Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. I'm comeback 😉 kita nyambung cerita dari Manda di Ramadhan #3 ya..
Manda siap menjemput momen baru lagi. Sesaat ia melihat siaran berita yang tadi ditonton ibunya.
“Berita itu lagi.” pikir Manda.
Manda baru saja selesai mengikuti pesantren kilat di sekolahnya, saat teman lamanya menelepon.
“Assalamu’alaikum Manda.” Sapa Desy dari ujung telepon.
“Wa'alaikumussalam, ada apa Des? Tumben nelepon.”
“Begini, sekarang aku mau ketemu sama kamu, bisa gak?” Sahut Desy langsung ke intinya.
“Sekarang banget? Kalo sekarang aku gak bisa, mungkin nanti sore, ntar kalo aku udah siap aku chat aja ya, kamu tunggu chat aku aja.” Manda membalas.
“Ya udah deh, ketemu di tempat waktu itu ya?”
“Ok.” Manda menjawab mantap.
Desy. Satu dari ratusan teman Manda yang menginspirasi hidupnya. Mereka bertemu di salah satu event buka bersama khusus remaja terbesar se-kota tahun lalu. Gamis hitam dengan sedikit corak putih, khimar panjang hitam dengan corak polkadot putih, lengkap dengan cadar berwarna senada dengan panjang seleher lebih. Waktu itu dia bingung tatkala ingin pulang dari acara buka bersama tersebut, “lupa jalan”, tuturnya saat itu. Manda yang melihat gerak-gerik khawatir langsung menghampiri untuk membantu tanpa rasa takut.
Manda sudah sampai di rumah, adzan ashar berkumandang ketika ia menginjakkan kaki di rumah. Manda bergegas mandi lalu sholat. Lantas memberitahu Desy bahwa dia siap berangkat.
Sampai di tempat, mereka berpelukan mesra, seperti dua sejoli yang lama berpisah jarak dan waktu. Mereka memilih tempat duduk di dekat jendela depan. Tempat terbaik menurut Desy, Manda hanya manggut-manggut saja.
“Eh, nanti kita sekalian buka aja ya? Udah mau jam 5 juga.” Ucap Manda saat duduk di kursi.
“Ya udah.”
“Jadi, ada keperluan apa kamu ngajak ketemuan?” tanya Manda penasaran.
“Ini, kamu tau berita bom di Surabaya 'kan? Terus ada lanjutan pengeboman lagi setelah itu. Nah, aku kena imbas soal itu.” Desy bercerita sedikit.
“Hah? Gimana-gimana? Kok aku masih gak mudeng ya, pengebomannya 'kan di sana, kok kamu kena imbas? Apa keluarga kamu ada yang jadi korbannya?
“Gini loh Man, 'kan keluarga yang ngebomin itu, yang ibu-ibunya, pake cadar 'kan? Nah, sekarang tuh stigma orang-orang nganggep aku komplotan mereka. Udah dua kali aku hampir diciduk polisi, untungnya aku ngaku kalo aku masih sekolah, aku tunjukkin kartu pelajar aku yang selalu aku bawa kemanapun. Tau gak sih? Rasanya aku mau lepas cadar aja, dulu walaupun ada beberapa orang yang memandangku aneh, mereka tidak pernah sampai menangkapku, malah aku merasa lebih terjaga. Lah sekarang? Apanya yang terjaga, kalo setiap lewat aparat pasti langsung disamperin, ditanyain ini-itu, bahkan dibawa ke kantor mereka.” Tutur Desy.
“Sebegitunya Des?” tanya Manda lagi, mengulur waktu, bingung mau berkomentar apa.
Desy mengangguk. Melirik ke arah luar restoran, beberapa orang merasa waswas dan langsung menghindar melihat dia. Beberapa yang lain acuh tak acuh. Manda mulai mengerti sudut pandang Desy.
“Bahkan beberapa tempat umum gak ngizinin aku masuk Man. Malahan, waktu itu salah satu masjid aja gak mau nerima aku sholat Maghrib sebentar.” Desy sedikit berteriak, mulai menitikkan air mata.
“Sabar ya, mungkin ini ujian dari Allah. Gini ya, aku punya sedikit rahasia kecil. First impression aku pas liat kamu itu, aku pengen kayak kamu. Tapi sampe sekarang aku belum juga bisa. Kamu itu satu-satunya teman aku yang bercadar, kamu panutan aku, Des. Aku gak nyangka, orang yang aku idam-idamkan bisa berpikir kayak gini. Jangan gitu Des. Kalo kamu pengen buktiin kamu bukan teroris seperti yang mereka bilang, kamu tunjukkin ke mereka.” Manda berusaha menenangkan Desy yang mulai sesenggukan.
“Gimana caranya Man?” Desy mengangkat kepalanya yang tadi sedikit tertunduk.
“Ya.. gimana ya? Hehe, aku juga kurang tau sebenarnya.” Jawab Manda seadanya sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Coba deh, kita cari di internet, hal-hal apa yang bikin orang bersimpati sama kita.” Manda mengusulkan.
Bersama, mereka mencari kegiatan yang menumbuhkan simpatisan. Mulai dari aksi damai, bakti sosial, bagi-bagi ta'jil, sampai bahkan yang hanya sekadar membantu orang yang membutuhkan di jalan dapat menumbuhkan simpati. Satu dua terasa sulit dilakukan, yang lainnya teramat mudah dilakukan, bahkan setiap hari.
“Des.. kalo yang tujuannya mau buat banyak simpatisan, 'kan kamu gak bisa sendiri tuh. Nah, kamu punya semacam komunitas cadar gitu gak?” Manda angkat bicara.
“Hmm. Ada sih, tapi gak terlalu gede. Itu pun lebih ke temen kumpul bareng doang kalo ada kajian gitu.”
“Bisa tuh Des. 'Kan yang penting bentuknya massal gitu loh. Jadi, kamu kayak bikin gerakan-gerakan gitu. Keren deh pokoknya, cuma ya gak gampang. Kamu butuh izin ke kepolisian, dll. Tapi aku yakini kamu pasti bisa kok.” Senyum Manda mengembang.
Desy balas tersenyum dari balik cadarnya. Hubungan pertemanan kedua insan manusia ini semakin baik. Mereka masih saling bertukar pandang, sampai bunyi adzan dari handphone masing-masing berbunyi dan menyadarkan mereka. Mereka segera memanggil pelayan dan memesan segelas minuman.
Desy tak salah memilih teman cerita. Sebenarnya banyak teman-temannya yang mungkin lebih alim dari Manda. Tapi dia tahu, cara pandang Manda jelas berbeda dengan yang lain. Temannya yang lain cenderung hanya bisa menyalahkan opini orang-orang tanpa memberikan solusi. Lain dengan Manda yang berpikiran terbuka, cerdas, dan cepat tanggap. Manda memang benar-benar seorang pelipur lara yang hebat.
Mereka sempat shalat Maghrib di masjid terdekat. Usai shalat, mereka segera berpamitan. Desy tak lupa meminta do'a pada temannya, Manda dengan senang hati mendo'akan.
“Oh iya, kalo ada yang bilang Islam itu teroris, kamu bilang aja. Setiap orang yang bersalah terlepas dari apa agama yang mereka anut. Setiap orang pun bisa menjadi teroris, dari agama mana pun. Islam itu indah, jangan salahkan agamanya karena orangnya.” Desy hanya mengangguk.
Sebelum beranjak pergi dari masjid, Manda melihat agenda yang rutin ia susun. Manda terperanjat kaget, tak percaya ia bisa melupakan agenda penting seperti itu. Alhasil, Manda bergegas menuju tempat parkir, membawa motornya melesat menuju ke rumah.
Bersambung...
Cukup sekian ya.. Sebelumnya, mohon diperhatikan, cerita di atas hanyalah kisah fiktif belaka. Cerita ini juga dibuat untuk mengenalkan Islam secara umum, bukan terhadap aliran tertentu.
Kritik dan saran sangat dibutuhkan, penulis dengan lapang dada menerima saran apapun, karena penulis sadar bahwa penulis masih muda dan belum tahu apa-apa. Mohon maaf apabila pesan yang ingin saya sampaikan tidak tersampaikan dengan baik. 🙇
Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar