Cari Karya

Kamis, 31 Mei 2018

Ramadhan Bersama Manda #15

Yang Maha Mengetahui


Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Penasaran, kenapa Manda khawatir karena melihat pengumuman di handphone-nya? Yuk baca..


Adzan Maghrib berkumandang sangat jelas, kami berbuka serentak. Sembari menunggu antrean wudhu, aku mengecek handphone-ku. Wajahku mendadak pucat pasi, ibu sampai khawatir. Aku melihat kembali pengumuman itu, entah bagaimana caraku mengatasinya.

Aku dan ibu langsung pulang setelah shalat Maghrib berjama’ah di masjid. Sepulangnya kami, ibu langsung menyiapkan makan malam yang sedikit terlambat. Aku berjalan ke kamar adik kecilku, membawa mereka ke meja makan. Di kamar, mereka masih tertidur pulas. Sepanjang sore mereka berdua tidur nyenyak, bak putri tidur.

Usai makan malam, seperti biasa kami sholat Isya’ berjama’ah. Aku langsung ke kamar setelah itu, membuka handphone. Kubaca lagi pesan itu, aku tak salah baca.

“Assalamu’alaikum, Manda. Besok ketemu kakak ya, jam 9 di rumah kakak.” 
“Wa’alaikumussalam. Insyaallah.” 

Entah apa tujuan kak Kirana mengajakku bertemu kali ini. Sisa malam kuhabiskan dengan menduga-duga, lupa dengan targetan tilawah. Aku mengambil Al-Qur’an berbalut kain biru langit sedikit malas. Kantuk mulai menggelayut manja. Tak sadar, aku tidur sambil mendekap Al-Qur’an mungilku.

Pagi kembali menyapa. Aku bersiap berangkat ke rumah kak Kirana. Saat sudah siap, aku menelepon kak Kirana.

“Halo. Assalamu’alaikum, kak Kiran.”
“Wa’alaikumussalam. Ada apa, Man?”
“Kak, aku udah siap, kalo aku berangkat sekarang gapapa 'kan?” aku menengok ke arah jam yang masih menunjukkan pukul 08:30.
“Oh. Ya udah gapapa.”
“Ok. Aku otw, kak.”

Semilir angin berembus lemah. Satu dua burung berkicau melewatiku. Aku memilih menurunkan kecepatan motorku dari kelajuan normal. Rumah kak Kirana tidak begitu jauh dari sekolah. Bertemu dengannya seperti akan menghadapi ujian fisika. Berat. Apalagi, setelah kuingat-ingat, beliau memang lulusan fisika.

Rumah kak Kirana tepat di depan mataku saat ini. Aku mengucap salam sedikit kencang. Sosok anggun berperawakan mungil muncul dengan senyum hangat serupa matahari terbit. Aku membalas senyumnya dengan senyuman tipis. Canggung. Pertemuanku dengan kak Kirana tak seperti biasanya.

“Ada apa kak?” aku bertanya to the point.
“Buru-buru amat. Tanya-tanya kabar dulu lah.”
“Gimana kabarnya?” kak Kirana bertanya setelah sebelumnya hanya sunyi memerangkap kami.
“Alhamdulillah, baik.”

Kak Kirana mulai menanyakan kabar keluargaku. Orang-orang terdekatku juga ia tanyakan kabarnya. Kami sempat menyerempet pembicaraan lain. Aku masih belum tenang, entah apa yang nanti akan ditanyakan kak Kirana pada akhirnya. Sampai akhirnya ia mulai menanyakan inti percakapan.

“Syiar apa kabar?”
“Ya, begitulah kak.”
“Coba jelasin.” Kak Kirana bertanya tegas disertai senyuman.
“Ya, gitu deh kak. Sebenarnya sejauh ini baik-baik aja. Ada sih hambatan, tapi masih bisa ke-handle.”
“Tapi kok kayaknya kamu punya masalah.”

Kak Kirana tahu betul bagaimana mengontrol emosinya agar tetap stabil. Aku pasti berkali-kali gugup karena ini. Sepertinya dia juga belajar ilmu psikolog hingga dia bisa tahu apa-apa dari diriku.

“Aku ngerasa berat aja kak. Bukan karena rohisnya. Tapi karena aku harus ngejalanin dua amanah di rohis sama osis. Kadang, aku ngerasa kayak gak bisa nyeimbangin keduanya.” Aku menuturkan sejelas yang kubisa.

Kak Kirana hanya tersenyum manis. Sepertinya dia siap menembakkan pelurunya kali ini. Pistol yang sudah ia siapkan sejak tadi bersedia memuntahkan peluru demi peluru.

“Gini loh, Man. Setiap posisi itu entah bagaimana caranya bisa disematkan ke kita, merupakan hal atau takdir yang memang harus kita jalanin. Suka gak suka, bisa gak bisa. Mungkin kamu ngerasa berat karena punya jabatan banyak, tapi Allah selalu tahu kemampuan hamba-Nya. Kalo kamu dikasih dua jabatan, berarti Allah yakin kamu bisa, Man. Allah itu Yang Maha Mengetahui. Dia tahu kamu bisa.”

Aku memikirkan kata-katanya. Aku hanya menunduk, sesekali melihat wajahnya yang tidak bisa ditebak.

“Kakak diterima di fisika unj itu takdir, padahal kakak pengen kuliah yang jauh. Awalnya kakak juga ngerasa berat, tapi di beberapa situasi kakak ngerasa lebih baik kuliah di sini daripada kuliah di tempat jauh. Kamu juga pernah cerita, sekolah kamu yang sekarang bukan impianmu bukan? Tapi coba pikir-pikir lagi, inget-inget lagi, mungkin ini yang terbaik. Allah, Dia Yang Maha Mengetahui.” Sambung kak Kirana.

“Hmm, kak. Jadinya, kakak ngapain nyuruh aku ke sini?” aku mengganti topik.

“Udah kok. Kakak cuman pengen tau kabar kamu doang.” Kak Kirana menjawab sambil sedikit tertawa.

Setelah waktu terus berjalan. Kecanggungan mereda, kak Kirana mulai membicarakan hal-hal yang lebih santai. Aku terbawa suasana kehangatan. Bagiku, dia bukan hanya seorang mentor, tapi kakak. Kakak yang baik, yang juga menginginkan kebaikan untuk adiknya. Seperti tadi, dia ingin aku menjadi visioner baik di rohis maupun osis.

Aku berpamitan saat Dzuhur. Khawatir ibu kerepotan dengan kedua adik kecilku. Kak Kirana tersenyum, mengizinkan. Kali ini, kami tidak hanya bersalaman, kami berpelukan. Seperti pelukan adik-kakak yang lama tak berjumpa.

Di perjalanan, wajah kedua adik kecilku yang mewarnai suasana rumah terbayang. Entah tangisan atau gelak tawa mereka. Itu semua menciptakan rumah terasa pelangi, warna-warni keceriaan yang tidak ditemukan di luar sana. Kebimbangan tiba-tiba menggelayut di pikiranku. Aku memikirkan adik-adikku yang, entahlah.

Bersambung...


Sekian. Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Rabu, 30 Mei 2018

Ramadhan Bersama Manda #14

Ta'jil On The Road


Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Hai hai, penasaran gak hari ini bercerita tentang apa? Seperti yang sama-sama kita tahu, ta'jil on the road merupakan salah satu agenda di bulan ramadhan, yaitu kegiatan membagi-bagikan ta'jil di pinggir jalan kepada orang-orang yang berpuasa yang sedang dalam perjalanan. Langsung baca aja ya.. ngapain sih Manda kali ini?


Sampai di rumah, aku menyerahkan rok lavender milik ibu. Ibu sedang menulis sesuatu.

“Ma, nulis apa?” Manda bertanya penasaran.

 “Eh, Manda. Ini, mama lagi buat list bahan-bahan yang mau mama beli buat bagi-bagi ta'jil.” Ibu menjelaskan.

“Oalah. Oh iya ma, itu acaranya kapan?”

“Besok.”

“Aku ikut dong, ma.” Aku menjerit antusias.

“Ya, boleh sih. Tapi kenapa? Di sana ibu-ibu doang loh.” Ibu mengingatkan.

“Gapapa. Hehe, aku pernah denger hadits yang bilang kalo kita ngasih bukaan ke orang, kita bakal dapet pahala puasa orang yang puasa itu tanpa ngurangin pahala puasa dia. Bener 'kan, ma?” aku bertanya memastikan.

“Oh, iya bener.”

“Sama ini ma, aku nitip bahan-bahan buat bikin ta'jil boleh gak? Aku juga mau buat.”

“Ya udah, mana list-nya?”

“Bentar ya, ma.”

Aku melesat ke kamar. Secepatnya membuka buku resep pribadiku. Got it! Kuambil sehelai kertas dan pulpen di meja belajar, lantas menyalinnya. Kuserahkan kertas itu ke ibu.
Esoknya, sepulang ibu dari pasar modern, aku mengambil bahan-bahan milikku. Bersiap membuatnya di dapur.

“Man, kamu mau buat sekarang?” ibu bertanya heran.

“Iya, ma. Kenapa?”

“Gapapa, cuman ini 'kan masih pagi. Panganan yang mau kamu buat apa sih? Kok pake susu bubuk segala?”

“Hehe. Es kepal, ma.”

“Dasar. Ya udah sana buat, nyusun di kulkasnya hati-hati ya, agak penuh soalnya.”

“Iya ma. Oh iya, aku boleh pinjem tas yang buat es itu gak?”

“Ya udah pake aja, ada di lemari dapur, cari aja.”

Aku melenggang ke dapur dengan membawa barang belanjaan. Kuserut keseluruhan es di mangkuk besar. Setelah itu, aku meletakkan es yang sudah diserut ke masing-masing wadah. Tak lupa, kusiram dengan susu kental dan taburan aneka topping. Siap. Aku langsung memasukkan es kepal ke dalam kulkas satu per satu.

Ba'da ashar, aku bersiap berangkat ke masjid dekat rumah. Blus ungu muda polos dengan rok pink motif kupu-kupu ungu dilengkapi khimar pink beraksen ungu. Aku memasukkan es kepal ke dalam tas khusus es. Kubayangkan wajah penerima es kepal buatanku, rona bahagia tersirat dari wajah mereka.

Ibu baru keluar dari kamarnya, lantas mengambil dua plastik besar berisi belasan gelas es buah. Sambil meniti jalan, kami membawa ta'jil masing-masing. Sebenarnya, masjid hanya berjarak tiga gang dari rumah kami, tapi bak pulau di ujung laut, lama betul kami sampai di lokasi tujuan.

Setibanya kami di masjid, beberapa ibu-ibu mulai menyusun ta'jil bawaan mereka di sebuah meja yang panjang nan lebar. Aku memilih menempatkan es kepalku di pinggir, sepertinya lebih nyaman. Setelah kehadiranku dan ibu, beberapa ibu-ibu lain masih ada yang datang. Alhasil, satu meja tidak cukup. Beramai-ramai kami membawa sebuah meja sejenis dari belakang masjid menuju beranda masjid.

Satu dua orang mulai datang mengambil ta'jil. Aku memberikan semangkuk es kepal dengan meniru senyuman ala petugas minimarket. Ibuku hanya tertawa cekikikan di sampingku. Menjelang berbuka, makin ramai orang datang. Tepian masjid mulai dipenuhi oleh orang-orang yang akan membatalkan puasa mereka.

Adzan Maghrib berkumandang sangat jelas, kami berbuka serentak. Sembari menunggu antrean wudhu, aku mengecek handphone-ku. Wajahku mendadak pucat pasi, ibu sampai khawatir. Aku melihat kembali pengumuman itu, entah bagaimana caraku mengatasinya.

Bersambung...


Sekian. Para pembaca, besok jangan lupa baca ceritaku selanjutnya ya, khususnya para remaja. Cocok bgt. 👋 Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Selasa, 29 Mei 2018

Ramadhan Bersama Manda #13

Mentoring Reuni (?)


Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Hayo, siapa yang penasaran si Manda mau kemana? Cung Cung 🙋 Kita lanjut aja ya, selamat membaca.


Sebelum pergi, aku mengecek handphone-ku dulu. 

“Assalamu’alaikum, besok jadiin kuy.” Adel berkicau.
“Wa’alaikumussalam, ayo, kakak besok free.” Balas kak Kirana.
“Ayo, jadiin, besok libur 'kan? Gas lah.” Aku ikut terlibat dalam obrolan.

Sampai di rumah, waktu menjelang adzan Maghrib. Aku langsung berkumpul di meja makan. Semua sudah di kursi masing-masing.
Malam ini rutinitas keluarga berjalan lebih khidmat dari biasanya. Entah bagaimana kedua adik kecilku tidak saling berebut mainan. Yang besar juga tidak memperebutkan jam main laptop. Usai shalat Isya’ aku masuk ke kamarku, melibatkan diri dalam obrolan di grup mentoring. Belum ada lagi yang melanjutkan percakapan, aku memulai.

“Besok dimana kak? Jam berapa?”
“Jam 10 gimana?” kak Kirana selaku mentor bertanya.
“Aku ngikut aja kak, besok free juga.” 
Tidak ada yang membalas, aku menutup handphone-ku. Seperti biasa, aku menyambung tilawahku.

Pukul 21:00. Aku menghentikan tilawahku sejenak, mengecek kabar terbaru di grup mentoring. Grup berisi 20+ chat. Aku membaca saksama. Semua setuju jam 10. Dina, teman rohisku yang lain menyarankan mentoring di kafe lain. Kompak, kami semua setuju. Aku ikut berkomentar.

“Akhirnya ya, setelah sekian lama kita sibuk dengan urusan dunia masing-masing. Kini kita dipersatukan kembali setelah hampir 3 bulan untuk urusan akhirat.” 

Teman-teman berkomentar dengan emoticon jempol dan kalimat-kalimat setuju. Setelah kuingat-ingat kembali, terakhir mentoring aku tidak bisa hadir karena diklat OSIS. Itu berarti mentoring terakhirku sebelumnya lagi. Hampir empat bulan! Tidak bisa kupercaya. Padahal di lingkaran mentoring inilah kita bisa meningkatkan keimanan.

Aku kembali merenungi khilafku. Aku selalu menjadi pionir dalam setiap agenda mentoring, tapi saat waktu dan tempat ditentukan, malah aku yang pertama tidak bisa hadir. Baiklah, aku harus lebih memprioritaskan agenda mentoring.

Fajar kembali menyapa. Aku baru saja menyelesaikan santap sahur saat pemberitahuan imsak dari siaran televisi.

“Sayang, kamu tau penjual rok yang bagus gak? Langganan mama pulang kampung.” Ibu bertanya saat aku selesai berwudhu untuk shalat Shubuh.

“Ada ma. Mama mau warna apa? Kebetulan nanti aku ketemu dia.”

“Susah jelasinnya, kamu ada palet warnanya gak? Atau foto contoh roknya?”

“Ada di hp, ma. Abis shalat aja ya, papa udah selesai wudhu tuh.” Aku memberitahu.

Selesai shalat Shubuh, ibu mengikutiku ke kamar. Aku menunjukkan contoh rok-roknya.

“Nah, yang ini nih, Man.” Mama menunjuk rok warna lavender.

“Lavender?”

“Iya. Mama bingung nama warnanya, bukan ungu tapi juga bukan pink.” Ibu menceritakan.

“Emang buat apa sih, ma?”

“Acara bagi-bagi ta'jil gitu dari ibu-ibu masjid. Nah, dresscode-nya boleh pink boleh ungu. Setelah mama cari-cari, adanya atasan warna lavender, roknya gak ada, ya udah mama nanya ke kamu.” Aku mengangguk takzim.

Aku menelepon kak Kiran — panggilan akrabku dengan kak Kirana. Menanyakan apa rok warna lavender sedang ready stock. Sisanya, kami mengobrol ngalor-ngidul sampai matahari terbit. Kami bicara tentang sulitnya mengajak kumpul para anggota sampai banyaknya pengurus osis yang mulai berpacaran.

Hari ini tanggal merah, hari libur nasional. Mentoring dimulai pukul 10:00, masih ada waktu tiga jam lebih. Masa yang panjang aku manfaatkan untuk tilawah.

Lelah bertilawah, aku melarikan diri ke laptop. Kubuka Microsoft word, mulai menulis untuk dipublikasikan di blog pribadi, beribadah melalui tulisan inspiratif nan bermanfaat. Satu dua huruf, satu dua kata, satu dua kalimat. Dalam waktu singkat, aku menyelesaikan satu paragraf, dilanjut paragraf-paragraf berikutnya. Ide berputar-putar dipikiranku. Tak butuh waktu lama, artikel mengenai shaum selesai. Artikelku dilengkapi pula dengan data-data dari kajian di Islamic center kala itu.

Selesai. Aku menyiapkan diri untuk mentoring. Blus abu-abu muda dengan pita abu-abu tua di lengan, dengan rok motif strip hitam dan abu-abu tua, dilengkapi khimar hitam polos. Aku siap berangkat.

“Hari ini akan jadi mentoring reuni” pikirku dalam hati sambil tertawa kecil.

Sampai di tempat, baru kak Kirana yang datang. Sembari menunggu, kami bertilawah masing-masing. Satu jam berlalu cepat, belum ada yang datang lagi. Kami mengobrol ringan sebentar, sampai akhirnya ada lagi yang datang.

“Baru segini?” Hany bertanya.
“Gatau deh.” Aku menjawab ringan.
“Ya udah, kita mulai dulu aja.” Kak Kirana memutuskan memulai.

Mentoring dibuka dengan bismillah dan dilanjutkan tilawah secara bergilir. Mentoring berlangsung dengan khidmat, sesekali aku melirik ke pintu kafe, barangkali ada lagi yang akan memenuhi kursi sampingku. Embusan angin yang keluar dari ac kafe menciptakan suasana mentoring yang lebih nyaman.

“Ok. Hmm, hari ini kita sharing-sharing aja ya? Mungkin ada yang perlu diceritakan atau ditanyakan.” Kak Kirana mempersilakan.

Aku dan Hanny secara bergantian bercerita. Mulai dari anggota rohis yang jarang datang. Bagaimana solusinya? Sampai hal-hal rumit mengenai perkuliahan. Kak Kirana juga menceritakan pengalamannya saat berganti jenjang sekolah.

Adzan Dzuhur mengingatkan kita untuk mengakhiri mentoring. Usai mentoring, Kak Kirana menyerahkan rok pesanan ibu. Aku bahkan hampir lupa. Segera kukeluarkan uang sejumlah harga rok, kak Kirana juga menyerahkan novel Habiburrahman El Shirazy yang ingin kupinjam.

Walau mentoring reuni yang kuidamkan tak terwujud, entah kenapa aku merasa lapang. Apa ini yang namanya sukses mentoring? Sebuah ketenangan batin yang membuncah riang.

Sampai di rumah, aku menyerahkan rok lavender milik ibu. Ibu sedang menulis sesuatu.

“Ma, nulis apa?” Manda bertanya penasaran.

Bersambung...


Ea..ea..ea.. ada yang penasaran sama kelanjutan ceritanya? Ditunggu ya. Sekian dulu aja ya. Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Senin, 28 Mei 2018

Ramadhan Bersama Manda #12

Perbanyak Sedekah


Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Tanpa basa-basi lagi, langsung sambung cerita aja ya..


Sepanjang perjalanan pulang, tak sengaja Manda memperhatikan masjid-masjid di pinggir jalan. Beberapa di antaranya mulai pudar warnanya. Manda pun tahu betul bagaimana fasilitas beberapa masjid — kurang terawat. Baru kali ini Manda berpikir sedetail itu.

“Miris.” Hanya itu kata yang keluar dari bibirku.

Matahari kembali menyapa dunia. Burung-burung berkicauan, rona merah muda di langit mulai menghilang. Hari ini aku masuk sekolah, tanpa KBM, formalitas sekolah barangkali. Aku beranjak ke kamar mandi. Entah kenapa, hari ini air keran membuatku sedikit menggigil. Selesai mandi dan bersiap, aku menggerakkan kakiku menuju sekolah.

Nyiur angin menerpa lembut pepohonan. Embun-embun masih membasahi dedaunan dan rumput saat aku berangkat. Ada untungnya juga tinggal di pinggiran kota, jauh dari polusi berbagai macam asap. Sepanjang perjalanan, aku merasa lebih mensyukuri nikmat. Jarang-jarang aku seperti ini.

Lagi, beberapa masjid yang kulewati lebih terlihat jelas reotnya jika ditimpa cahaya matahari. Jika aku berlebih, ingin sekali aku menyumbangkan sebagian hartaku untuk disedekahkan ke setiap masjid.

Sampai di tempat parkir, aku merasa terheran-heran, jumlah sepeda motor bisa dihitung jari. Di dalam gedung sekolah pun sama, sedikit, sepi. Aku menuju ruang guru, mengumpulkan tugas. Belum ada satu pun temanku, baik itu teman OSIS, rohis, apalagi teman kelas. Aku memilih menyambung tilawah di serambi masjid sekolah.

Setengah jam berlalu cepat, salah satu teman rohis menghampiriku.

“Assalamu’alaikum, Man.”
“Wa’alaikumussalam, eh Adel.”

Kami duduk bersama. Aku menutup Al-Qur’an milikku. Sejenak, hanya keheningan dalam pertemuan kami. Aku memulai percakapan.

“Hmm, del, setiap hari infaq yang masuk ke masjid sekolah kita berapa ya?” pertanyaan itu selintas menggelitikku.

“Entah, tapi aku rasa gak banyak. Karena aku gak pernah ngeliat ada orang masukin ke kotak amal.” Adel menjelaskan.

“Ye.. kalo kayak gitu bisa aja yang ngasih infaq pas kamu gak ngeliat langsung ngasih 100.000.” sergahku.

“Ya, 'kan gak tau.” Adel membela diri.

“Si Nisa tau kali ya?” aku kembali bertanya.

“Mungkin.”

“Kamu kenapa sih nanya hal-hal kayak gitu?” giliran Adel yang bertanya.

“Gapapa, pengen tau aja.” Aku menjawab nyengir.

Hari pertama pasca Penilaian Akhir Tahun, aku baru menerima satu nilai, hasilnya di atas rata-rata kelas. Malas menunggu nilai lainnya, aku memutuskan pulang.

Saat tiba di rumah, aku memeriksa isi dompetku. Masih ada dua lembar seratus ribu dan beberapa pecahan yang total keseluruhannya 240.000. Rekor, ini jumlah terbanyak di akhir bulan. Aku sudah menabung di awal bulan. Pikiran tentang bersedekah pada masjid kembali terlintas. 

Uangku cukup banyak untuk aku pribadi, tapi apa ini cukup untuk masjid yang perlu direnovasi? Jika dihitung-hitung, ada lima masjid yang perlu dibenahi. Aku menghampiri ibuku yang tengah berehat di ruang tengah, meminta pendapat.

“Ma.. beberapa masjid di pinggir jalan perlu direnovasi, kebetulan aku punya uang yang menurutku banyak, tapi apa ini cukup untuk merenovasi lima masjid?” aku bertanya sambil menyodorkan sejumlah uang.

“Mungkin untuk merenovasi belum cukup, nak. Tapi itu akan sangat membantu untuk memperbanyak kas mereka. Gak apa-apa kok, kamu gak usah segen. Sini mama tukerin pake uang mama.” ibu menjawab dengan senyum terkembang, lantas berjalan ke arah kamar.

“Nih. Setiap masjid kamu kasih 62.000, mama ikut nyumbang. Ya, walaupun gak banyak, insyaallah bisa bernilai ibadah.” Ibu memberikan uang yang sudah digulung.

Ibu memberikan gulungan berikutnya sama persis. Gulungan paling luar 2.000, berikutnya 10.000, dan yang paling dalam 50.000. Ibu masih tersenyum menatapku.

“Mama bangga sama kamu, bisa berpikiran seperti itu.” Ibu memujiku, aku hanya mengangkat bahu.

Saat matahari mulai tergelincir, aku turun ke jalanan menuju masjid-masjid. Satu per satu kumasukkan uang ke dalam kotak amal, aku juga menyapa marbot.

“Assalamu’alaikum, pak. Kalo masjid ini mau direnovasi, hubungin saya di nomor ini ya? Saya mau ikut bantu-bantu.” Kurang lebih seperti itu aku menitip pesan pada setiap marbot masjid.

Sebelum pergi, aku mengecek handphone-ku dulu. 

“Assalamu’alaikum, besok jadiin kuy.” Adel berkicau.
“Wa’alaikumussalam, ayo, kakak besok free.” Balas kak Kirana.
“Ayo, jadiin, besok libur 'kan? Gas lah.” Aku ikut terlibat dalam obrolan.

Bersambung...


Waduh, si Manda mau kemana tuh? Pantengin terus cerbungnya ya.. Sekian. Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Minggu, 27 Mei 2018

Ramadhan Bersama Manda #11

Mempererat Tali Silaturahmi


Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Punya orang terdekat yang udah meninggal? Yuk simak lanjutan cerbung berikut ini. Bagaimana sebaiknya kita bersikap?


Matahari tepat di tengah-tengah saat aku mengakhiri perenungan minggu ini. Aku mulai menyisir kontak di handphone. Menanyakan kabar satu per satu, dan mengajak bertemu sore nanti. Nihil. Semua sibuk. Kebanyakan sudah memiliki agenda buka bersama, yang lainnya di luar kota atau memikirkan ulangan besok (sebagian sekolah belum ujian akhir).

Ke mana lagi aku akan pergi? Tiba-tiba dering teleponku berbunyi nyaring. Aku melihat nama yang tertera di layar, Nisa. Nisa? Kenapa dia? Sejak pertama aku mengenalnya dia tidak pernah meneleponku, bahkan dengan nomor telepon, bukan via aplikasi pesan instan.

“Assalamu’alaikum, Man.” Sapanya di ujung telepon.

“Wa'alaikumussalam. Ada apa Nis?”

“Ini bukan Nisa. Aku sepupunya, Aisyah. Ada berita duka yang harus aku sampein. Adik kedua Nisa meninggal dunia karena sakit.”

“Innalilahi wa inna ilaihi raji’un. Sekarang jenazahnya udah diapain kak?”

“Jenazah lagi dimandiin.”

“Oh gitu ya kak, makasih infonya. Aku berangkat ke sana sesegera mungkin.”

Aku bergegas pergi saat selesai menyiapkan diri. Pakaian khas hitam-hitam ala melayat aku kenakan. Rumah Nisa tidak terlalu jauh dari rumahku. Tak lama, aku sampai di rumahnya.
Halaman rumahnya dipenuhi berbagai kendaraan. Keluarga besar Nisa berkumpul, ada beberapa teman dekatnya pula. Sepeda motorku aku masukkan ke wilayah halaman, turut memenuhinya. Di dalam, adik Nisa sedang dikafani, bersiap dishalatkan ba'da ashar.

Aku menghampiri Nisa yang sedang sesenggukan di ujung ruangan. Ada beberapa saudaranya di sana.

“Nisa.” Sapaku lemah.
Ia tak memedulikan panggilanku. Salah satu saudaranya melihatku.

“Kamu Manda ya?”

“Eh? Kak Aisyah ya?” aku mengenali suaranya.

“Iya. Coba kamu tenangin dia deh. Kami, sepupu-sepupunya udah nyoba dari tadi, tapi gak bisa-bisa.

“Eh, aku bukan temen paling deketnya kak. Nisa lebih deket sama beberapa temen SMP-nya daripada aku, aku cuma temen rohis.

“Tadi mereka udah nyoba, tapi gak bisa. Siapa tau sama kamu bisa.”

“Ok.”

Para sepupu Nisa meninggalkannya. Kini hanya ada Nisa dan aku. Aku mendekatinya.

“Nisa.” Aku mengulang sapaanku.

“Jika kau berusaha menenangkanku, lebih baik kau pergi, kamu tidak tahu rasanya menjadi diriku.” Nisa membalas ketus.

“Hei. Kaputku. Kamu kaput 'kan? Yang biasa nenangin orang kalo lagi emosi, entah marah entah nangis. Dan, coba kuingat sebentar, kemaren siapa ya yang nenangin salah satu anggota rohis yang dapet berita duka?”

“Tapi ini beda, Man.” Nisa sedikit menjerit.

“Apanya yang beda? Malahan, tuh anak rohis yang meninggal ibunya. Bukannya aku bandingin, tapi ya, kamu harus kuat, Nis.”

“Kamu gak tau rasanya, Man.”

“Aku emang gak tau, tapi waktu itu kamu juga bilang kayak gitu ke anak rohis.” Aku membalasnya.
Nisa mendengus kesal, tidak memedulikanku.

“Aku tahu kamu sedih, tapi kamu harus inget, kita gak boleh berduka lebih dari tiga hari.”

“Lebih baik aku pergi.”

Nisa meninggalkanku sendiri di sini. Dia menerobos beberapa kerumunan menuju kamar pribadinya. Kak Aisyah menghampiriku melihat Nisa pergi.

“Kamu bilang apa ke dia?”
“Gak banyak, kak. Hmm, mungkin dia perlu waktu sendiri, baiknya dibiarin dulu aja, kak.” Dia hanya mengangguk.

Aku ikut menyolatkan jenazah. Nisa turut menyolatkan, dia disampingku. Sedikit sesenggukan di sela-sela shalat berlangsung. Selesai shalat, jenazah langsung dibawa ke kuburan. Aku menyertai jenazah menuju kuburan. Lokasi pemakaman tak begitu jauh dari rumah Nisa.

“Nisa, aku kangen kamu yang kemaren.” Aku memulai obrolan sepanjang jalan kembali ke rumah Nisa.

Sedari tadi aku sibuk memilih kata yang pas. Nisa hanya diam di boncengan, tak berkomentar.

“Ingat waktu kita berantem kalo lagi ngomongin sekbid? Dulu banget, waktu kamu di OSIS. Belum lama, kita juga masih suka ribut kalo ngomongin rohis, pas kamu udah keluar dari OSIS dan sekarang jadi kaput. Nis, setiap yang kita berantemin itu masalah yang harus ditemukan solusinya. Setiap masalah memang selalu menciptakan emosi baru. Kepulangan adek kamu juga masalah, emosi yang terjadi ya.. kita semua sedih. Solusinya apa? Kita harus sikapin dengan baik, lebih mendekatkan diri sama Allah karena kematian akan menghampiri semua makhluk hidup, tinggal menunggu siapa yang duluan dijemput. Kita juga gak boleh terlalu lama berduka, masa depan menanti di depan sana, hidup kita terlalu sia-sia jika hanya menangisi kepergian orang tersayang. Pun, mereka yang pergi mendahului kita pasti ingin kita giat beribadah giat belajar setelah kepergiannya.” Rentetan kalimat tersebut mengalir begitu saja.

Lagi-lagi Nisa hanya terdiam. Sepertinya ia merenung, memikirkan ucapanku.

Sampai di rumah Nisa, kami bersiap berbuka. Aku ikut menyiapkan, beberapa makanan dibawa ke kamar Nisa. Dia memilih berbuka bersama sepupu dan teman terdekatnya.

Adzan Maghrib berkumandang jelas. Kami meneguk segelas air putih kemasan dan beberapa kurma. Aku pamit setelah shalat Maghrib berjama’ah, takut ibu dan ayah khawatir. Aku lupa memberi kabar.

“Man, makasih ya buat hari ini. Maaf juga tadi aku kasar sama kamu. Aku tau aku salah, sering-sering jadi reminder amalan aku ya.”

“Iya, sama-sama. Gapapa kok. Kamu juga jadi reminder proker-proker aku ya, aku suka lupa, hehe.”

“Iya.”
“Aku pamit dulu ya, takut dicariin orang rumah.”
“Iya.”

Sepanjang perjalanan pulang, tak sengaja Manda memperhatikan masjid-masjid di pinggir jalan. Beberapa di antaranya mulai pudar warnanya. Manda pun tahu betul bagaimana fasilitas beberapa masjid — kurang terawat. Baru kali ini Manda berpikir sedetail itu.

Bersambung...


Udah hari ke sebelas nih. Kritik dan saran dong. Bisa di kolom komentar atau @firda_abdllh di Instagram. Makasih. Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Sabtu, 26 Mei 2018

Ramadhan Bersama Manda #10 (Special Edition)

Note to My Self


Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Ramadhan Bersama Manda special edition ada lagi nih. Simak ya..

Note: Manda diganti menjadi kata ganti Aku.

Ramadhan menjadi titik balik banyak orang menjadi pribadi yang lebih baik. Begitu juga aku, saat ini aku merasa banyak perubahan hanya dalam kurun waktu sepuluh hari. Memang, sebelumnya aku dipandang orang memiliki akhlaq mulia. Tapi, apa benar aku semulia itu? Bukankah Rasulullah saja pernah berbuat kesalahan yang membuat Allah murka? Apalah diriku yang hanya umatnya?

Hari ini hari Minggu. Aku sibuk mengurung diri di kamar, merenung. Sejatinya setiap masa harus menjadi bahan introspeksi, setiap manusia pasti pernah lalai dalam suatu hal. Sangatlah berbohong jika aku tidak memiliki cacat perilaku. Hina sekali aku jika merasa tidak punya kesalahan. Sombongnya diriku yang merasa sudah sempurna.

Pergolakan batin menguasai diriku. Aku selalu mengurung diri di kamar di hari Minggu akhir-akhir ini, merasa bahwa ini pilihan baik. Pagi ini, mungkin teman-teman sedang jogging bersama, memanfaatkan momen car free day.

“Itu dia.” Bisikku dalam hati.

Akhir-akhir ini aku terlalu selektif memilih teman bergaul. Mungkin, karena aku terlalu memegang teguh sebuah hadits, tanpa benar-benar mengerti batasan-batasannya.

“Permisalan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi, atau engkau bisa membeli minyak wangi darinya, dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu, dan kalaupun tidak engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap.” (HR. Bukhari 5534 dan Muslim 2628).

Sejak aku mengenal hadits itu, sedikit banyak membuatku jauh dengan kawan lama yang menurutku buruk. Buruk nian perangaiku, dengan mudahnya menilai orang, meski diri sendiri belum tentu baik.

Teringat pula aku mengenai hadits memutuskan tali silaturahmi.

“Tidaklah masuk surga orang yang suka memutus, ( memutus tali silaturahmi)”. 

Egoisnya diriku. Saat ini aku sedang mempertebal iman, tanpa tahu bagaimana iman teman-temanku. Sudah teramat lama aku menghubungi teman-temannya.

Baiklah, aku harus segera berubah, mencoba menarik teman-teman di jurang kegelapan menuju daratan dengan sinar cahaya nan terang benderang.

Note to my self: mempertebal iman dibarengi menghijrahkan teman-teman.


Nb: Buat yang gak tau note to my self apa. Jadi, note to my self itu intinya nasihat untuk diri sendiri, semacam catatan introspeksi diri, yang ke depannya semoga bisa menjadi doa untuk hari-hari berikutnya.

Itu dulu ya, maaf pendek 😂 buat yang suka lupa kali dinasehatin orang, bisa nih pake metode note to my self. Selamat mempraktekkan!!! Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Jumat, 25 Mei 2018

Ramadhan Bersama Manda #9

Majelis Ilmu


Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Cerbung kali ini, terkhusus para akhwat yang suka bingung kalo mau ibadah pas tamunya dateng. Baca aja ya 😋


Matahari pagi bersinar hangat di ufuk timur. Manda bersiap berangkat ke sekolah. Sebelumnya, ia sarapan terlebih dahulu, hari ini dia tak puasa. Manda memilih makan di kamar, menghindari adiknya yang masih belajar puasa.

Hari ini merupakan hari terakhir ulangan. Selesai ulangan, ia akan melanjutkan amalannya yang kurang maksimal di masa-masa ulangan.

Manda teringat, dia tidak berpuasa. Manda tidak bisa melanjutkan tilawahnya, apalagi sholat Dhuha.

Manda bergegas berangkat kala jam dinding menunjukkan pukul 07:00. Bel masuk jam 07:30. Ide cemerlang melesat di pikirannya. Segera ia mencari-cari akal.

“Assalamu’alaikum. Mau nanya dong, ada yang punya info kajian hari ini gak?” Kirim.

Manda mengirim chat di grup rohis. Segera setelahnya, Manda melesat menembus jalanan.

Manda menyelesaikan ulangan terakhir dengan lancar. Selama satu Minggu ulangan, tak tergoda satu pun untuk menulis jawaban orang lain. Padahal, bukan hanya satu dua celah. Hampir setiap mata pelajaran yang diujikan ia menemukan kesempatan. Ia mencoba mengikuti teladan pendahulunya, memegang teguh prinsip kejujuran.

Manda mengecek handphone-nya, barangkali sudah ada yang membalas. Kak Rina — kakak kelas yang lolos SNMPTN memberikan info tiga kajian sekaligus. Kajian pertama di masjid tak jauh dari tempat tinggalnya, mulai pukul 10:00, tak lama lagi. Info kedua di Islamic center di kotanya, ba'da Dzuhur. Terakhir, masjid di dekat sekolahnya, ba'da ashar.

Manda memilih ikut kajian di Islamic center. Walau memerlukan waktu yang tak sebentar untuk sampai ke lokasi, waktunya paling ideal di antara yang lain. Tema yang disajikan juga cukup menarik “Fiqih Shaum Ramadhan”. Manda mencoba mengajak teman lamanya, boleh jadi dia bisa, hitung-hitung mempererat tali silaturahmi.

“Assalamu’alaikum, Ambar. Nanti siang ada agenda gak?”

“Yahhh, maaf banget Man, hari ini gak bisa, aku jadi panitia bukber buat nanti Maghrib. Maaf banget ya. Duh, gagal meet up lagi kita, next time semoga kita bisa ketemu ya, kangen 😘😘” Ambar menjawab tak lama kemudian.

“Oalah, ya udah deh.”

Manda beranjak pulang, bersiap untuk mengikuti majelis ilmu. Rindu menyergap bertemu sahabat menyerbu bagai ultimatum. Walau banyak hal memisahkan, setiap pertemuan selalu berkualitas. Ingat sekali dia, pertemuan terakhir ketika hari libur, ia harus menghadiri rapat OSIS dan tugas kelompok di rumah teman sekelasnya. Jarak antara rapat dan tugas kelompok lumayan jauh, alhasil dia memilih ke rumah Ambar. Ketimbang kembali ke rumah yang memakan waktu lebih lama karena jaraknya lumayan jauh, toh mereka sudah lama tak berjumpa.

Manda sampai di rumah, segera menyiapkan segala keperluan. Sebelum berangkat, dia menyempatkan untuk makan siang. Blus marun polos dengan rok hitam motif mawar dilengkapi dengan khimar hitam polkadot merah, menjadi penutup auratnya. Manda melenggang pergi saat semua keperluan siap.

“Di antara syarat diterimanya amal ibadah adalah sesuai dengan tuntutan nabi, dan untuk mengetahui apakah shaum atau puasa kita sudah sesuai petunjuk Rasulullah atau belum, maka kita harus belajar fiqih mengenai shaum.” Noted.

Manda mencatat dengan baik di buku catatannya. Manda juga menyalinnya di handphone, siapa tahu bisa menjadi bahan tulisan di blog. Tak menyesal Manda jauh-jauh ke sini. Setiap ucapan pemateri didasarkan dengan dalil-dalil yang jelas. Pembawaannya juga tidak membosankan. Sekali dua dia bergurau mengenai anak muda yang malas menuntut ilmu agama.

Waktu melesat cepat, Manda merasa baru saja dia duduk bergabung dengan majelis, sekarang pemateri telah menutup materinya. Pembawa acara menutup dengan beberapa info kajian selanjutnya. Manda kembali mencatat, barangkali dia direstui Allah untuk menyambung ilmu.

Manda bergegas pulang saat selesai.

Bersambung...

Girls.. jangan bingung lagi ya pas tamunya dateng. Sekian. Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Kamis, 24 Mei 2018

Ramadhan Bersama Manda #8

Doa Berbuka Puasa


Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Hai semua.. jangan bosan-bosan ya baca di blog ini 😂 Ok, lanjut aja ya..


Selesai. Manda masih jenuh belajar, ia memilih membaca artikel sebentar, akhir-akhir ini dia merasa jarang membaca berita. Sampai sebuah pembahasan menarik menyita perhatiannya, menunda kegiatan belajar.

“Waktu-Waktu Terkabulnya Doa”, begitu judul artikelnya. Manda membaca sekilas, beberapa poin dilengkapi dengan hadits yang lengkap, tapi ada juga yang hanya berupa opini meyakinkan. Manda terpaut di depan layar, waktu berbuka puasa ternyata juga termasuk waktu terkabulnya doa.

“Tapi, apa benar?” Batinnya.

Manda hanyut dalam keingintahuan, sampai ia lupa dengan ulangannya besok. Dia langsung menutup handphone dan mematikannya. Segera membuka lembaran baru pelajaran.

Waktu terus bergulir. Belum lama Manda menyelesaikan ulangan hari ke-2, kini dia bersiap untuk menghadiri bimbingan belajar. Besok ada ujian matematika IPA, dan dia berpikir ada baiknya jika ia konsul mengenai pelajaran ini.

“Ma, aku mau les, kemungkinan aku bukanya di luar.”

“Ya udah. Jangan lupa shalat Maghrib ya.” Bu Lisa mengingatkan.

Manda membawa motornya membelah jalanan ibukota. Nyiur angin membuat kerudungnya mengepak-ngepak tak tentu arah. Jalanan mulai dipenuhi dengan orang-orang yang mencari takjil. Pinggir jalan pun ramai pedagang menjajakan dagangannya.

Manda sampai di tempat bimbingan belajar. Ia langsung ke ruangan konsultasi untuk belajar. Mentornya sudah menunggu kehadiran Manda.

“Assalamu’alaikum, kak. Maaf agak lama, tadi di jalanan mulai macet, orang-orang ngabuburit.”

“Iya, gapapa. Jadi, apa yang mau kamu tanyain?”

“Ini kak, aku masih gak ngerti yang persamaan dua lingkaran.” Manda menjawab sambil mengeluarkan buku dan alat tulisnya.

Manda belajar dengan serius. Ia mulai memahami sedikit demi sedikit. Latihan soal yang diberikan juga bisa ia kerjakan. Tak butuh waktu lama, Manda sudah menguasai materi yang belum ia paham. Waktu berbuka masih lumayan lama, ia memilih melanjutkan materi lain yang kurang dia kuasai.

Waktu berlalu cepat. Jam tangan di pergelangannya sudah menunjukkan pukul 17:30. Manda memilih mengakhiri pembelajaran, dilanjutkan belajar di rumah. Manda mengeluarkan motornya dari tempat parkir, ia mulai memikirkan tempat makan yang sekiranya sepi tapi makanannya tetap enak. Jam-jam berbuka jelas banyak tempat makan yang dipenuhi pengunjung. Sebuah rumah makan terlintas di pikirannya, Manda langsung tancap gas menuju lokasi.

Benar saja, sesampainya di sana tempat makan itu tidak terlalu ramai. Hanya satu dua orang pengunjung yang duduk tak jauh dari mejanya, dan beberapa orang yang memilih membawa makannya ke rumah.

“Mau pesen apa, mbak?” sapa seorang pelayan.

“Hmm. Buat bukaannya es kelapa, terus makannya nasi rendang aja. Oh iya, minumannya es jeruk.”

“Ok, siap mbak.” Pelayan rumah masakan Padang itu meninggalkan meja Manda, menuju ke dapur.

Di depannya, terdapat sebuah televisi yang menggantung di dinding. Sarana hiburan untuk rumah makan sederhana. Tayangan siraman rohani mulai disajikan.

Es kelapa pesanannya sudah berada di depan mata. Manda mengaduk-aduk malas. Rasanya lama betul suara paling merdu di saat puasa itu terdengar. Rekaman azan dari televisi membuatku bahagia tak terhingga. Suara kemenangan terdengar jelas, memenuhi langit-langit kota. Aku meneguk air putih, dilanjut es kelapa.

Larut dengan dahaga yang baru hilang, daun telinga Manda tiba-tiba menangkap suara-suara ganjil. Sumber suaranya berasal dari layar pipih di dinding — televisi. Doa berbuka puasa. “Allahumma laka shumtu...”

“Ternyata doa yang itu masih ada toh, ya ampun.” Batin Manda.

Manda beranjak pulang saat selesai menikmati menu berbukanya. Ia mampir sebentar ke masjid untuk sholat Maghrib. Embusan angin malam menusuk-nusuk kulitnya. Udara dingin mengurung tubuh mungil Manda.

Suasana hangat menyeruak saat masuk ke rumah. Keluarganya baru saja selesai makan malam. Manda menghampiri ayahnya, menanyakan perihal doa berbuka puasa.

“Pa, sebenarnya doa berbuka puasa sama doa waktu berbuka sama atau beda sih pa? Terus, doa buka puasa yang 'Allahumma laka shumtu...' itu bener gak sih? Kok dulu papa ngelarang aku kalo aku baca doa itu, padahal temen-temen aku baca doa itu dulu.” Manda memaparkan masalahnya.

“Ayo ikut papa.” Lagi, pak Mizwar mengajak Manda ke kamarnya seperti kemarin.

“Nih.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ثَلاَثَةٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمُ الإِمَامُ الْعَادِلُ وَالصَّائِمُ حِينَ يُفْطِرُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ

“Ada tiga orang yang do’anya tidak ditolak : (1) Pemimpin yang adil, (2) Orang yang berpuasa ketika dia berbuka, (3) Do’a orang yang terdzolimi.” (HR. Tirmidzi no. 2526 dan Ibnu Hibban 16/396. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Ketika berbuka adalah waktu terkabulnya do’a karena ketika itu orang yang berpuasa telah menyelesaikan ibadahnya dalam keadaan tunduk dan merendahkan diri.

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamketika berbuka beliau membaca do’a berikut ini,

ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ

“Dzahabazh zhoma’u wabtallatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insya Allah (artinya: Rasa haus telah hilang dan urat-urat telah basah, dan pahala telah ditetapkan insya Allah)(HR. Abu Daud no. 2357. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.)

Adapun do’a berbuka,

اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ

“Allahumma laka shumtu wa ‘ala rizqika afthortu (Ya Allah, kepada-Mu aku berpuasa dan kepada-Mu aku berbuka)”

[HR. Abu Daud no. 2358, dari Mu’adz bin Zuhroh. Mu’adz adalah seorang tabi’in. Sehingga hadits ini mursal (di atas tabi’in terputus). Hadits mursal merupakan hadits dho’if karena sebab sanad yang terputus. Syaikh Al Albani pun berpendapat bahwasanya hadits ini dho’if. (Lihat Irwaul Gholil, 4/38) ]

Do’a ini berasal dari hadits hadits dho’if (lemah) dan tidak perlu diamalkan.

Begitu pula do’a berbuka,

اللّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ

“Allahumma laka shumtu wa bika aamantu wa ‘ala rizqika afthortu” (Ya Allah, kepada-Mu aku berpuasa dan kepada-Mu aku beriman, dan dengan rizki-Mu aku berbuka), Mula ‘Ali Al Qori mengatakan, “Tambahan “wa bika aamantu” adalah tambahan yang tidak diketahui sanadnya, walaupun makna do’a tersebut shahih.

Sehingga cukup do’a shahih yang tadi sebutkan di atas (dzahabazh zhomau …) yang hendaknya jadi pegangan dalam amalan.

“Makasih, pa.”

Manda menuju ke kamarnya, rebahan sebentar sebelum akhirnya lanjut belajar.

Bersambung...


Sekian 😊 wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Rabu, 23 Mei 2018

Ramadhan Bersama Manda #7

Sunnah Puasa yang Sering Terlupakan


Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, balik lagi nih. Langsung aja ya.. happy reading 📖


Ia melihat notifikasi chat dari ibunya, ia membuka pesan tersebut. Permintaan ibu-ibu pada umumnya. Manda banting setir ketika motornya melaju, pergi ke tempat lain.

Sampai di tempat, Manda segera membeli tempe 5, udang rebon 1 kg, dan teri 1 kg sesuai permintaan ibunya di pasar modern tak jauh dari sekolah. Selesai. Manda kembali menuju tempat tujuannya, pulang ke rumah.

Bu Lisa telah menanti Manda di ruang tamu. Bergegas menyambut putrinya dan mengambil barang belanjaan ke dapur. Manda yang terkejut akan reaksi ibunya hanya bisa ternganga. Hampir larut dalam kebingungan, Manda melesat ke kamar, bersiap belajar untuk ulangan keesokan harinya.

Jam sudah menunjukkan pukul 17:00. Bu Lisa datang ke kamar Manda akan suatu urusan.

“Manda.” Sahut Bu Lisa.
“Iya, ma.”
“Bantuin mama masak yuk. Mama masih sibuk masak tempe balado nih, kamu lanjutin buat kolak pisang ya?”
“Hmm. Ya udah deh ma.”

Manda mulai mengaduk-aduk rebusan kolak pisang, sementara Bu Lisa asyik menumis di tungku kompor lainnya. Matahari bersiap terbenam di ufuk barat, saat adik-adik Manda yang besar keluar dari kamar, membantu membawa masakan ke meja makan.

Rebusan kolak pisang sudah mendidih. Manda diminta mengajak adik-adik Manda yang kecil untuk ikut berbuka. Kamar adik kecilnya di ujung lorong, Manda mampir sebentar ke kamarnya, berniat mengambil handphone. Sebuah notifikasi chat membuatnya terdiam. Pertanyaan dari salah satu siswa sekolahnya, kebetulan Manda merupakan salah satu admin akun rohis sekolahnya.

Dia masih tercenung di tempat, sampai teriakan ibunya menyadarkan lamunannya. Manda segera ke kamar adiknya, mereka sedang asyik bermain dengan mainan masing-masing. Perlahan, Manda mengajak mereka berdua keluar, masing-masing berusaha menggamit mainannya.

Semua berkumpul di meja makan, bahkan ayahnya yang sedari tadi sibuk di kamar sudah datang, ikut memenuhi meja makan. Manda masih terbayang-bayang pertanyaan itu.

“Assalamu’alaikum, min. Mau nanya, saya pernah denger, katanya kita dianjurkan untuk mengakhirkan sahur dan menyegerakan berbuka. Apa itu benar? Kalo iya, dalil naqli-nya apa ya? Mohon penjelasannya min.”

Adzan Maghrib memenuhi ruang makan. Manda masih melamun, memikirkan jawaban terbaik. Mencarinya di internet jelas bukan pilihan terbaik, terlalu banyak hadits palsu di sana. Ayah Manda — Pak Mizwar yang melihat anak gadisnya melamun, langsung mengejutkannya.

“Manda, kamu udah buka?” pak Mizwar bertanya. Sekeluarga langsung menatap ke arahnya, penasaran.

“Eh, udah adzan ya?” Manda gelagapan.

“Udah dari tadi kak.” Sambar adikku.

“Kamu kenapa, Man?” Bu Lisa bertanya saat Manda selesai minum air.

“Hmm. Gapapa ma.” Manda ingin bercerita, tapi ia masih ragu.

Usai berbuka, sama-sama mereka shalat Maghrib, dilanjut makan malam, lalu disambung shalat Isya'. Setelah itu, masing-masing sibuk dengan aktivitasnya. Manda melanjutkan belajarnya, kali ini ia memilih belajar di ruang tengah. Ada ayahnya di sana, larut dalam tayangan sebuah pertandingan sepak bola.

“Pa..” sapa Manda.
“Iya.” Ayahnya menyahut tanpa menoleh.
“Pa. Papa tau gak hadits sahih tentang mengakhirkan sahur dan menyegerakan berbuka?”
“Ada keperluan apa?” ayahnya menoleh sekilas.
“Hmm. Ada temen aku yang nanya, pa. Tapi, aku lupa bunyi haditsnya.” Manda menjelaskan.

Pak Mizwar mematikan televisi, berjalan ke kamarnya. Manda membuntuti di belakang. Ayahnya menyerahkan kertas fotocopy-an.

“Nih.”

Dari Anas, dari Zaid bin Tsabit, ia berkata,

تَسَحَّرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ثُمَّ قُمْنَا إِلَى الصَّلاَةِ. قُلْتُ كَمْ كَانَ قَدْرُ مَا بَيْنَهُمَا قَالَ خَمْسِينَ آيَةً.

“Kami pernah makan sahur bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian kami pun berdiri untuk menunaikan shalat. Kemudian Anas bertanya pada Zaid, ”Berapa lama jarak antara adzan Shubuh dan sahur kalian?” Zaid menjawab, ”Sekitar membaca 50 ayat”. (HR. Bukhari no. 575 dan Muslim no. 1097. )

Dalam riwayat Bukhari dikatakan, “Sekitar membaca 50 atau 60 ayat.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ

“Manusia akan senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka. (HR. Bukhari no. 1957 dan Muslim no. 1098, dari Sahl bin Sa’ad)

“Makasih, pa.” Manda tersenyum  sumringah.

Ayahnya balas mengangguk, keluar kamar kembali ke ruang tengah, lanjut menonton. Manda segera mengetik hadits tersebut di papan ketik handphone-nya. Ia langsung mengirim pesan tersebut saat selesai mengetik.

Selesai. Manda masih jenuh belajar, ia memilih membaca artikel sebentar, akhir-akhir ini dia merasa jarang membaca berita. Sampai sebuah pembahasan menarik menyita perhatiannya, menunda kegiatan belajar.

Bersambung...


Sekian dulu aja ya.. Oh iya, insyaallah hadits di atas shahih ya.. Silakan dikutip, tapi tetep cantik ini sumbernya ya..hargai penulis 😂 Kalau masih merasa ragu dengan hadits di atas silakan cross check. Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Selasa, 22 Mei 2018

Ramadhan Bersama Manda #6

Menjunjung Tinggi Nilai Kejujuran


Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh everybody.. Sebelumnya, aku mau ngasih tau perubahan judul cerbungnya ya, dari "Manda di Ramadhan" jadi "Ramadhan Bersama Manda". Ok, lanjut baca lagi ya, isi ceritanya masih sama kok, jadi ga perlu khawatir. Stay tune..


Sebelum beranjak pergi dari masjid, Manda melihat agenda yang rutin ia susun. Manda terperanjat kaget, tak percaya ia bisa melupakan agenda penting seperti itu. Alhasil, Manda bergegas menuju tempat parkir, membawa motornya melesat menuju ke rumah.

Sampai di rumah, ia langsung berlari-lari kecil ke kamarnya. Manda mengambil beberapa buku tebal dan besar sampai dengan yang tipis nan kecil. Manda benar-benar lupa. Besok merupakan hari pertama penilaian akhir tahun di sekolahnya, dan dia belum banyak belajar.

Ia segera membuka beberapa buku halaman sekaligus. Bu Lisa — ibu Manda yang melihat anaknya terburu-buru saat sampai rumah, sekarang tengah bersandar di ambang pintu, melihat anak gadisnya belajar.

“Besok kamu ulangan?” tanya Bu Lisa.
“Iya ma.” Manda menjawab pendek.
“Mama belum ngantuk, kamu mau mama buatin minuman gak? Bawain cemilan gitu?”
“Jus jeruk aja ma, cemilannya terserah mama.”
“Tunggu sebentar ya.” Manda mengangguk.

15 menit berlalu. Manda sudah mencatat beberapa poin penting di buku khusus rangkuman materi. Manda terus membaca dan mencatat. Tak lama waktu berselang, bu Lisa datang membawa nampan berisi segelas besar jus jeruk dan sepiring keripik singkong.

Bu Lisa meletakkan nampan di atas lemari rak tak jauh dari meja belajar, dan segera meninggalkan kamar tak ingin mengganggu. Manda mengambil sebagian buku di atas meja, lantas meneguk jus sedikit. Ia mengambil sepiring singkong, membawanya ke ranjang.

Manda mengganti suasana belajar yang menurutnya lebih nyaman. Ia mulai tengkurap di kasurnya. Belajar sembari memasukkan keripik singkong ke dalam mulut satu persatu. Tak peduli bagaimana nanti kamarnya bisa menjadi sarang semut baru, mengerubungi remah-remah keripik.

Bulan sabit menggantung di langit malam. Tampak indah menembus balkon kamar. Satu dua bunyi jangkrik menemani kesunyian malam. Manda larut dalam lelap. Sempat tersadar, ia segera membenahi perlengkapan belajarnya. Tak lupa, ia menyiapkan peralatan ujian besok. Papan ulangan, kartu ujian, alat tulis, dll. Siap. Manda langsung menghempaskan tubuhnya ke kasur.

Esoknya lepas sahur dan sholat Shubuh, dia kembali belajar. Jam masuk sekolah diubah karena bulan Ramadhan. Masuk pukul 07:30. Masih ada waktu dua jam lebih. Manda memilih balkon rumah sebagai tempat belajarnya, hangatnya mentari menusuk lembut saraf-sarafnya.

Waktu berlalu cepat. Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 06:30. Manda bergegas bersiap-siap berangkat sekolah. Tanpa sarapan rutin sebelum memulai hari, Manda melesat di jalanan, ikut memenuhi ramainya jalanan ibu kota.

Hiruk pikuk kesibukan sebelum ulangan memenuhi koridor sekolah. Bahkan, di dalam kelas, teman-temannya juga sibuk belajar, persis seperti yang lain.

“Man.. kamu udah belajar bab cerpen belum? Tau gak sih, katanya itu masuk ke ulangan juga. Ya ampun, tuh guru 'kan belum pernah kita ngajarin bab itu.” Teman Manda — Dina mencerocos sesaat setelah Manda duduk di kursinya.

“Gue baru sampe loh Din. Tapi, seriusan bab itu masuk?”

“Iya. Ajarin dong, lu kan suka nulis cerpen di blog lu.”

“Ye.. gue mah nulis cerpen, nulis cerpen aja, ngalir.” Manda mengelak permintaan itu.

“Ya udah, kita belajar bareng aja.” Manda mengangguk, menyusul Dina menuju kursinya.

Lalu lalang orang keluar-masuk semakin banyak. Satu dua membawa buku pelajaran, lebih banyak lagi yang baru datang membawa tas mereka. Beberapa anak di sudut kelas bahkan sibuk berdiskusi.

Bel berbunyi nyaring, membubarkan anak-anak yang sedang belajar. Manda kembali melihat catatan yang aku buat semalam, mengulang sekali lagi. Saat pengawas ujian masuk kelas, Manda memasukkan catatannya ke dalam tas, lantas mengeluarkan perlengkapan ujian.

Ulangan pun dimulai. Pengawas membagikan lembar jawaban, disusul lembaran soal. Manda mulai mengisi identitas diri. Kesenyapan mulai menghinggapi dinding-dinding kelas. Ia mulai mengisi soal-soal.

“Sst.. nomor lima dong.” Manda menengok sekilas.

Ternyata bukan Manda yang dipanggil, tapi murid kelas sepuluh di sebelahnya. Kebiasaan itu lagi, apalagi jika bukan mencontek. Kebiasaan itu seperti sudah menjadi tradisi rutin dan turun temurun, tak terelakkan, dan sudah mendarah daging pada sebagian besar masyarakat Indonesia.

Lain halnya dengan Manda. Dia tetap berpegang teguh pada prinsipnya untuk tidak pernah mencontek. Bukan hal mudah memang, di tengah orang-orang yang dengan mudah membagi-bagi jawabannya. Sekali dua kali, ia bahkan mendapatkan nilai ujian terendah di kelas.

Masing-masing saling memanggil temannya yang sudah mengisi soal, menambahkan kebisingan ruangan. Sudah tak terhitung berapa kali pengawas menegur. Beruntung, ia dikelilingi teman-teman yang menghargai prinsipnya. Bahkan teman-temannya juga ikut jujur dalam ulangan, walaupun terkadang tetap melakukan di saat terpaksa dan ada kesempatan.

Bel berbunyi, pertanda ujian selesai. Sebagian kecil temannya sudah mengumpulkan jawaban, Manda menyusul maju, mengumpulkan jawabannya.

Tak terasa, sudah tiga ulangan ia jalani hari ini. Jam tangan menunjukkan pukul 14:00 tepat. Manda belum mau pulang, ia memilih pergi ke masjid sekolah. Tak disangka, ternyata ada kakak kelas 12 di sana, anggota rohis sama seperti Manda. Manda menanyakan kabar sebentar, lalu mulai bicara ke inti permasalahan.

“Kak, gimana sih kak cara sukses kakak bisa diterima di SNMPTN?”

“Ya, sama kayak yang lain, belajar, ngerjain tugas guru, dengerin guru ngomong. Tapi ada kunci suksesnya menurut versiku nih.” Kak Rina menggoda, menutup-nutupi.

“Apa kak?” tanya Manda penasaran.

“Jujur. Mungkin awalnya gak gampang, banyak godaannya. Tapi percaya aja, Allah gak tidur, dia tau mana yang jujur mana yang enggak. Kalo kamu jujur, insyaallah kamu bisa kok dapet PTN inceran kamu. Tapi, kalo nanti kamu udah jujur tapi kamu gak diterima di pilihan yang kamu pengenin, mungkin emang itu udah takdir Allah, seenggaknya kamu udah usaha 'kan?” Manda mengangguk paham.

Senyumnya mengembang bahagia. Ia merasa mendapat suntikan motivasi untuk terus melanjutkan prinsipnya, berlaku jujur. Manda izin pulang lebih dulu, bergegas untuk belajar pelajaran lain.

Ia melihat notifikasi chat dari ibunya, ia membuka pesan tersebut. Permintaan ibu-ibu pada umumnya. Manda banting setir ketika motornya melaju, pergi ke tempat lain.

Bersambung...


Sekian.. wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh 😊

Senin, 21 Mei 2018

Ramadhan Bersama Manda #5

Islam Itu Indah


Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. I'm comeback 😉 kita nyambung cerita dari Manda di Ramadhan #3 ya..


Manda siap menjemput momen baru lagi. Sesaat ia melihat siaran berita yang tadi ditonton ibunya. 

“Berita itu lagi.” pikir Manda.

Manda baru saja selesai mengikuti pesantren kilat di sekolahnya, saat teman lamanya menelepon.

“Assalamu’alaikum Manda.” Sapa Desy dari ujung telepon.

“Wa'alaikumussalam, ada apa Des? Tumben nelepon.”

“Begini, sekarang aku mau ketemu sama kamu, bisa gak?” Sahut Desy langsung ke intinya.

“Sekarang banget? Kalo sekarang aku gak bisa, mungkin nanti sore, ntar kalo aku udah siap aku chat aja ya, kamu tunggu chat aku aja.” Manda membalas.

“Ya udah deh, ketemu di tempat waktu itu ya?”

“Ok.” Manda menjawab mantap.

Desy. Satu dari ratusan teman Manda yang menginspirasi hidupnya. Mereka bertemu di salah satu event buka bersama khusus remaja terbesar se-kota tahun lalu. Gamis hitam dengan sedikit corak putih, khimar panjang hitam dengan corak polkadot putih, lengkap dengan cadar berwarna senada dengan panjang seleher lebih. Waktu itu dia bingung tatkala ingin pulang dari acara buka bersama tersebut, “lupa jalan”, tuturnya saat itu. Manda yang melihat gerak-gerik khawatir langsung menghampiri untuk membantu tanpa rasa takut.

Manda sudah sampai di rumah, adzan ashar berkumandang ketika ia menginjakkan kaki di rumah. Manda bergegas mandi lalu sholat. Lantas memberitahu Desy bahwa dia siap berangkat.

Sampai di tempat, mereka berpelukan mesra, seperti dua sejoli yang lama berpisah jarak dan waktu. Mereka memilih tempat duduk di dekat jendela depan. Tempat terbaik menurut Desy, Manda hanya manggut-manggut saja.

“Eh, nanti kita sekalian buka aja ya? Udah mau jam 5 juga.” Ucap Manda saat duduk di kursi.

“Ya udah.”

“Jadi, ada keperluan apa kamu ngajak ketemuan?” tanya Manda penasaran.

“Ini, kamu tau berita bom di Surabaya 'kan? Terus ada lanjutan pengeboman lagi setelah itu. Nah, aku kena imbas soal itu.” Desy bercerita sedikit.

“Hah? Gimana-gimana? Kok aku masih gak mudeng ya, pengebomannya 'kan di sana, kok kamu kena imbas? Apa keluarga kamu ada yang jadi korbannya?

“Gini loh Man, 'kan keluarga yang ngebomin itu, yang ibu-ibunya, pake cadar 'kan? Nah, sekarang tuh stigma orang-orang nganggep aku komplotan mereka. Udah dua kali aku hampir diciduk polisi, untungnya aku ngaku kalo aku masih sekolah, aku tunjukkin kartu pelajar aku yang selalu aku bawa kemanapun. Tau gak sih? Rasanya aku mau lepas cadar aja, dulu walaupun ada beberapa orang yang memandangku aneh, mereka tidak pernah sampai menangkapku, malah aku merasa lebih terjaga. Lah sekarang? Apanya yang terjaga, kalo setiap lewat aparat pasti langsung disamperin, ditanyain ini-itu, bahkan dibawa ke kantor mereka.” Tutur Desy.

“Sebegitunya Des?” tanya Manda lagi, mengulur waktu, bingung mau berkomentar apa.

Desy mengangguk. Melirik ke arah luar restoran, beberapa orang merasa waswas dan langsung menghindar melihat dia. Beberapa yang lain acuh tak acuh. Manda mulai mengerti sudut pandang Desy.

“Bahkan beberapa tempat umum gak ngizinin aku masuk Man. Malahan, waktu itu salah satu masjid aja gak mau nerima aku sholat Maghrib sebentar.” Desy sedikit berteriak, mulai menitikkan air mata.

“Sabar ya, mungkin ini ujian dari Allah. Gini ya, aku punya sedikit rahasia kecil. First impression aku pas liat kamu itu, aku pengen kayak kamu. Tapi sampe sekarang aku belum juga bisa. Kamu itu satu-satunya teman aku yang bercadar, kamu panutan aku, Des. Aku gak nyangka, orang yang aku idam-idamkan bisa berpikir kayak gini. Jangan gitu Des. Kalo kamu pengen buktiin kamu bukan teroris seperti yang mereka bilang, kamu tunjukkin ke mereka.” Manda berusaha menenangkan Desy yang mulai sesenggukan.

“Gimana caranya Man?” Desy mengangkat kepalanya yang tadi sedikit tertunduk.

“Ya.. gimana ya? Hehe, aku juga kurang tau sebenarnya.” Jawab Manda seadanya sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

“Coba deh, kita cari di internet, hal-hal apa yang bikin orang bersimpati sama kita.” Manda mengusulkan.

Bersama, mereka mencari kegiatan yang menumbuhkan simpatisan. Mulai dari aksi damai, bakti sosial, bagi-bagi ta'jil, sampai bahkan yang hanya sekadar membantu orang yang membutuhkan di jalan dapat menumbuhkan simpati. Satu dua terasa sulit dilakukan, yang lainnya teramat mudah dilakukan, bahkan setiap hari.

“Des.. kalo yang tujuannya mau buat banyak simpatisan, 'kan kamu gak bisa sendiri tuh. Nah, kamu punya semacam komunitas cadar gitu gak?” Manda angkat bicara.

“Hmm. Ada sih, tapi gak terlalu gede. Itu pun lebih ke temen kumpul bareng doang kalo ada kajian gitu.”

“Bisa tuh Des. 'Kan yang penting bentuknya massal gitu loh. Jadi, kamu kayak bikin gerakan-gerakan gitu. Keren deh pokoknya, cuma ya gak gampang. Kamu butuh izin ke kepolisian, dll. Tapi aku yakini kamu pasti bisa kok.” Senyum Manda mengembang.

Desy balas tersenyum dari balik cadarnya. Hubungan pertemanan kedua insan manusia ini semakin baik. Mereka masih saling bertukar pandang, sampai bunyi adzan dari handphone masing-masing berbunyi dan menyadarkan mereka. Mereka segera memanggil pelayan dan memesan segelas minuman.

Desy tak salah memilih teman cerita. Sebenarnya banyak teman-temannya yang mungkin lebih alim dari Manda. Tapi dia tahu, cara pandang Manda jelas berbeda dengan yang lain. Temannya yang lain cenderung hanya bisa menyalahkan opini orang-orang tanpa memberikan solusi. Lain dengan Manda yang berpikiran terbuka, cerdas, dan cepat tanggap. Manda memang benar-benar seorang pelipur lara yang hebat.

Mereka sempat shalat Maghrib di masjid terdekat. Usai shalat, mereka segera berpamitan. Desy tak lupa meminta do'a pada temannya, Manda dengan senang hati mendo'akan.

“Oh iya, kalo ada yang bilang Islam itu teroris, kamu bilang aja. Setiap orang yang bersalah terlepas dari apa agama yang mereka anut. Setiap orang pun bisa menjadi teroris, dari agama mana pun. Islam itu indah, jangan salahkan agamanya karena orangnya.” Desy hanya mengangguk.

Sebelum beranjak pergi dari masjid, Manda melihat agenda yang rutin ia susun. Manda terperanjat kaget, tak percaya ia bisa melupakan agenda penting seperti itu. Alhasil, Manda bergegas menuju tempat parkir, membawa motornya melesat menuju ke rumah.

Bersambung...


Cukup sekian ya.. Sebelumnya, mohon diperhatikan, cerita di atas hanyalah kisah fiktif belaka. Cerita ini juga dibuat untuk mengenalkan Islam secara umum, bukan terhadap aliran tertentu.

Kritik dan saran sangat dibutuhkan, penulis dengan lapang dada menerima saran apapun, karena penulis sadar bahwa penulis masih muda dan belum tahu apa-apa. Mohon maaf apabila pesan yang ingin saya sampaikan tidak tersampaikan dengan baik. 🙇

Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Ramadhan Bersama Manda #4 (Special Edition)


  • Puasa Masa Kecil



Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh 😊 Kembali lagi di cerbung aku. Ok, sedikit penjelasan aja. Jadi, cerbung aku kali ini bukan lanjutan dari cerbung kemarin ya. Kenapa? Karena ada sejenis tantangan gitu dari program #RamadhanBercerita buat bikin cerita dengan tema "Puasa Masa Kecil". Tapi tenang aja, tokohnya tetep sama kok. So, buat yang penasaran sama cerita selanjutnya, sabar sebentar ya. Selamat membaca 😎


Minggu pagi yang cerah menjadi awal kebahagiaan Manda. Waktu kosong yang biasa ia manfaatkan untuk menulis di blognya. Ia baru ingat, sepanjang bulan ramadhan ini ia belum menyentuh laman blognya, malas juga. Pun, ia sedang bosan melanjutkan tilawahnya. Kini, Manda lebih memilih menjadi teman mengobrol ibunya. Kegiatan yang harus terus dijaga keharmonisannya.

“Hai ma.” Sapa Manda yang baru datang dari kamar.

“Tumben keluar dari kamar? Biasanya kalo Minggu, kalo gak mendekam di kamar pasti main keluar.” Gurau ibunya.

“Yeh. Si mama, aku mau ngobrol aja sama mama.” Balas Manda.

“Mau ngobrol apa si?”

“Ini loh ma, ceritain dong ma, waktu aku pertama kali puasa, kok aku gak inget ya?”

“Oh itu. Sini duduk, mama ceritain.” Ibu Manda mengajaknya duduk bersama di sofa.

“Jadi gini..”
.
.
.
“Pakle, tolong titip ya.” Begitu ibu Manda berucap.

Waktu itu adalah masa-masa pendaftaran sekolah dasar. Ibu Manda menitipkan Manda pada paman ayahnya — adik neneknya. Manda yang tak tahu apa-apa hanya ikut saja, merasa senang karena menemui suasana baru.

Manda diajak ke kamar, tempat menginapnya selama 1-2 malam. Ternyata itu kamar anak bungsu neneknya — Tante Manda. Usia mereka hanya terpaut satu tahun. Manda biasa memanggil dengan sebutan kakak, sampai sekarang.

“Hai kak.” Sapa Manda.
“Hai, sedang apa kamu di sini?”
“Entahlah. Aku diajak mama kesini, menginap. Eh, tapi tadi mama malah pergi.”
“Oh begitu. Eh, sebentar lagi Maghrib, kita siap-siap yuk.” Ajak Nadia.
“Hah? Siap-siap ngapain kak?”
“Ya.. siap-siap buka, emang kamu gak puasa?”
“Puasa?”
“Iya. Itu loh yang gak maka sama gak minum.” Manda menggeleng, tak mengerti.
“Hmm, pantes seger banget. Ya udah, ayo ikut aja.” Nadia mengajak Manda lagi.

Manda meletakkan tas yang dibawanya. Lantas mengikuti jejak bayang Nadia. Nadia mengajak Manda ke dapur. Membantu mengangkat beberapa makanan yang sudah siap. Tak lama, semua anggota keluarga berkumpul di meja makan. Beberapa kakak Nadia juga datang dari kakak masing-masing, ikut memenuhi kursi di meja makan.

Takbir dari surau dekat rumah memenuhi keceriaan ruang makan. Manda ikut minum seperti yang lain, disambung dengan kurma dan beberapa ta'jil.

“Ma, kata Manda, dia gak puasa.” Ucap Nadia di sela-sela obrolan.

“Benar begitu Man?” tanya nenek Manda. Ia balas mengangguk.

“Kalau gitu, besok kamu ikut sahur ya? Kita puasa bareng-bareng, gak makan dan minum sampai adzan Maghrib. Dan besok akan jadi puasa pertama kamu. Setuju?”

“Tapi Mbah, nanti kalo udah haus atau laper boleh minum atau makan gak?” Manda bertanya lugu.

“Hahaha, ya enggaklah. Kamu harus belajar, gimana rasanya orang-orang yang belum tentu bisa makan setiap hari.” Manda merengut.

“Ya udah deh, Manda coba.” Manda akhirnya menyanggupi.

Keesokannya, Manda dibangunkan sahur oleh Nadia. Sulit betul membangunkannya. Kakak-kakak Nadia turut membantu. Sampai akhirnya ia bisa dibangunkan.
Dengan wajah tertekuk-tekuk, ia menuju ke kamar mandi, berniat membasuh muka. Perlahan, ia ikut bergabung di meja makan. Semuanya sudah di sana, bahkan ada yang mulai bersahur.

“Manda, ayo makan. Simbah udah masakin nasi goreng kesukaan kamu.” Demi mendengar kalimat itu, Manda membelalakkan matanya.

“Beneran Mbah?” Manda masih tak percaya.

“Iya. Ayo naik.”

Manda memakan dengan lahap. Bukan sekadar nasi goreng biasa, tapi ini spesial baginya. Nasi goreng ini terdapat beberapa iris sosis dan parutan keju. Sampai habis, ia meneguk segelas air. Tak lama, adzan Shubuh berkumandang, tanda dimulainya puasa.

“Nah, Manda. Sekarang kamu harus puasa, tahan makan, minum, sama hawa nafsu kamu ya. Gak lama kok, Cuma sampe adzan Maghrib doang.” Manda hanya mengangguk.

Sepanjang hari mereka asyik bermain, berusaha menyibukkan diri agar lupa haus dan lapar. Di tengah hari setelah Dzuhur, mereka terlelap, tidur sejenak.
Di penghujung sore, mereka bangun, melaksanakan sholat ashar. Membantu masak seadanya di dapur.

“Wah, udah sore aja.” Manda berucap.
“Gak terasa kan?” neneknya berkomentar. Manda mengangguk sambil tersenyum.
“Besok-besok lanjut lagi ya puasanya.” Neneknya kembali bersahut.
“Asal mama tahu aja ya ma. Tadi pas kita mau sholat dzuhur, Manda ke kulkas tau ma. Untung aku ngeliat, gak jadi deh dia batal.” Nadia menceritakan kejadian tadi siang.
“Hehe. Kakak inget aja.”
.
.
.
“Nah, kayak gitu Man.” Ibu Manda selesai menceritakan.

“Terus abis itu, aku lanjut puasa gak ma? Besok-besoknya?” Manda bertanya.

“Puasa lah, mama disuruh nenek kamu buat nyuruh kamu belajar puasa. Ya udah deh.” Manda hanya mengangguk.

Tak istimewa memang, tapi Manda merasa itu hebat. Di usianya yang bahkan belum genap enam tahun, dia sudah berpuasa penuh. Bukan hanya sampai jam sembilan atau setengah hari. Itu sesuatu yang spesial baginya.

Andai kata waktu terulang, dan ia mengingat serangkaian kejadian itu, ingin rasanya ia mengajak teman SD-nya untuk berpuasa penuh, karena merasa pengalamannya bisa menjadi penyemangat bagi yang lain.


Cukup sekian dulu ya. Insyaallah, cerita yang kemarin akan disambung lagi. Maaf telat, ada satu dan lain hal jadi postingnya tengah malem. Hehe 😂 wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Sabtu, 19 Mei 2018

Ramadhan Bersama Manda #3

Pesantren Kilat


Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Lanjut lagi ya cerbung nya. Check this out..


Sebuah notifikasi muncul di layar handphone-nya. Lekas-lekas, ia melihat pemberitahuan pesantren kilat lusa depan. Ya, pesantren kilat menjadi satu di antara agenda ramadhan lainnya di Indonesia. Manda melihat kalender sekilas, lantas menutup handphone-nya. Ia jadi teringat momen pesantren kilat favoritnya. 

“Kangen..” 

Azan Shubuh bersahut-sahutan dari masjid dekat rumah Manda. Manda dan keluarga bersiap Shubuh berjama’ah. Usai shalat, ia menyambung tilawahnya di kamar. Lagi, Al-Qur’an berwarna biru langit menjadi jembatan menuju Roma.

Secercah cahaya mentari masuk ke sela-sela ventilasi, tanda bahwa matahari mulai terbit di kaki langit. Manda menutup Al-Qur’an birunya. Ia bersiap untuk menjemput momen baru lainnya — pesantren kilat. Ingatannya terlempar ke masa 7 tahun silam.

Waktu itu Manda masih amat belia. Kali kedua ia mengikuti pesantren kilat yang diadakan yayasan Islam, yang mana keluarganya merupakan anggota dari yayasan tersebut.

Sebelum berangkat ke yayasan, ia sempat merajuk tak mau ikut. Mengingat tahun kemarin Manda kurang sehat, ia terus minta berbuka lebih dulu, sampai-sampai ibunya menyusul mendengar kabar putri sulungnya itu. Manda terjerit-jerit menangis mengetahui ibunya datang, minta pulang.

Itu dulu. Sekarang, ia tak mau ikut lagi, beranggapan bahwa di sana ia dilarang ini-itu.

“Tahun ini beda say.. Kamu akan jadi Putri. Pengen 'kan kayak Princess Sofia? Banyak games seru-seru juga.” Ibu memancing anaknya dengan kartun favoritnya. Kebetulan tema acaranya “Menjadi Putri dan Pangeran di Kerajaan Akhirat.”

Saat itu, Manda hanya mengangguk lemah, termakan bujuk rayu ibunya. Dengan lunglai, ia naik ke sepeda motor bersama ibunya.

Sampai di tempat, Manda langsung diberi mahkota kecil di meja registrasi. Memang bukan mahkota bertakhtakan intan apalagi berlian. Tapi gadis kecil itu senang bulan kepalang. Sang ibu meninggalkan anaknya dengan pelukan hangat. Manda masuk ke aula utama, menghambur bersama teman sebayanya.

MC di depan mulai membuka acara, menceritakan sedikit kisah awal kerajaan bernama kerajaan akhirat. Kedua MC berperan sebagai raja dan ratu di kerajaan itu, dan para peserta sebagai Putri dan Pangeran.

"Ok. Jadi, kami akan memberikan misi kepada kalian, yaitu mengumpulkan koin emas sebanyak-banyaknya. Caranya, kalian harus aktif bertanya dan menjawab dalam setiap materi dan mentoring. Kalian juga harus mampu menyelesaikan berbagai tantangan di arena-arena tertentu. Dan.. di akhir acara kalian harus mencari harta karun yang di dalamnya terdapat banyak koin emas, tapi sebelumnya kalian harus menyelesaikan beberapa games berkelompok untuk mendapatkan petunjuk di mana harta karun itu disembunyikan di area yayasan. Tapi, amal kebaikan dan Akhlaqul Karimah tetap diutamakan. Nah, bagi adik-adik yang menjadi peserta terbaik sesuai kriteria yang tadi disebutkan, maka diakhir acara kalian akan dilantik menjadi Putri mahkota dan Putra Mahkota. Mengerti?” tutur salah satu MC.

“Mengerti kak...” Anak-anak menjawab kompak.

“Ok. Sekarang kita bagi kelompok dulu ya.”

Kelompok mulai dibagi, berisi 5-6 orang, Manda termasuk yang muda di antara yang lain.

Antusiasme Manda termasuk yang paling besar. Ia terus bertanya setiap materi, menjawab yang ia tahu apabila ditanya. Beberapa mini games juga dimenangkannya. Koin emas terus ia dapatkan baik secara individu maupun kelompok. Sayang, ada anak yang usianya lebih tua mendapatkan koin lebih banyak. Jelas betul, pengetahuannya pasti terlampau tinggi dibanding Manda kecil, apalagi kecerdasan dan ketangkasannya. Semangatnya sempat surut karena itu. Ia kembali termotivasi ketika mengingat kembali mahkota yang lain dari yang lain. Jauh lebih besar dan lebih indah.

Di sela-sela acara, tak lupa agenda wajib dzuhur dan ashar berjama’ah. Dengan tertib Manda mengantre wudhu, ia juga sholat sunnah qobliyah dan ba'diyah. Acara kembali berlanjut, agenda yang ditunggu-tunggu hampir semua peserta — berburu harta karun.

Kelompoknya mengikuti setiap petunjuk, mencari-cari petunjuk berikutnya. Mereka memeriksa seluruh penjuru yayasan yang kemungkinan merupakan makna dibalik petunjuk. Akhirnya, setelah sekian lama mencari dan menelusuri setiap inci area yayasan, mereka berhasil menemukan semacam peti kecil dengan pita emas yang melilitnya.

Dengan bangga, bersama mereka membawa peti itu. Tak disangka-sangka, dari arah lain kelompok si anak yang mengumpulkan koin terbanyak menenteng peti yang lebih besar bersama teman-temannya. Hati Manda dan temannya yang lain menjadi ciut melihat hal itu.

Mereka langsung menyerahkan peti itu ke panitia terdekat dan koin emas masing-masing. Masuk ke aula utama, dan bersiap buka bersama. Bedug masjid terdekat bertalu-talu, pertanda masuknya waktu Maghrib. Dengan pikiran kemana-mana, Manda mulai meneguk air dan makan beberapa kurma. Dilanjut shalat Maghrib dan makan nasi kotak bersama.

Sampai akhirnya tiba di penghujung acara, pengumuman Putri dan Putra Mahkota. Manda tertunduk, malas mendengar pengumuman, sudah jelas pemenangnya bukan? Pikir Manda. Tak disangka namanya disebut, ia mengangkat kepala tak percaya. Namanya dipanggil sekali lagi, teman kiri dan kanannya menyuruh ia berdiri dan maju. Manda masih tak percaya.

Ia maju dengan wajah bahagia seperti anak kecil yang diberi permen lollipop. Satu lagi, Putra Mahkota, seseorang yang lebih tua dari dia.

“Ya.. patut kalian ketahui, Manda bukan menang karena jumlah koinnya, tapi karena amal ibadah sunnahnya dan kebaikan akhlaqnya. Takbir!!”

“Allahu Akbar!!!”

Manda senang bukan main. Mahkota Putrinya diganti dengan yang lebih indah. Di luar, ibunya dengan senyuman hangat menatap bangga anaknya.

Tatapan ibu, hangat. Saat ini, ibunya menyadarkan Manda dari lamunannya. Kenangan yang terlalu indah untuk dikenang.

“Hei.. Sebentar lagi pesantrennya mulai 'kan? Sana berangkat, malah ngelamun.”

“Hehe, iya ma maaf. Ya udah ya ma aku berangkat.” Manda mengamit tangan ibunya untuk disalami.

Manda siap menjemput momen baru lagi. Sesaat ia melihat siaran berita yang tadi ditonton ibunya.

“Berita itu lagi.” pikir Manda.

Bersambung...


Udah dulu ya.. Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh 😊

Jumat, 18 Mei 2018

Ramadhan Bersama Manda #2

Memaknai Kebersamaan


Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Hai hai 👋

Oh iya, di edisi Ramadhan ini aku berniat buat cerbung, judulnya "Manda di Ramadhan". Ikutin terus ya.. Btw, buat yang belum baca ceritaku sebelumnya, baca dulu ya, biar nyambung. Lanjut yuk cerita yang kepotong kemarin.


“Siapa ma?”
“Om kamu, katanya nanti dia mau kesini.”
“Kapan?” 
“Ini udah jalan, kemungkinan kita buka bareng om kamu”
“Asik.”

Gema azan Maghrib bersahut-sahutan dari berbagai penjuru. Semburat jingga mulai lenyap di ufuk barat. Nyiur semilir angin datang bersama kehadiran salah satu bagian dari keluarga besar Manda. Hawa itu seperti memang datang dari kota sana. Manda segera membatalkan puasanya dan langsung mengajak semuanya masuk. Mempersilakan duduk dan memberikan masing-masing segelas air.

Beberapa piring kurma mulai keluar dari dapur, dibawa oleh ibu dan adik Manda yang kedua. Manda melesat ke kamar adik pertamanya dan mengajak keluar, ikut bercengkerama. Ayah sudah asyik berbincang dengan Om Surya. Ibu pun serupa, mulai membicarakan masakan yang dibawa Tante Dina.

Hanyut dengan kebersamaan yang jarang didapatkan akhir-akhir ini karena kesibukan masing-masing. Manda memilih bermain dengan adik sepupunya. Rifky mulai menggelayut manja minta digendong. Ia dengan senang hati menerimanya. Adik bungsunya menunjukkan raut muka cemburu, minta digendong juga. Manda hanya tersenyum bingung.

Kurma menjadi teman bincang-bincang yang baik sejauh ini. Larut dalam euforia, ayah teringat harus mulai shalat. Shalat Maghrib berjamaah yang biasanya hanya berlima, kini bertambah dengan adanya Om Surya dan Tante Dina. Kedua adik kecil Manda pun kini bermain dengan sepupu mereka.

Usai shalat, anggota keluarga perempuan mulai sibuk di dapur, menyiapkan makan malam yang tadi sore dimasak. Sayur lodeh bawaan Tante Dina menambah menu makanan. Siap, nasi sebakul, sayur lodeh, dan ayam goreng berbalur tepung buatan Manda, ditambah sambal terasi buatan ayah.

Suasana hangat menyantap masakan di meja makan yang benar-benar Manda rindukan. Aku mulai membuka topik di tengah dentingan sendok.

“Ma.. tanggal 1 sama tanggal 3 aku ada bukber, boleh ikut gak?”

“Harus banget ikut ya?” mama balik bertanya.

“Ya, 'kan aku diundang ma. Bukannya sebaiknya kita memenuhi undangan?” Manda balik bertanya tak mengerti maksud pertanyaan mamanya. Selama ini mama setiap menerima undangan pernikahan anak temannya selalu dipenuhi, kecuali jika sakit. Sekarang?

“Gini loh nak, mungkin maksud mamamu begini. Kebanyakan acara bukber itu memang bertujuan untuk meningkatkan ukhuwah, silaturahmi, yang mungkin sudah lama tak tersambung. Tapi terkadang, mereka malah lupa esensi penting dari bukber itu sendiri. Mulai dari cari tempat makan sana-sini yang bikin lalai beribadah, atau kalo acaranya di rumah sibuk masak  segala macam makanan, eh setelah acara mubazir banyak banget, pas hari-h malah sibuk update socmed bukannya memperat tali silaturahmi dengan cara mengobrol, belum lagi kalo sampe bablas gak sholat Maghrib. Gatau deh udah berapa banyak dosa yang dibuat.” Ayah menjelaskan.

Manda mulai tak berselera melanjutkan makannya. Ia merasa dipermalukan di depan om dan tantenya. Om Surya yang melihat garis wajah keponakannya yang turun cepat tanggap bereaksi.

“Atau enggak gini aja man.. coba kamu tanya ke panitia ada agenda buat shalat gak? Kalo gak ada baiknya adain itu, terus kasih saran ke panitia pas hari-h semua hp harus dikumpulin, terus pesen atau buat makanan jangan sampe mubazir, kalo tempatnya belum ditentuin ingetin panitianya buat jangan sampe lupa sama agenda-agenda ramadhan karena sibuk survei tempat sana-sini.” Lagi.. kini Om Surya yang bicara panjang-lebar.

“Sebenarnya ucapan mereka ada benarnya juga.” Pikir Manda dalam hati.

 Manda mengangguk lemah. Lantas pamit lebih dulu dari meja makan, menuju ke kamar. Ia mengikuti semua saran om-nya. Bertanya ke panitia. Benar saja, apa yang ayah sampaikan dan dugaan ibu hampir semuanya benar.

Sebuah notifikasi muncul di layar handphone-nya. Lekas-lekas, ia melihat pemberitahuan pesantren kilat lusa depan. Ya, pesantren kilat menjadi satu di antara agenda ramadhan lainnya di Indonesia. Manda melihat kalender sekilas, lantas menutup handphone-nya. Ia jadi teringat momen pesantren kilat favoritnya.

“Kangen..”

Bersambung...


Cukup sekian ya ceritanya, pantengin terus cerbung edisi Ramadhan "Manda di Ramadhan". Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Kamis, 17 Mei 2018

Ramadhan Bersama Manda #1

Ramadhan 1st Day


Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh 😊

Wahhh, udah hampir 6 bulan gak nulis di sini. Sedikit cerita aja, beberapa bulan lalu ada adek kelas yang bilang gini:
👧 "Kak, blognya kapan diisi lagi?"
👰 "😂😂 Kamu suka?"
👧 "Iya kak, aku nungguin loh, abis bagus 😊"
👰 "Ditunggu aja ya, aku lagi fokus baca-baca buku buat inspirasi, hehe"

Kurang lebih sih kayak gitu, lupa juga sebenarnya. So, berhubung aku merasa udah cukup baca buku (sampe sekarang masih baca, tetep) akhirnya udah niat nih bulan ramadhan mau nulis lagi. Kebetulan banget, nemu program bagus di Instagram, #Ramadhanbercerita ikutan deh 😅

Mulai aja yak, udah cukup basa-basinya 😂