Cari Karya

Senin, 06 April 2020

720 Menit

28 Februari 2020. Lina masih tidak percaya bahwa besok ia didiagnosis akan meninggal. Beberapa kali yang Lina lakukan hanya sholat sembari menangis tiada henti di ranjang rumah sakit. Bahkan, untuk berhenti melakukan sholat saja rasanya berat sekali. Seakan-akan, jika ia berhenti sholat, maka neraka sudah menanti.

Keluarganya berusaha menenangkan Lina, tapi ia tetap ketakutan dan berbagai rasa khawatir lainnya. Lina mengusir keluarganya untuk meninggalkannya sendirian bahkan guru ngajinya juga ia usir. Tidak ada yang mampu mengusiknya sampai kantuk menyergap.

Dan keajaiban datang di hari kabisat usai sholat Dhuha, Lina kedatangan tamu.

“Assalamu’alaikum.” Sapanya sembari mengetuk pintu.

“Wa’alaikumussalam. Siapa?”

“Ini aku, Dika. Kau ingat?”

Lina tercengang. Pria yang ia idamkan saat SMA kembali hadir di detik-detik akhir hidupnya. Untuk apa? Bahkan, komunikasi sudah sangat jarang. Terakhir, saat Dika bertanya nasib ijazahnya karena mendengar kabar sekolah kami kebanjiran.
Itu sudah hampir setahun yang lalu. Sisanya hanya saling berkomentar di media sosial. Tidak lebih.

“Lina, boleh aku masuk?” tanya Dika.
Lina sampai lupa ada sosok yang menunggu pernyataannya.

“I..iya Dika, masuk aja.” Jawab Lina sedikit malu.

Dika datang membawa sebuah novel tentang ganjil-genap. Tidak penting memang. Apalagi jika melihat situasi saat ini. Tapi penulisnya merupakan salah satu penulis favorit Lina. Lain cerita.

“Aku akan memberikan 720 menit terbaik dalam hidupmu.” Ucapnya.

“Untuk apa? Aku akan meninggal hari ini.” Sergah Lina.

“Tapi bukan sekarang. Ikut aku, kita ke pameran buku, lalu sholat Dzuhur di sana, dan dilanjutkan dengan makan siang. Sembari menunggu ashar, kita akan menikmati es krim. Setelah ashar, kita akan menuju Kota Tua dan menikmati berbagai hiburan di sana. Tidak lupa sholat lagi dan makan malam tentunya. Lantas, kita kembali ke sini. Sambil,... aku bacakan isi buku ini.” Jawab Dika sembari memperlihatkan bukunya.

Lina sedikit menjerit. Jauh sebelum ia terbaring di sini, begitu menggilanya dia untuk bisa mendapatkan buku tersebut. Kali ini ada di depan pandangannya.

Namun, lagi-lagi Lina khawatir tentang amalannya. Dika lagi-lagi menjelaskan, jika ada yang khawatir dengan amalannya, maka ia termasuk orang-orang yang beriman. Maka tenanglah, karena surga untuk orang-orang sepertimu.

“Tapi... Kenapa kamu melakukan ini?” Lina akhirnya melontarkan pertanyaan yang sejak tadi menggelayut di kepalanya.

“Karena aku mencintaimu, Lina.”


#WriteFromHome #Day14

Minggu, 05 April 2020

Myself

Jika saya hanya punya kesempatan untuk menulis satu buku di dalam hidup ini. Maka, buku itu adalah tentang diriku.

Bukannya apa, terkadang manusia terlalu muluk untuk mengakui jika ia ingin diakui. Ah, meski kisah hidupku entahlah akan dinikmati orang atau tidak. Tapi, aku akan membuat buku fiksi tentunya. Novel. Karena fiksi adalah jalan ninjaku. Jadi ya, cerita itu bisa dihiperbolakan tentu. Semoga saja tidak akan jadi semacam biografi.

Bagaimana menarasikannya? Mungkin aku akan memunculkan konflik di pembukaan seperti kebanyakan cerpen karanganku. Dengan usiaku yang baru menginjak 18 tahun, konflik utama akan fokus pada masa-masa remaja dengan segala masalah seputar bullying dan pencarian jati diri. Ah, rasanya aku ingin menuliskannya sekarang juga.

Aku pikir cukup sekian saja. Karena naskah pertamaku juga tidak jauh-jauh dari konteks remaja. Ditunggu ya.

#WriteFromHome #Day13

Sabtu, 04 April 2020

Ketika Pandemi Ini Berakhir

Jika Corona menghilang, maka aku akan...

Beberapa teman mengunggah rencana kegiatannya melalui percakapan di aplikasi pesan instan WhatsApp dengan teman mereka setelah virus ini raib. Tidak sedikit, teman-temanku juga mengungkapkan kegelisahannya di grup atau pesan pribadi kepadaku. Aku? Ah, tentu saja masih ada harap rancangan-rancangan gila pasca pandemi.

Jika Corona menghilang, maka aku akan segera membuat SIM untuk mobilitas perkuliahan tanpa indekos alias PP. Bukan apa, banyak faktor rasanya yang memaksa ibuku mengambil keputusan ini.

Pertama, tentu saja ekonomi. Sebentar lagi hari raya, maka sia-sia rasanya jika harus indekos. Apalagi, pembayaran sewa tetap harus berjalan meski jasadku di rumah. Maka, pada hari keenam karantina, aku dan ibuku menerobos jalur virus demi pamit secara langsung dan membawa semua barang-barang dari sana ke rumah.

Kedua, masih ekonomi. Uang sewa akan naik bulan April ini. Ketiga, ini dari diriku sendiri sebenarnya. Jiwa rumahanku memberontak hanya bisa bersua 1-2 pekan sekali. Sudah sejak beberapa bulan aku minta izin untuk membuat SIM, tapi surat izin membuat SIM dari orang tua tidak kunjung datang baik lisan maupun tulisan. Alhamdulillah, ada berkahnya pula pandemi ini. Apa yang kuharap terkabul. Yakni, PP dengan sepeda motor.

Masih banyak lagi impian setelahnya. Banyak agenda tertunda bahkan ditiadakan. Padahal, kesempatan emas berkembang semua di sini. Tetapi, aku berusaha tetap produktif meski #DiRumahAja. Mengikuti program #WriteFromHome salah satunya. Harap-harap, pandemi ini segera berakhir.

#WriteFromHome #Day12

Jumat, 03 April 2020

Hidup Itu Tentang Memilih atau Menolak

Mendapat tema ini, sejujurnya kita tidak pernah bisa benar-benar untuk selalu memilih atau selalu menolak. Maka jika ditanya, jawabanku tergantung. Mungkin terkesan diplomatis, tapi kita memang harus seperti itu.

Apa kita mau memilih untuk menyia-nyiakan hidup dengan bunuh diri? Apa kita mau menolak kesempatan berkarir yang lebih baik dari sebelumnya? Aku akan menjawab tidak. Tapi mungkin, kamu akan menjawab lain. Lagi-lagi, ini semua tentang “tergantung”.

Apakah situasi dan kondisinya mendukung? Apakah terlalu banyak sakit hati? Apakah akan mempengaruhi ekonomi? Dan yang paling penting menurutku, apakah hal yang kita pilih atau tolak diridhoi oleh Allah dan orang tua?

Pada dasarnya, manusia adalah tempatnya salah dan dosa. Maka, wajar bila kita pernah salah dalam bertindak. Siraman kilau mentari pagi yang hangat bahkan sering kalah dengan gumpalan awan gelap. Maka berusahalah untuk tetap bersinar meskipun di sekeliling kita pekat. Hingga, makhluk langit masih bisa melihat kita tetap bercahaya.

Semoga Allah mengampuni kita.

#WriteFromHome #Day11

Kamis, 02 April 2020

Secukupnya Saja, Jangan Berlebihan

Aku menatap sekitar, mencoba menebak kisah-kisah mana yang dipilih untuk tema semacam ini. Masih dengan mengetik via aplikasi Microsoft Word di HP, ingatanku melesat pada kejadian banjir 01 Januari 2020. Sedikit banyak peristiwa “kemalangan” itu membuatku bersyukur di sisi lain.

Malam pergantian tahun kami biasa saja. Tidak ada perhelatan di rumah. Hanya Abi yang sesekali menyambangi rumah tetangga demi memenuhi undangan. Umi dan adik kecilku sudah larut dalam buai mimpi. Masih pukul sepuluh, kantukku belum memuncak karena aktivitas rebahan seharian.

Akhirnya aku bersama adikku membunuh waktu dengan menonton konser di TV yang membasahi beberapa lensa kamera. Petir sahut menyahut di luar rumah kami. Seakan-akan hujan dari Jakarta sedang mengarah ke rumahku.

Tidak lama masa berlalu, Abi berjinjit-jinjit memasuki rumah sembari menyerahkan dua jagung bakar utuh. Badannya kuyup dengan hujan yang tiba-tiba menderas. Kami saling tatap dan aku bergegas mengambilkan handuk untuknya.
Besoknya, hujan masih mengguyur. Baru berhenti sekitar pukul 6 pagi. Di luar, air masih biasa saja. Aku pikir, hari itu banjir seperti biasanya. Tapi hujan yang membasahi setiap jengkal daratan Jabodetabek memaksa keluarga kami untuk pertama kalinya mengungsi.

Morat-marit menggotong sandang dan beberapa pangan menuju pengungsian. Badanku basah sampai seleher. Ditambah, aku perlu menggendong salah satu adik kecilku. Kaki mungilnya sesekali terendam air banjir.

Dan disinilah letak syukurku. Bayangkan jika aku sudah memiliki laptop? Aku mengecek bawaanku di daerah yang lebih bersahabat. Bajuku sedikit basah karenanya. Tidak terpikir jika sampai membopong laptop. Pengungsian penuh yang memaksa kami berjalan lebih jauh.

Aku masih bersyukur mengetik dengan HP. Sekali pun menyulitkan, tapi rasanya akan lebih sulit jika mengungsikan laptop. Dan dengannya sekarang aku bersahabat. Sudah banyak karya yang terlahir dari rahim Microsoft Word versi android. Sesekali ada karya yang membawaku pada pengalaman berharga. Dari sanalah aku merasa cukup saat ini. Barangkali, memang bukan kapasitasku untuk memiliki laptop sekarang.

#WriteFromHome #Day10

Rabu, 01 April 2020

Tentang Sebuah Ego

Tersebut kisah seorang anak. Ia bermain kejar-kejaran dengan temannya. Mereka tenteram sampai kejenuhan mulai menghampiri. Sampailah mereka pada kenyataan untuk mencari alternatif lain. Terpekur setiap kali berjumpa sembari menendang-nendang gundukan tanah.

Akhirnya hasrat menendang mereka tersalurkan ketika menjumpai bola tak bertuan. Mereka “saling” merebut bola seperti kebanyakan. Ego untuk menjadi lebih baik sudah mulai tumbuh bahkan sedari mereka kecil. Bahkan tidak sering mereka terluka.

Saat masuk SD, anak itu lambat laun semakin paham arti persaingan. Berusaha menjadi juara kelas. Mendapatkan nilai terbaik. Meraih tepuk tangan guru dan teman-teman. Beberapa cerita berdarah terkadang masih terjadi yang dibalut sifat kekanak-kanakan tentunya. Kisah yang sama tampak terulang baik di SMP maupun SMA. Yang berubah hanya pola pemikiran yang mulai dewasa. Tapi ego itu tetap sama.

Semasa kuliah, mereka terpisah. Ego itu seketika sedikit mengendur. Tapi mereka tetap bersaing. Dengan cara yang lebih kreatif. Berusaha menjadi yang terbaik di kampusnya masing-masing. Hingga tubuh dewasa kekanak-kanakan ini sampai pada tahap bahwa ego tidak selalu berakhir buruk.

#WriteFromHome #Day9