- Puasa Masa Kecil
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh 😊 Kembali lagi di cerbung aku. Ok, sedikit penjelasan aja. Jadi, cerbung aku kali ini bukan lanjutan dari cerbung kemarin ya. Kenapa? Karena ada sejenis tantangan gitu dari program #RamadhanBercerita buat bikin cerita dengan tema "Puasa Masa Kecil". Tapi tenang aja, tokohnya tetep sama kok. So, buat yang penasaran sama cerita selanjutnya, sabar sebentar ya. Selamat membaca 😎
Minggu pagi yang cerah menjadi awal kebahagiaan Manda. Waktu kosong yang biasa ia manfaatkan untuk menulis di blognya. Ia baru ingat, sepanjang bulan ramadhan ini ia belum menyentuh laman blognya, malas juga. Pun, ia sedang bosan melanjutkan tilawahnya. Kini, Manda lebih memilih menjadi teman mengobrol ibunya. Kegiatan yang harus terus dijaga keharmonisannya.
“Hai ma.” Sapa Manda yang baru datang dari kamar.
“Tumben keluar dari kamar? Biasanya kalo Minggu, kalo gak mendekam di kamar pasti main keluar.” Gurau ibunya.
“Yeh. Si mama, aku mau ngobrol aja sama mama.” Balas Manda.
“Mau ngobrol apa si?”
“Ini loh ma, ceritain dong ma, waktu aku pertama kali puasa, kok aku gak inget ya?”
“Oh itu. Sini duduk, mama ceritain.” Ibu Manda mengajaknya duduk bersama di sofa.
“Jadi gini..”
.
.
.
“Pakle, tolong titip ya.” Begitu ibu Manda berucap.
Waktu itu adalah masa-masa pendaftaran sekolah dasar. Ibu Manda menitipkan Manda pada paman ayahnya — adik neneknya. Manda yang tak tahu apa-apa hanya ikut saja, merasa senang karena menemui suasana baru.
Manda diajak ke kamar, tempat menginapnya selama 1-2 malam. Ternyata itu kamar anak bungsu neneknya — Tante Manda. Usia mereka hanya terpaut satu tahun. Manda biasa memanggil dengan sebutan kakak, sampai sekarang.
“Hai kak.” Sapa Manda.
“Hai, sedang apa kamu di sini?”
“Entahlah. Aku diajak mama kesini, menginap. Eh, tapi tadi mama malah pergi.”
“Oh begitu. Eh, sebentar lagi Maghrib, kita siap-siap yuk.” Ajak Nadia.
“Hah? Siap-siap ngapain kak?”
“Ya.. siap-siap buka, emang kamu gak puasa?”
“Puasa?”
“Iya. Itu loh yang gak maka sama gak minum.” Manda menggeleng, tak mengerti.
“Hmm, pantes seger banget. Ya udah, ayo ikut aja.” Nadia mengajak Manda lagi.
Manda meletakkan tas yang dibawanya. Lantas mengikuti jejak bayang Nadia. Nadia mengajak Manda ke dapur. Membantu mengangkat beberapa makanan yang sudah siap. Tak lama, semua anggota keluarga berkumpul di meja makan. Beberapa kakak Nadia juga datang dari kakak masing-masing, ikut memenuhi kursi di meja makan.
Takbir dari surau dekat rumah memenuhi keceriaan ruang makan. Manda ikut minum seperti yang lain, disambung dengan kurma dan beberapa ta'jil.
“Ma, kata Manda, dia gak puasa.” Ucap Nadia di sela-sela obrolan.
“Benar begitu Man?” tanya nenek Manda. Ia balas mengangguk.
“Kalau gitu, besok kamu ikut sahur ya? Kita puasa bareng-bareng, gak makan dan minum sampai adzan Maghrib. Dan besok akan jadi puasa pertama kamu. Setuju?”
“Tapi Mbah, nanti kalo udah haus atau laper boleh minum atau makan gak?” Manda bertanya lugu.
“Hahaha, ya enggaklah. Kamu harus belajar, gimana rasanya orang-orang yang belum tentu bisa makan setiap hari.” Manda merengut.
“Ya udah deh, Manda coba.” Manda akhirnya menyanggupi.
Keesokannya, Manda dibangunkan sahur oleh Nadia. Sulit betul membangunkannya. Kakak-kakak Nadia turut membantu. Sampai akhirnya ia bisa dibangunkan.
Dengan wajah tertekuk-tekuk, ia menuju ke kamar mandi, berniat membasuh muka. Perlahan, ia ikut bergabung di meja makan. Semuanya sudah di sana, bahkan ada yang mulai bersahur.
“Manda, ayo makan. Simbah udah masakin nasi goreng kesukaan kamu.” Demi mendengar kalimat itu, Manda membelalakkan matanya.
“Beneran Mbah?” Manda masih tak percaya.
“Iya. Ayo naik.”
Manda memakan dengan lahap. Bukan sekadar nasi goreng biasa, tapi ini spesial baginya. Nasi goreng ini terdapat beberapa iris sosis dan parutan keju. Sampai habis, ia meneguk segelas air. Tak lama, adzan Shubuh berkumandang, tanda dimulainya puasa.
“Nah, Manda. Sekarang kamu harus puasa, tahan makan, minum, sama hawa nafsu kamu ya. Gak lama kok, Cuma sampe adzan Maghrib doang.” Manda hanya mengangguk.
Sepanjang hari mereka asyik bermain, berusaha menyibukkan diri agar lupa haus dan lapar. Di tengah hari setelah Dzuhur, mereka terlelap, tidur sejenak.
Di penghujung sore, mereka bangun, melaksanakan sholat ashar. Membantu masak seadanya di dapur.
“Wah, udah sore aja.” Manda berucap.
“Gak terasa kan?” neneknya berkomentar. Manda mengangguk sambil tersenyum.
“Besok-besok lanjut lagi ya puasanya.” Neneknya kembali bersahut.
“Asal mama tahu aja ya ma. Tadi pas kita mau sholat dzuhur, Manda ke kulkas tau ma. Untung aku ngeliat, gak jadi deh dia batal.” Nadia menceritakan kejadian tadi siang.
“Hehe. Kakak inget aja.”
.
.
.
“Nah, kayak gitu Man.” Ibu Manda selesai menceritakan.
“Terus abis itu, aku lanjut puasa gak ma? Besok-besoknya?” Manda bertanya.
“Puasa lah, mama disuruh nenek kamu buat nyuruh kamu belajar puasa. Ya udah deh.” Manda hanya mengangguk.
Tak istimewa memang, tapi Manda merasa itu hebat. Di usianya yang bahkan belum genap enam tahun, dia sudah berpuasa penuh. Bukan hanya sampai jam sembilan atau setengah hari. Itu sesuatu yang spesial baginya.
Andai kata waktu terulang, dan ia mengingat serangkaian kejadian itu, ingin rasanya ia mengajak teman SD-nya untuk berpuasa penuh, karena merasa pengalamannya bisa menjadi penyemangat bagi yang lain.
Cukup sekian dulu ya. Insyaallah, cerita yang kemarin akan disambung lagi. Maaf telat, ada satu dan lain hal jadi postingnya tengah malem. Hehe 😂 wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar