah kehadiranku dan ibu, beberapa ibu-ibu lain masih ada yang datang. Alhasil, satu meja tidak cukup. Beramai-ramai kami membawa sebuah meja sejenis dari belakang masjid menuju beranda masjid.

Satu dua orang mulai datang mengambil ta'jil. Aku memberikan semangkuk es kepal dengan meniru senyuman ala petugas minimarket. Ibuku hanya tertawa cekikikan di sampingku. Menjelang berbuka, makin ramai orang datang. Tepian masjid mulai dipenuhi oleh orang-orang yang akan membatalkan puasa mereka.

Adzan Maghrib berkumandang sangat jelas, kami berbuka serentak. Sembari menunggu antrean wudhu, aku mengecek handphone-ku. Wajahku mendadak pucat pasi, ibu sampai khawatir. Aku melihat kembali pengumuman itu, entah bagaimana caraku mengatasinya.

Bersambung...


Sekian. Para pembaca, besok jangan lupa baca ceritaku selanjutnya ya, khususnya para remaja. Cocok bgt. πŸ‘‹ Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Selasa, 29 Mei 2018

Ramadhan Bersama Manda #13

Mentoring Reuni (?)


Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Hayo, siapa yang penasaran si Manda mau kemana? Cung Cung πŸ™‹ Kita lanjut aja ya, selamat membaca.


Sebelum pergi, aku mengecek handphone-ku dulu. 

“Assalamu’alaikum, besok jadiin kuy.” Adel berkicau.
“Wa’alaikumussalam, ayo, kakak besok free.” Balas kak Kirana.
“Ayo, jadiin, besok libur 'kan? Gas lah.” Aku ikut terlibat dalam obrolan.

Sampai di rumah, waktu menjelang adzan Maghrib. Aku langsung berkumpul di meja makan. Semua sudah di kursi masing-masing.
Malam ini rutinitas keluarga berjalan lebih khidmat dari biasanya. Entah bagaimana kedua adik kecilku tidak saling berebut mainan. Yang besar juga tidak memperebutkan jam main laptop. Usai shalat Isya’ aku masuk ke kamarku, melibatkan diri dalam obrolan di grup mentoring. Belum ada lagi yang melanjutkan percakapan, aku memulai.

“Besok dimana kak? Jam berapa?”
“Jam 10 gimana?” kak Kirana selaku mentor bertanya.
“Aku ngikut aja kak, besok free juga.” 
Tidak ada yang membalas, aku menutup handphone-ku. Seperti biasa, aku menyambung tilawahku.

Pukul 21:00. Aku menghentikan tilawahku sejenak, mengecek kabar terbaru di grup mentoring. Grup berisi 20+ chat. Aku membaca saksama. Semua setuju jam 10. Dina, teman rohisku yang lain menyarankan mentoring di kafe lain. Kompak, kami semua setuju. Aku ikut berkomentar.

“Akhirnya ya, setelah sekian lama kita sibuk dengan urusan dunia masing-masing. Kini kita dipersatukan kembali setelah hampir 3 bulan untuk urusan akhirat.” 

Teman-teman berkomentar dengan emoticon jempol dan kalimat-kalimat setuju. Setelah kuingat-ingat kembali, terakhir mentoring aku tidak bisa hadir karena diklat OSIS. Itu berarti mentoring terakhirku sebelumnya lagi. Hampir empat bulan! Tidak bisa kupercaya. Padahal di lingkaran mentoring inilah kita bisa meningkatkan keimanan.

Aku kembali merenungi khilafku. Aku selalu menjadi pionir dalam setiap agenda mentoring, tapi saat waktu dan tempat ditentukan, malah aku yang pertama tidak bisa hadir. Baiklah, aku harus lebih memprioritaskan agenda mentoring.

Fajar kembali menyapa. Aku baru saja menyelesaikan santap sahur saat pemberitahuan imsak dari siaran televisi.

“Sayang, kamu tau penjual rok yang bagus gak? Langganan mama pulang kampung.” Ibu bertanya saat aku selesai berwudhu untuk shalat Shubuh.

“Ada ma. Mama mau warna apa? Kebetulan nanti aku ketemu dia.”

“Susah jelasinnya, kamu ada palet warnanya gak? Atau foto contoh roknya?”

“Ada di hp, ma. Abis shalat aja ya, papa udah selesai wudhu tuh.” Aku memberitahu.

Selesai shalat Shubuh, ibu mengikutiku ke kamar. Aku menunjukkan contoh rok-roknya.

“Nah, yang ini nih, Man.” Mama menunjuk rok warna lavender.

“Lavender?”

“Iya. Mama bingung nama warnanya, bukan ungu tapi juga bukan pink.” Ibu menceritakan.

“Emang buat apa sih, ma?”

“Acara bagi-bagi ta'jil gitu dari ibu-ibu masjid. Nah, dresscode-nya boleh pink boleh ungu. Setelah mama cari-cari, adanya atasan warna lavender, roknya gak ada, ya udah mama nanya ke kamu.” Aku mengangguk takzim.

Aku menelepon kak Kiran — panggilan akrabku dengan kak Kirana. Menanyakan apa rok warna lavender sedang ready stock. Sisanya, kami mengobrol ngalor-ngidul sampai matahari terbit. Kami bicara tentang sulitnya mengajak kumpul para anggota sampai banyaknya pengurus osis yang mulai berpacaran.

Hari ini tanggal merah, hari libur nasional. Mentoring dimulai pukul 10:00, masih ada waktu tiga jam lebih. Masa yang panjang aku manfaatkan untuk tilawah.

Lelah bertilawah, aku melarikan diri ke laptop. Kubuka Microsoft word, mulai menulis untuk dipublikasikan di blog pribadi, beribadah melalui tulisan inspiratif nan bermanfaat. Satu dua huruf, satu dua kata, satu dua kalimat. Dalam waktu singkat, aku menyelesaikan satu paragraf, dilanjut paragraf-paragraf berikutnya. Ide berputar-putar dipikiranku. Tak butuh waktu lama, artikel mengenai shaum selesai. Artikelku dilengkapi pula dengan data-data dari kajian di Islamic center kala itu.

Selesai. Aku menyiapkan diri untuk mentoring. Blus abu-abu muda dengan pita abu-abu tua di lengan, dengan rok motif strip hitam dan abu-abu tua, dilengkapi khimar hitam polos. Aku siap berangkat.

“Hari ini akan jadi mentoring reuni” pikirku dalam hati sambil tertawa kecil.

Sampai di tempat, baru kak Kirana yang datang. Sembari menunggu, kami bertilawah masing-masing. Satu jam berlalu cepat, belum ada yang datang lagi. Kami mengobrol ringan sebentar, sampai akhirnya ada lagi yang datang.

“Baru segini?” Hany bertanya.
“Gatau deh.” Aku menjawab ringan.
“Ya udah, kita mulai dulu aja.” Kak Kirana memutuskan memulai.

Mentoring dibuka dengan bismillah dan dilanjutkan tilawah secara bergilir. Mentoring berlangsung dengan khidmat, sesekali aku melirik ke pintu kafe, barangkali ada lagi yang akan memenuhi kursi sampingku. Embusan angin yang keluar dari ac kafe menciptakan suasana mentoring yang lebih nyaman.

“Ok. Hmm, hari ini kita sharing-sharing aja ya? Mungkin ada yang perlu diceritakan atau ditanyakan.” Kak Kirana mempersilakan.

Aku dan Hanny secara bergantian bercerita. Mulai dari anggota rohis yang jarang datang. Bagaimana solusinya? Sampai hal-hal rumit mengenai perkuliahan. Kak Kirana juga menceritakan pengalamannya saat berganti jenjang sekolah.

Adzan Dzuhur mengingatkan kita untuk mengakhiri mentoring. Usai mentoring, Kak Kirana menyerahkan rok pesanan ibu. Aku bahkan hampir lupa. Segera kukeluarkan uang sejumlah harga rok, kak Kirana juga menyerahkan novel Habiburrahman El Shirazy yang ingin kupinjam.

Walau mentoring reuni yang kuidamkan tak terwujud, entah kenapa aku merasa lapang. Apa ini yang namanya sukses mentoring? Sebuah ketenangan batin yang membuncah riang.

Sampai di rumah, aku menyerahkan rok lavender milik ibu. Ibu sedang menulis sesuatu.

“Ma, nulis apa?” Manda bertanya penasaran.

Bersambung...


Ea..ea..ea.. ada yang penasaran sama kelanjutan ceritanya? Ditunggu ya. Sekian dulu aja ya. Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Senin, 28 Mei 2018

Ramadhan Bersama Manda #12

Perbanyak Sedekah


Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Tanpa basa-basi lagi, langsung sambung cerita aja ya..


Sepanjang perjalanan pulang, tak sengaja Manda memperhatikan masjid-masjid di pinggir jalan. Beberapa di antaranya mulai pudar warnanya. Manda pun tahu betul bagaimana fasilitas beberapa masjid — kurang terawat. Baru kali ini Manda berpikir sedetail itu.

“Miris.” Hanya itu kata yang keluar dari bibirku.

Matahari kembali menyapa dunia. Burung-burung berkicauan, rona merah muda di langit mulai menghilang. Hari ini aku masuk sekolah, tanpa KBM, formalitas sekolah barangkali. Aku beranjak ke kamar mandi. Entah kenapa, hari ini air keran membuatku sedikit menggigil. Selesai mandi dan bersiap, aku menggerakkan kakiku menuju sekolah.

Nyiur angin menerpa lembut pepohonan. Embun-embun masih membasahi dedaunan dan rumput saat aku berangkat. Ada untungnya juga tinggal di pinggiran kota, jauh dari polusi berbagai macam asap. Sepanjang perjalanan, aku merasa lebih mensyukuri nikmat. Jarang-jarang aku seperti ini.

Lagi, beberapa masjid yang kulewati lebih terlihat jelas reotnya jika ditimpa cahaya matahari. Jika aku berlebih, ingin sekali aku menyumbangkan sebagian hartaku untuk disedekahkan ke setiap masjid.

Sampai di tempat parkir, aku merasa terheran-heran, jumlah sepeda motor bisa dihitung jari. Di dalam gedung sekolah pun sama, sedikit, sepi. Aku menuju ruang guru, mengumpulkan tugas. Belum ada satu pun temanku, baik itu teman OSIS, rohis, apalagi teman kelas. Aku memilih menyambung tilawah di serambi masjid sekolah.

Setengah jam berlalu cepat, salah satu teman rohis menghampiriku.

“Assalamu’alaikum, Man.”
“Wa’alaikumussalam, eh Adel.”

Kami duduk bersama. Aku menutup Al-Qur’an milikku. Sejenak, hanya keheningan dalam pertemuan kami. Aku memulai percakapan.

“Hmm, del, setiap hari infaq yang masuk ke masjid sekolah kita berapa ya?” pertanyaan itu selintas menggelitikku.

“Entah, tapi aku rasa gak banyak. Karena aku gak pernah ngeliat ada orang masukin ke kotak amal.” Adel menjelaskan.

“Ye.. kalo kayak gitu bisa aja yang ngasih infaq pas kamu gak ngeliat langsung ngasih 100.000.” sergahku.

“Ya, 'kan gak tau.” Adel membela diri.

“Si Nisa tau kali ya?” aku kembali bertanya.

“Mungkin.”

“Kamu kenapa sih nanya hal-hal kayak gitu?” giliran Adel yang bertanya.

“Gapapa, pengen tau aja.” Aku menjawab nyengir.

Hari pertama pasca Penilaian Akhir Tahun, aku baru menerima satu nilai, hasilnya di atas rata-rata kelas. Malas menunggu nilai lainnya, aku memutuskan pulang.

Saat tiba di rumah, aku memeriksa isi dompetku. Masih ada dua lembar seratus ribu dan beberapa pecahan yang total keseluruhannya 240.000. Rekor, ini jumlah terbanyak di akhir bulan. Aku sudah menabung di awal bulan. Pikiran tentang bersedekah pada masjid kembali terlintas. 

Uangku cukup banyak untuk aku pribadi, tapi apa ini cukup untuk masjid yang perlu direnovasi? Jika dihitung-hitung, ada lima masjid yang perlu dibenahi. Aku menghampiri ibuku yang tengah berehat di ruang tengah, meminta pendapat.

“Ma.. beberapa masjid di pinggir jalan perlu direnovasi, kebetulan aku punya uang yang menurutku banyak, tapi apa ini cukup untuk merenovasi lima masjid?” aku bertanya sambil menyodorkan sejumlah uang.

“Mungkin untuk merenovasi belum cukup, nak. Tapi itu akan sangat membantu untuk memperbanyak kas mereka. Gak apa-apa kok, kamu gak usah segen. Sini mama tukerin pake uang mama.” ibu menjawab dengan senyum terkembang, lantas berjalan ke arah kamar.

“Nih. Setiap masjid kamu kasih 62.000, mama ikut nyumbang. Ya, walaupun gak banyak, insyaallah bisa bernilai ibadah.” Ibu memberikan uang yang sudah digulung.

Ibu memberikan gulungan berikutnya sama persis. Gulungan paling luar 2.000, berikutnya 10.000, dan yang paling dalam 50.000. Ibu masih tersenyum menatapku.

“Mama bangga sama kamu, bisa berpikiran seperti itu.” Ibu memujiku, aku hanya mengangkat bahu.

Saat matahari mulai tergelincir, aku turun ke jalanan menuju masjid-masjid. Satu per satu kumasukkan uang ke dalam kotak amal, aku juga menyapa marbot.

“Assalamu’alaikum, pak. Kalo masjid ini mau direnovasi, hubungin saya di nomor ini ya? Saya mau ikut bantu-bantu.” Kurang lebih seperti itu aku menitip pesan pada setiap marbot masjid.

Sebelum pergi, aku mengecek handphone-ku dulu. 

“Assalamu’alaikum, besok jadiin kuy.” Adel berkicau.
“Wa’alaikumussalam, ayo, kakak besok free.” Balas kak Kirana.
“Ayo, jadiin, besok libur 'kan? Gas lah.” Aku ikut terlibat dalam obrolan.

Bersambung...


Waduh, si Manda mau kemana tuh? Pantengin terus cerbungnya ya.. Sekian. Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Minggu, 27 Mei 2018

Ramadhan Bersama Manda #11

Mempererat Tali Silaturahmi


Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Punya orang terdekat yang udah meninggal? Yuk simak lanjutan cerbung berikut ini. Bagaimana sebaiknya kita bersikap?


Matahari tepat di tengah-tengah saat aku mengakhiri perenungan minggu ini. Aku mulai menyisir kontak di handphone. Menanyakan kabar satu per satu, dan mengajak bertemu sore nanti. Nihil. Semua sibuk. Kebanyakan sudah memiliki agenda buka bersama, yang lainnya di luar kota atau memikirkan ulangan besok (sebagian sekolah belum ujian akhir).

Ke mana lagi aku akan pergi? Tiba-tiba dering teleponku berbunyi nyaring. Aku melihat nama yang tertera di layar, Nisa. Nisa? Kenapa dia? Sejak pertama aku mengenalnya dia tidak pernah meneleponku, bahkan dengan nomor telepon, bukan via aplikasi pesan instan.

“Assalamu’alaikum, Man.” Sapanya di ujung telepon.

“Wa'alaikumussalam. Ada apa Nis?”

“Ini bukan Nisa. Aku sepupunya, Aisyah. Ada berita duka yang harus aku sampein. Adik kedua Nisa meninggal dunia karena sakit.”

“Innalilahi wa inna ilaihi raji’un. Sekarang jenazahnya udah diapain kak?”

“Jenazah lagi dimandiin.”

“Oh gitu ya kak, makasih infonya. Aku berangkat ke sana sesegera mungkin.”

Aku bergegas pergi saat selesai menyiapkan diri. Pakaian khas hitam-hitam ala melayat aku kenakan. Rumah Nisa tidak terlalu jauh dari rumahku. Tak lama, aku sampai di rumahnya.
Halaman rumahnya dipenuhi berbagai kendaraan. Keluarga besar Nisa berkumpul, ada beberapa teman dekatnya pula. Sepeda motorku aku masukkan ke wilayah halaman, turut memenuhinya. Di dalam, adik Nisa sedang dikafani, bersiap dishalatkan ba'da ashar.

Aku menghampiri Nisa yang sedang sesenggukan di ujung ruangan. Ada beberapa saudaranya di sana.

“Nisa.” Sapaku lemah.
Ia tak memedulikan panggilanku. Salah satu saudaranya melihatku.

“Kamu Manda ya?”

“Eh? Kak Aisyah ya?” aku mengenali suaranya.

“Iya. Coba kamu tenangin dia deh. Kami, sepupu-sepupunya udah nyoba dari tadi, tapi gak bisa-bisa.

“Eh, aku bukan temen paling deketnya kak. Nisa lebih deket sama beberapa temen SMP-nya daripada aku, aku cuma temen rohis.

“Tadi mereka udah nyoba, tapi gak bisa. Siapa tau sama kamu bisa.”

“Ok.”

Para sepupu Nisa meninggalkannya. Kini hanya ada Nisa dan aku. Aku mendekatinya.

“Nisa.” Aku mengulang sapaanku.

“Jika kau berusaha menenangkanku, lebih baik kau pergi, kamu tidak tahu rasanya menjadi diriku.” Nisa membalas ketus.

“Hei. Kaputku. Kamu kaput 'kan? Yang biasa nenangin orang kalo lagi emosi, entah marah entah nangis. Dan, coba kuingat sebentar, kemaren siapa ya yang nenangin salah satu anggota rohis yang dapet berita duka?”

“Tapi ini beda, Man.” Nisa sedikit menjerit.

“Apanya yang beda? Malahan, tuh anak rohis yang meninggal ibunya. Bukannya aku bandingin, tapi ya, kamu harus kuat, Nis.”

“Kamu gak tau rasanya, Man.”

“Aku emang gak tau, tapi waktu itu kamu juga bilang kayak gitu ke anak rohis.” Aku membalasnya.
Nisa mendengus kesal, tidak memedulikanku.

“Aku tahu kamu sedih, tapi kamu harus inget, kita gak boleh berduka lebih dari tiga hari.”

“Lebih baik aku pergi.”

Nisa meninggalkanku sendiri di sini. Dia menerobos beberapa kerumunan menuju kamar pribadinya. Kak Aisyah menghampiriku melihat Nisa pergi.

“Kamu bilang apa ke dia?”
“Gak banyak, kak. Hmm, mungkin dia perlu waktu sendiri, baiknya dibiarin dulu aja, kak.” Dia hanya mengangguk.

Aku ikut menyolatkan jenazah. Nisa turut menyolatkan, dia disampingku. Sedikit sesenggukan di sela-sela shalat berlangsung. Selesai shalat, jenazah langsung dibawa ke kuburan. Aku menyertai jenazah menuju kuburan. Lokasi pemakaman tak begitu jauh dari rumah Nisa.

“Nisa, aku kangen kamu yang kemaren.” Aku memulai obrolan sepanjang jalan kembali ke rumah Nisa.

Sedari tadi aku sibuk memilih kata yang pas. Nisa hanya diam di boncengan, tak berkomentar.

“Ingat waktu kita berantem kalo lagi ngomongin sekbid? Dulu banget, waktu kamu di OSIS. Belum lama, kita juga masih suka ribut kalo ngomongin rohis, pas kamu udah keluar dari OSIS dan sekarang jadi kaput. Nis, setiap yang kita berantemin itu masalah yang harus ditemukan solusinya. Setiap masalah memang selalu menciptakan emosi baru. Kepulangan adek kamu juga masalah, emosi yang terjadi ya.. kita semua sedih. Solusinya apa? Kita harus sikapin dengan baik, lebih mendekatkan diri sama Allah karena kematian akan menghampiri semua makhluk hidup, tinggal menunggu siapa yang duluan dijemput. Kita juga gak boleh terlalu lama berduka, masa depan menanti di depan sana, hidup kita terlalu sia-sia jika hanya menangisi kepergian orang tersayang. Pun, mereka yang pergi mendahului kita pasti ingin kita giat beribadah giat belajar setelah kepergiannya.” Rentetan kalimat tersebut mengalir begitu saja.

Lagi-lagi Nisa hanya terdiam. Sepertinya ia merenung, memikirkan ucapanku.

Sampai di rumah Nisa, kami bersiap berbuka. Aku ikut menyiapkan, beberapa makanan dibawa ke kamar Nisa. Dia memilih berbuka bersama sepupu dan teman terdekatnya.

Adzan Maghrib berkumandang jelas. Kami meneguk segelas air putih kemasan dan beberapa kurma. Aku pamit setelah shalat Maghrib berjama’ah, takut ibu dan ayah khawatir. Aku lupa memberi kabar.

“Man, makasih ya buat hari ini. Maaf juga tadi aku kasar sama kamu. Aku tau aku salah, sering-sering jadi reminder amalan aku ya.”

“Iya, sama-sama. Gapapa kok. Kamu juga jadi reminder proker-proker aku ya, aku suka lupa, hehe.”

“Iya.”
“Aku pamit dulu ya, takut dicariin orang rumah.”
“Iya.”

Sepanjang perjalanan pulang, tak sengaja Manda memperhatikan masjid-masjid di pinggir jalan. Beberapa di antaranya mulai pudar warnanya. Manda pun tahu betul bagaimana fasilitas beberapa masjid — kurang terawat. Baru kali ini Manda berpikir sedetail itu.

Bersambung...


Udah hari ke sebelas nih. Kritik dan saran dong. Bisa di kolom komentar atau @firda_abdllh di Instagram. Makasih. Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Sabtu, 26 Mei 2018

Ramadhan Bersama Manda #10 (Special Edition)

Note to My Self


Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Ramadhan Bersama Manda special edition ada lagi nih. Simak ya..

Note: Manda diganti menjadi kata ganti Aku.

Ramadhan menjadi titik balik banyak orang menjadi pribadi yang lebih baik. Begitu juga aku, saat ini aku merasa banyak perubahan hanya dalam kurun waktu sepuluh hari. Memang, sebelumnya aku dipandang orang memiliki akhlaq mulia. Tapi, apa benar aku semulia itu? Bukankah Rasulullah saja pernah berbuat kesalahan yang membuat Allah murka? Apalah diriku yang hanya umatnya?

Hari ini hari Minggu. Aku sibuk mengurung diri di kamar, merenung. Sejatinya setiap masa harus menjadi bahan introspeksi, setiap manusia pasti pernah lalai dalam suatu hal. Sangatlah berbohong jika aku tidak memiliki cacat perilaku. Hina sekali aku jika merasa tidak punya kesalahan. Sombongnya diriku yang merasa sudah sempurna.

Pergolakan batin menguasai diriku. Aku selalu mengurung diri di kamar di hari Minggu akhir-akhir ini, merasa bahwa ini pilihan baik. Pagi ini, mungkin teman-teman sedang jogging bersama, memanfaatkan momen car free day.

“Itu dia.” Bisikku dalam hati.

Akhir-akhir ini aku terlalu selektif memilih teman bergaul. Mungkin, karena aku terlalu memegang teguh sebuah hadits, tanpa benar-benar mengerti batasan-batasannya.

“Permisalan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi, atau engkau bisa membeli minyak wangi darinya, dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu, dan kalaupun tidak engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap.” (HR. Bukhari 5534 dan Muslim 2628).

Sejak aku mengenal hadits itu, sedikit banyak membuatku jauh dengan kawan lama yang menurutku buruk. Buruk nian perangaiku, dengan mudahnya menilai orang, meski diri sendiri belum tentu baik.

Teringat pula aku mengenai hadits memutuskan tali silaturahmi.

“Tidaklah masuk surga orang yang suka memutus, ( memutus tali silaturahmi)”. 

Egoisnya diriku. Saat ini aku sedang mempertebal iman, tanpa tahu bagaimana iman teman-temanku. Sudah teramat lama aku menghubungi teman-temannya.

Baiklah, aku harus segera berubah, mencoba menarik teman-teman di jurang kegelapan menuju daratan dengan sinar cahaya nan terang benderang.

Note to my self: mempertebal iman dibarengi menghijrahkan teman-teman.


Nb: Buat yang gak tau note to my self apa. Jadi, note to my self itu intinya nasihat untuk diri sendiri, semacam catatan introspeksi diri, yang ke depannya semoga bisa menjadi doa untuk hari-hari berikutnya.

Itu dulu ya, maaf pendek πŸ˜‚ buat yang suka lupa kali dinasehatin orang, bisa nih pake metode note to my self. Selamat mempraktekkan!!! Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Jumat, 25 Mei 2018

Ramadhan Bersama Manda #9

Majelis Ilmu


Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Cerbung kali ini, terkhusus para akhwat yang suka bingung kalo mau ibadah pas tamunya dateng. Baca aja ya πŸ˜‹


Matahari pagi bersinar hangat di ufuk timur. Manda bersiap berangkat ke sekolah. Sebelumnya, ia sarapan terlebih dahulu, hari ini dia tak puasa. Manda memilih makan di kamar, menghindari adiknya yang masih belajar puasa.

Hari ini merupakan hari terakhir ulangan. Selesai ulangan, ia akan melanjutkan amalannya yang kurang maksimal di masa-masa ulangan.

Manda teringat, dia tidak berpuasa. Manda tidak bisa melanjutkan tilawahnya, apalagi sholat Dhuha.

Manda bergegas berangkat kala jam dinding menunjukkan pukul 07:00. Bel masuk jam 07:30. Ide cemerlang melesat di pikirannya. Segera ia mencari-cari akal.

“Assalamu’alaikum. Mau nanya dong, ada yang punya info kajian hari ini gak?” Kirim.

Manda mengirim chat di grup rohis. Segera setelahnya, Manda melesat menembus jalanan.

Manda menyelesaikan ulangan terakhir dengan lancar. Selama satu Minggu ulangan, tak tergoda satu pun untuk menulis jawaban orang lain. Padahal, bukan hanya satu dua celah. Hampir setiap mata pelajaran yang diujikan ia menemukan kesempatan. Ia mencoba mengikuti teladan pendahulunya, memegang teguh prinsip kejujuran.

Manda mengecek handphone-nya, barangkali sudah ada yang membalas. Kak Rina — kakak kelas yang lolos SNMPTN memberikan info tiga kajian sekaligus. Kajian pertama di masjid tak jauh dari tempat tinggalnya, mulai pukul 10:00, tak lama lagi. Info kedua di Islamic center di kotanya, ba'da Dzuhur. Terakhir, masjid di dekat sekolahnya, ba'da ashar.

Manda memilih ikut kajian di Islamic center. Walau memerlukan waktu yang tak sebentar untuk sampai ke lokasi, waktunya paling ideal di antara yang lain. Tema yang disajikan juga cukup menarik “Fiqih Shaum Ramadhan”. Manda mencoba mengajak teman lamanya, boleh jadi dia bisa, hitung-hitung mempererat tali silaturahmi.

“Assalamu’alaikum, Ambar. Nanti siang ada agenda gak?”

“Yahhh, maaf banget Man, hari ini gak bisa, aku jadi panitia bukber buat nanti Maghrib. Maaf banget ya. Duh, gagal meet up lagi kita, next time semoga kita bisa ketemu ya, kangen 😘😘” Ambar menjawab tak lama kemudian.

“Oalah, ya udah deh.”

Manda beranjak pulang, bersiap untuk mengikuti majelis ilmu. Rindu menyergap bertemu sahabat menyerbu bagai ultimatum. Walau banyak hal memisahkan, setiap pertemuan selalu berkualitas. Ingat sekali dia, pertemuan terakhir ketika hari libur, ia harus menghadiri rapat OSIS dan tugas kelompok di rumah teman sekelasnya. Jarak antara rapat dan tugas kelompok lumayan jauh, alhasil dia memilih ke rumah Ambar. Ketimbang kembali ke rumah yang memakan waktu lebih lama karena jaraknya lumayan jauh, toh mereka sudah lama tak berjumpa.

Manda sampai di rumah, segera menyiapkan segala keperluan. Sebelum berangkat, dia menyempatkan untuk makan siang. Blus marun polos dengan rok hitam motif mawar dilengkapi dengan khimar hitam polkadot merah, menjadi penutup auratnya. Manda melenggang pergi saat semua keperluan siap.

“Di antara syarat diterimanya amal ibadah adalah sesuai dengan tuntutan nabi, dan untuk mengetahui apakah shaum atau puasa kita sudah sesuai petunjuk Rasulullah atau belum, maka kita harus belajar fiqih mengenai shaum.” Noted.

Manda mencatat dengan baik di buku catatannya. Manda juga menyalinnya di handphone, siapa tahu bisa menjadi bahan tulisan di blog. Tak menyesal Manda jauh-jauh ke sini. Setiap ucapan pemateri didasarkan dengan dalil-dalil yang jelas. Pembawaannya juga tidak membosankan. Sekali dua dia bergurau mengenai anak muda yang malas menuntut ilmu agama.

Waktu melesat cepat, Manda merasa baru saja dia duduk bergabung dengan majelis, sekarang pemateri telah menutup materinya. Pembawa acara menutup dengan beberapa info kajian selanjutnya. Manda kembali mencatat, barangkali dia direstui Allah untuk menyambung ilmu.

Manda bergegas pulang saat selesai.

Bersambung...

Girls.. jangan bingung lagi ya pas tamunya dateng. Sekian. Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh