Ingatanku terlempar pada masa-masa memilih jurusan. Sebagian orang yang mengenalku tentu tahu keinginan terbesarku yakni sastra Indonesia. Mimpi menjadi mahasiswa sastra Indonesia di selalu terbayang dalam kepala mungilku.
Tapi takdir berkata lain. Kebimbangan mengantarku untuk memilih Pendidikan Bahasa Arab pada pilihan kedua. Usahaku terpatahkan oleh-Nya. Menyesal? Tentu. Padahal di UNJ — kampusku saat ini — aku tahu bahwa ada jurusan sastra Indonesia di sini.
Aku berusaha menerima. Bagiku, toh aku masih bisa berkarya sekali pun tidak di sana. Meskipun, memiliki ilmu lebih di sana tentu akan lebih baik.
Kembali lagi dengan kisah adik kelasku. Bisa dibilang, ia merupakan satu di antara beberapa adik kelas semasa SMA yang sangat dekat denganku. Berbagai sesi curhat malam telah kami lalui. Bahkan sepotong cerita kami kuabadikan dalam naskah novelku. Tapi kemarin aku merasa gagal, setelah semua yang telah kujelaskan, ia masih ragu dengan pilihannya. Alasannya satu, ia ternyata selama ini memilih bukan karena suka atau bisa, tapi karena ingin mapan di masa depan.
Semua tentu mau itu. Lantas memilih jurusan yang dirasa “fleksibel”. Dan pada akhirnya terjebak dalam kenyataan bahwa “aku tidak bisa melewati ini”. Bukan hanya di jurusan fleksibel, jurusan “khusus” seperti yang aku jalani pun masih ada yang merasa demikian. Pada saat itu aku hanya bisa mengarahkan bahwa yang kau suka dan bisa jauh lebih baik dibanding mengikuti tren. Lihat bagaimana orang yang mengikuti arus? Tentu terbawa arus. Maka buatlah arus sendiri. Lalu bagaimana dengan orang-orang yang terlanjur berada di arus yang salah?
Mungkin ini memang rencana Allah yang terbaik. Ini bentuk ujian darinya. Aku juga terkadang merasa tidak bisa lulus dari sini. Karena merasa bukan bidangku. Sekali pun menyukai bahasa, tapi yang ini tentu berbeda. Barangkali ini semua terjadi atas peran-Nya. Sang Maha Penguasa lagi Maha Penyayang. Hanya itu keyakinanku.
#WriteFromHome #Day8
Tidak ada komentar:
Posting Komentar