Malam pergantian tahun kami biasa saja. Tidak ada perhelatan di rumah. Hanya Abi yang sesekali menyambangi rumah tetangga demi memenuhi undangan. Umi dan adik kecilku sudah larut dalam buai mimpi. Masih pukul sepuluh, kantukku belum memuncak karena aktivitas rebahan seharian.
Akhirnya aku bersama adikku membunuh waktu dengan menonton konser di TV yang membasahi beberapa lensa kamera. Petir sahut menyahut di luar rumah kami. Seakan-akan hujan dari Jakarta sedang mengarah ke rumahku.
Tidak lama masa berlalu, Abi berjinjit-jinjit memasuki rumah sembari menyerahkan dua jagung bakar utuh. Badannya kuyup dengan hujan yang tiba-tiba menderas. Kami saling tatap dan aku bergegas mengambilkan handuk untuknya.
Besoknya, hujan masih mengguyur. Baru berhenti sekitar pukul 6 pagi. Di luar, air masih biasa saja. Aku pikir, hari itu banjir seperti biasanya. Tapi hujan yang membasahi setiap jengkal daratan Jabodetabek memaksa keluarga kami untuk pertama kalinya mengungsi.
Morat-marit menggotong sandang dan beberapa pangan menuju pengungsian. Badanku basah sampai seleher. Ditambah, aku perlu menggendong salah satu adik kecilku. Kaki mungilnya sesekali terendam air banjir.
Dan disinilah letak syukurku. Bayangkan jika aku sudah memiliki laptop? Aku mengecek bawaanku di daerah yang lebih bersahabat. Bajuku sedikit basah karenanya. Tidak terpikir jika sampai membopong laptop. Pengungsian penuh yang memaksa kami berjalan lebih jauh.
Aku masih bersyukur mengetik dengan HP. Sekali pun menyulitkan, tapi rasanya akan lebih sulit jika mengungsikan laptop. Dan dengannya sekarang aku bersahabat. Sudah banyak karya yang terlahir dari rahim Microsoft Word versi android. Sesekali ada karya yang membawaku pada pengalaman berharga. Dari sanalah aku merasa cukup saat ini. Barangkali, memang bukan kapasitasku untuk memiliki laptop sekarang.
#WriteFromHome #Day10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar