Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Penasaran dengan agenda penting Manda? Simak baik-baik ya.
Aku sampai lupa, besok ada agenda penting yang tidak boleh terlewatkan. Kuhampiri ibu dan memastikan segalanya baik. Semuanya baik.
“Ma. Bukber keluarga besarnya jadi 'kan? Aku udah relain gak ikut acara bukber yang lain nih.” Sahutku saat kami sedang santap sahur.
“Iya insyaallah jadi. Oh iya, semuanya, anak-anak mama, habis shalat Shubuh kalian semua mandi ya, abis itu kita berangkat.” Ibu berseru.
“Pagi banget ma, 'kan bukber.”
“Sebenarnya acara ini merupakan silaturahmi tahunan rutin, Man. Tapi karena momen puasa, jadi sekalian diadain bukber.” Ibu menjelaskan.
Aku mengangguk, lanjut menyuap makanan.
Usai shalat Shubuh, kami mandi secara bergantian. Ibu yang pertama sambil memandikan kedua adik kecilku. Kupakaikan satu set baju dengan warna hijau senada pada kedua adik kecilku. Tak lama, ibu keluar dari kamar mandi. Kini giliran aku, dilanjut yang lainnya.
Acara ini menetapkan dresscode formal warna hijau. Aku mulai membuka lemari dan memilih baju yang akan kukenakan. Got it! Gamis hijau mint dengan aksen putih ditambah khimar putih motif polkadot hijau. Tak lupa, flat shoes putih polos lengkap dengan sling bag hijau tosca. Siap.
Aku dan keluarga berangkat saat matahari sudah terbit sempurna. Aku mulai mengulang-ulang ayat yang kubaca nanti selama perjalanan di mobil. Panggilan telepon membuatku menghentikan aktivitas.
“Halo, Man.”
“Iya. Ada apa kak?”
“Kamu udah latihan lagi?”
“Udah kok kak, ini aku lagi baca ulang-ulang.”
“Ya udah, aku cuma mastiin aja. Oh iya, nanti sebelum mulai kita gladi dulu ya, apalagi dari kemaren kita gak pernah latihan secara langsung 'kan?”
“Iya, kak.”
Laki-laki itu menutup teleponnya. Arif. Sepupuku yang akan menjadi partner-ku saat pembacaan sari tilawah nanti.
Jauh sebelum Ramadhan datang, aku ditunjuk oleh panitia silaturahmi keluarga besar tahun ini untuk menjadi pembaca sari tilawah saat pembukaan acara. Aku mulai saling berkomunikasi lebih sering dengan kak Arif. Sayang, skripsi yang akhir-akhir ini mengejarnya membuat kita tidak pernah bisa bertemu.
Kami memutuskan latihan gabungan secara online melalui video call. Aduhai, rasa-rasanya gelarku sebagai juara MTQ tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan suara kak Arif. Dia memang tak pernah mengikuti lomba serupa. Minder katanya. Padahal kalo kami bersaing, pasti dia yang akan menjadi juara satu.
Kami langsung bertegur sapa saat aku turun dari mobil. Aku mengikutinya menuju ruangan panitia. Besar betul rumah ini, kami benar-benar dibuat berkeliling untuk sampai ke salah satu ruangan panitia.
“Ok. Coba kita mulai lagi.” Kak Arif mengarahkan.
Kami mulai berlatih lebih serius. Setelah semua latihan online yang kami jalani, aku dan kak Arif masih perlu banyak berlatih untuk menyamakan nada. Selain aku dan kak Arif, di ruangan ini ada dua MC dan beberapa anak yang akan memainkan drama islami. Konsentrasi kami kadang sedikit pecah di tengah hiruk-pikuk orang-orang sibuk.
Kedua MC itu keluar ruangan, sepertinya mereka akan memulai acara. Sebelum keluar, dia memberitahu kami tentang teknis pemanggilan nanti. Aku hanya manggut-manggut.
Jam masih menunjukkan pukul 08:05 saat kami dipanggil ke atas panggung kecil. Aku menaiki panggung dengan gugup yang berusaha kubungkus rapi. Aura percaya diri dari kak Arif menciptakan suasana positif bagiku. Kami mulai membuka Al-Qur’an, lalu mulai melantunkan ayat demi ayat.
Selesainya kami, acara selanjutnya dimulai. Drama islami dari anak-anak, disambung acara-acara hiburan lain. Para anggota keluarga mulai mempererat tali silaturahmi dengan anggota keluarga yang lain. Aku memilih mengobrol dengan sepupu satu nenek. Tak lama, sepupu jauh yang belum kukenal ikut bergabung dengan kami.
“Hai. Aku ikut gabung ya.” Sapanya ramah.
“Oh, iya.” Kak Arif mempersilakan.
“Kalian cucu dari nenek atau kakek siapa?” dia bertanya.
“Nenek Pujiyati. Nek Yati.” Aku menjawab.
“Oh iya, aku belum kenalan. Perkenalkan, nama aku Sofia, cucu dari nenek Sucipta, anak bungsu kakek buyut.”
“Oalah.”
“Aku cucu satu-satunya, makanya gak ada sepupu. Jadi, harap maklum aku ikut gabung sama kalian. Oh iya, kalian pasti kalo lebaran rame ya? Pengen rasanya kayak gitu juga.” Kami mengangguk mantap.
“Ya gitu deh. Atau gak gini aja, pas lebaran kamu mampir ke rumah nenek kita, biar kamu juga bisa ngerasain gimana rasanya.”
“Nyokap belum tentu ngizinin.” Jawabnya lemah.
“H-1 lebaran aku share location deh. Ntar kamu berangkat sendiri, berani ‘kan?” Aku mengusulkan.
Shofia mengangguk. Kacamatanya yang turun, dinaikkan. Adik-adikku bermain dengan sepupu yang lain. Kini, hanya tinggal aku, kak Arif, dan Shofia. Kami mengobrol seputar sekolah masing-masing. Rupanya Shofia lebih tua dariku, tahun ini ia akan duduk di bangku perkuliahan. Topik berganti menjadi seputar dunia kuliah.
Kadang perbincangan kami dijeda dengan sholat. Kami juga berpindah-pindah tempat demi mengganti suasana obrolan. Percakapan kami tak pernah bosan sampai ba'da ashar.
Ba'da ashar, aku dan kak Shofia ikut membantu di dapur, menyiapkan bukaan dan makan malam. Kak Arif sudah pergi entah ke mana, membantu beres-beres di ruang makan. Ibu dan wanita sebaya lainnya memasak secara bergotong royong. Aku dan perempuan seumuranku membantu yang dirasa bisa kami lakukan.
Panganan siap dibawa ke meja makan. Tersedia air minum gelas kemasan beberapa dus, ratusan kurma, es buah, dan teh hangat. Makanan berat juga siap sedia. Seluruh anggota keluarga mulai mengantre mengambil jatah mereka. Kak Shofia membawa bukaan untuknya dan aku, dia baru kembali membawa ayam bakar dari ruang makan.
Saat adzan Maghrib berkumandang, kami semua langsung membatalkan puasa bersama. Kak Arif yang entah datang dari mana langsung bergabung denganku dan kak Shofia. Setelah perut cukup terisi, kami semua shalat Maghrib berjama’ah, diimami oleh kakek tertua.
Agenda dilanjutkan dengan makan malam dan foto bersama. Keluarga nenekku juga foto bersama. Tak ketinggalan, aku dan keluarga mungilku. Kami bersiap pulang saat kak Shofia mengajakku berfoto. Kak Arif sudah menunggu di depan kamera. Kami bertiga berfoto cepat.
“Kak, besok jadi beli baju buat lebaran 'kan?” Layla bertanya saat kami di perjalanan pulang, aku hampir lupa tentang rencana itu.
“Oh itu, jadiin aja sih, tapi mama belum ngasih uang. Ma, gimana?”
“Hmm. Ya udah deh. Tapi kita semua berangkat bareng ya. Biar dapet baju berkualitas dengan harga terjangkau. Ok?” aku balas mengangguk.
Bersambung...
Sekian dulu ya ceritanya. Sampai ketemu lagi 👋. Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar