Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Lailatul qadar bareng siapa aja nih? Eh, atau malah sendiri? Tenang aja, Manda siap nemenin kalian dengan cerita-ceritanya. Simak ya.
“...besok malem kamu ajak adek kamu buat tilawah ya. Kalo dia gak mau tilawah bareng, sesekali kamu cek ke kamarnya. Hitung-hitung biar mereka biasa.” Tugas sebagai anak sulung kembali menghinggapi pundakku.
“Iya, ma.” Aku menjawab singkat.
Adzan isya' berkumandang bersahut-sahutan dari setiap masjid. Kami sekeluarga bersiap untuk shalat isya' berjama’ah. Saat ingin berwudhu, aku menemui adik-adikku yang beranjak remaja itu.
“Rizky, Layla, abis ini kita tilawah ya. Nah, kalian maunya baca bareng-bareng atau sendiri-sendiri?” Rizki dan Layla saling tatap, tak mengerti perintahku yang tiba-tiba dan mungkin tak wajar bagi mereka.
“Emangnya kenapa, kak?” Rizki balik bertanya, aku menghela napas kasar.
“Malam ini mungkin menjadi malam lailatul qadar. Terus kalian mau ngelewatin malam ini gitu aja? Tanpa ngelakuin apa-apa? Sayang banget tau. Kalian udah tau 'kan hakikat lailatul qadar itu apa? Ayolah, kalian udah gede.” Aku semakin naik darah melihat mereka hanya bergeming lantas kembali saling tatap.
“Ada apa sih ini ribut-ribut, ayo sholat Isya', papa kalian udah nungguin tuh.” Ibu menghampiri kami yang tak kunjung datang ke tempat shalat.
“Ini, ma. Aku lagi ngasih tau mereka biar abis shalat tilawah, tapi pada diem-dieman.” Aku mengadu.
“Ikutin omongan kakak kalian, mama yang nyuruh kakak kamu buat nyuruh kalian tilawah. Apa susahnya sih? Apa beratnya?” Kini, ibu yang angkat bicara.
Mereka hanya mengangguk lemah, lantas memilih tilawah bersama, “biar gak ngantuk” kata Layla. Rizki ikut saja. Kami segera mengambil air wudhu, kemudian shalat berjama’ah.
Kami berkumpul di ruang tengah. Al-Qur’an berlapis kain biru langit tetap menjadi teman tilawahku. Rizki dan Layla sedang mengambil Al-Qur’an masing-masing. Sebelumnya, ibu memintaku memandu Rizki dan Layla untuk muraja’ah. Maka, saat mereka sampai, kuminta mereka membuka surat terakhir yang mereka hafalkan.
Layla muraja’ah surat At-Takatsur, sementara Rizki surat Al-'Alaq. Sembari menunggu, aku ikut muraja’ah dengan surat Al-Lail. Ketika mereka merasa mantap dengan hafalannya, secara bergantian mereka “setor hafalan” dengan aku sebagai pembimbingnya.
Agenda disambung dengan menambah hafalan ke surat berikutnya.
Setelah itu, kami membaca Al-Qur’an bersama, mengikut ayat terakhir yang kubaca sepanjang Ramadhan. Malam ini terasa lebih damai. Bulan yang tengah bergerak ke bentuk sabit bak mengulas senyum, seperti ikut berbahagia karena melihat anak seusia kami menghidupkan malam penuh berkah.
Jarang-jarang juga kami rukun seperti sekarang. Dulu, walaupun sepanjang hari bermain, tetap saja bumbu-bumbu kecurangan dalam berbagai jenis permainan menciptakan pertengkaran. Tapi yang namanya anak-anak, sekejap kami lupa dengan kesalahan itu, lantas gelak tawa tercipta di antara kami.
Membaca Al-Qur’an bersama berakhir pukul 21:00 — waktunya Layla tidur. Tak mau berdua, Rizki memilih tilawah sendiri di kamarnya, aku hanya mengiyakan. Maka, kulanjutkan tilawah di kamar pribadi jua sampai larut datang.
Entah bagaimana orang lain dengan saudara sekandungnya melalui lailatul qadar. Atau bahkan mereka hanya melewatinya sendiri. Aku tak tahu menahu perkara itu. Yang aku tahu, aku bahagia karena memiliki keluarga yang utuh, dikelilingi suasana islami, dan adik-adik yang sepemahaman denganku.
Di waktu yang sama seperti tanggal ganjil di sepuluh malam terakhir bulan ini, aku mendirikan tahajud. Angin berita yang boleh jadi baik atau bahkan buruk itu menerpa ingatanku. Tak terasa, lusa depan merupakan hari penting bagiku. Di saat itu juga, lepas menyelesaikan tahajud, aku bermunajat agar diberikan hasil yang terbaik. Tak ingin rasanya melihat air muka orang tua turun karena mengetahui hal ini.
Bersambung...
Sekian dulu ya, ceritanya. Ada yang ngerasa kependekan? 😂 Sekian. Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar