Cari Karya

Minggu, 26 November 2017

Air Terjun Cibeureum

Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh. Hai hai, sebelumnya maaf karena sudah cukup lama belum posting tulisan lagi. Untuk tulisan saya kali ini, cerpen yang akan saya bagikan merupakan kisah yang diangkat dari kisah saya pribadi. Tepatnya pengalaman saya belum lama ini.

Jadi, buat yang belum tahu, saat saya menulis postingan ini, usia saya masih 16 tahun. Kebetulan, di sekolah saya merupakan salah satu anggota OSIS. Berkaitan dengan postingan saya, cerita di bawah ini merupakan satu dari puluhan pengalaman hebat saya saat mengikuti Latihan Dasar Kepemimpinan Osis (LDKO). Jangan bosan-bosan baca ya.

Peluh membanjiri badan kala aku baru menanjak kisaran 200 m dari titik awal. Udara dingin menusuk hingga ke tulang. Bukan menuju puncak, hanya ke air terjun. Gunung Gede Pangrango, di sinilah aku berada. Bersama rombongan menuju air terjun Cibeureum. Perjalanan 2,5 km tak membuatku gentar. Kesempatan yang mungkin terakhir kalinya. Aku tak pernah melihat keindahan air terjun, takkan kusia-siakan kesempatan ini.

Pengalaman baru dalam hidupku. Semua dimulai karena tekad membara dalam diri insan yang beranjak dewasa ini. Hanya perlu keberanian dan ribuan langkah untuk mencapainya. Hingga aku sampai di salah satu titik kepuasan, bergabung dalam osis dan mengembangkannya. Seperti saat ini, masih butuh ribuan langkah lagi untuk mencapai air terjun. Titik kepuasan saat melihat air yang turun dari ujung cakrawala.

Hingga akhirnya, ketika melihat jutaan titik-titik air yang menerpa wajah dari kejauhan air terjun. Tiupan angin dari sela-sela air terjun. Dan, keindahan panoramanya membuat diri siapapun berdecak kagum. Di situlah aku semakin percaya, “Maka, nikmat Allah manakah yang kau dustakan?”. 

Sekian pengalaman singkat yang dapat saya bagikan. Semoga bisa diambil hikmahnya sekecil apapun itu. Subhanakallahumma wabihamdika asyhadualla illaha illa anta astaghfiruka waatubuilaih. Wassalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh.

Jumat, 17 November 2017

Cermin Realita

Bismillahirrahmanirrahim. Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh. Kali ini, cerpen yang saya bawakan lain dari yang lain, kenapa? Karena beda aja 😅 Just joke guys. Sorry, ok. Selamat membaca, sebarkan virus literasi ke teman kalian juga ya.

“Gaes, besok jangan lupa nonton ya, filmnya mulai jam 09.00, kita ke malnya jam 08.00 aja.”

Begitulah isi pesan singkat dari grup line teman seperkumpulanku. Dengan semangat, aku membalas.

“Ok, siap. Jangan sampe telat ya gengs, sayang kalo ketinggalan filmnya.”

Kuhabiskan sisa malam para jomlo meratapi nasib dengan memutar musik sendu. Beberapa kali aku berpikir tentang monotonnya kehidupan SMA. Kalau dikata orang, SMA itu penuh warna. Tak ada landasan ungkapan itu, kenyataannya aku hanya bergulat dengan pelajaran yang membosankan, film yang tak ada habisnya, bahkan produksi lagu yang tak henti-hentinya. Aku terus merenung hingga mata terpejam semalaman.

***

Mentari tersipu malu saat muncul. Aku berbenah pagi di hari yang dulu kuartikan hari matahari dalam bahasa inggris. Segera ‘ku berangkat dengan ojek online yang sedari lama kupesan. Panas aspal belum menguap ke permukaan. Sengaja kami menonton kala pagi, hingga nanti petang baru selesai mengitari mal baru ini. Inilah minggunya anak SMA, terlepas dari kenyataan bahwa besok hari senin.

Film selesai dengan akhir yang tak kuharapkan. Rasa sesal semakin menggelung ditambah ocehan salah satu temanku yang tak sabar ke toilet.

“Eh ayo, gue kebelet nih. Udah dari adegan berantemnya mulai.” Ungkapnya.

“Ya udah, tapi jalan biasa aja, jangan kayak dikejar setan.” Sungut temanku yang lain.

Aku ikut saja masuk ke toilet. Terdapat cermin besar menggantung di antara bilik-bilik. Kuhampiri cermin itu. Nampak gurat wajah molek bak putri keraton. Terpikir kembali ucapan ibuku “Kamu tuh pantes jadi Miss Indonesia, 3 tahun lagi coba ikutan deh.”

“Tubuhku memang dianugerahi tinggi semampai. Tapi apa itu cukup? ‘Kan harus cerdas, lah gue? Ngerjain trigonometri aja masih nyontek. Apalagi, kalo udah tahap akhir, ‘kan harus punya visi yang jelas kalo nanti kepilih, harus bermanfaat pula bagi kemajuan Indonesia.” Gerutuku.

Sentilan mengenai bermanfaat bagi negara. Aku mulai berkaca. Saat ini sudah banyak anak seusiaku sudah berguna bagi sekitar. Tak jauh-jauh, ada teman yang mendirikan taman bacaan, ada yang buka kursus menjahit, bahkan mengajar TPA. Ilmu mereka benar-benar pantas untuk dibagikan.

Teringatlah aku akan pesan guru TPA dulu. “Untuk apa masa mudamu dihabiskan?” kuingat betul ucapannya. Beliau berkata, itu adalah satu dari 5 hal yang akan ditanya di akhirat kelak. Dinukil dari salah satu hadits sahih katanya.

Apalah aku? Hidup selama ini hanya untuk diri. Jangankan bermanfaat bagi orang, apa aku bisa bermanfaat bagi diri sendiri. Tipikal malas belajar macam aku bagaimana bisa punya ilmu? Bagaimana bisa ilmunya dibagikan?

Baiklah, tekad api. Aku harus buktikan. Aku masih muda. Masih ada waktu untukku berguna. Tak pelik jika nanti ditanya perkara masa muda.

Itu saja. Beda 'kan dari kemarin? 😅 Terima kasih telah singgah di blog saya. Subhanakallahumma wabihamdika asyhadualla illaha illa anta astaghfiruka waatubuilaih. Wassalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh.

Menulis, Menebar Manfaat

Bismillahirrahmanirrahim. Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh. Seperti biasa, hari ini (telat) saya akan berbagi karya fiksi saya. Namun, kali ini tokoh 'aku' bukan seperti kemarin. Tokoh 'aku' di sini ialah benar-benar diri saya pribadi. Saya akan berbagi kisah pribadi saya. Dibaca ya.

“Jika kau bukan anak raja, juga bukan ulama besar, maka menulislah” ~Imam Ghazali~ Ungkapan ini merupakan satu dari puluhan hal yang memotivasiku untuk menulis. Awal mula rasa semangat dengan menjamurnya lomba menulis dari salah satu mendia sosial. Kalah, kalah, dan kalah. Entah berapa kali belum menerima gelar juara. Ingin rasanya tertoreh nama sebagai pemenang.

Aku mencoba cara lain untuk berkarya. Satu kesempatan, aku mengikuti kelas menulis online. Satu grup, nambah jadi dua, kemudian tiga, hingga sekarang sudah tujuh grup menulis. Tuntutan dari setiap grup benar-benar membuat penat. Hingga akhirnya kutersadar, aku melakukan ini semua demi “penghargaan” bukan “pengabdian”. Kutata kembali poa pikir rancu ini. Memulai semua dari awal.

Fokus kuletakkan pada dua grup yang memiliki progres jauh ke depan. Pada kedua grup itu tuntutannya lebih sulit. Aku harus menulis setiap hari tanpa terkecuali. Beban yang kuterima lebih berat kini.

Waktu luang sekecil apapun kumanfaatkan demi lahirnya tulisan. Seperti saat ini, aku menulis saat jam istirahat di sekolah. Insyaallah, dari tulisan yang kutulis setiap hari, ada hikmah yang dapat diambil.

Begitulah kehidupan penulis amatir sepertiku. Aku mulai terbiasa dengan segala keharusan. Kemampuan menulisku pun meningkat drastis hanya dengan konsisten menulis. Jauh, dibanding saat pertama menyusun aksara di awal 2017. Dan di awal 2018 nanti, insyaallah aku akan menelurkan sebuah novel. Genap 1 tahun belajar, genap 1 tahun berkarya. Tinta penaku belum habis sebelum hembusan napas habis.

Itu dia pengalaman saya mengenai pengalaman menulis saya. Semiga bermanfaat. Subhanakallahumma wabihamdika asyhadualla illaha illa anta astaghfiruka waatubuilaih. Wassalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh.

Rabu, 15 November 2017

Cintanya Tanpa CintaNya

Bismillahirrahmanirrahim. Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh. Seperti biasa, kali ini saya akan memberikan secuil kisah fiksi yang Insyaallah dapat menginspirasi anda. Silakan.

Dedaunan kering terus gugur saat sore mulai pergi. Siluetnya masih membayang di angan ini. Pikiran tentang dia masih berputar di kepala mungilku. Inikah yang namanya cinta? Kala terkasih selalu memenuhi memori.

Sepatah kata sapaan darimu menciptakan rona bahagia di bibir. Tak peduli daya handphone yang berubah warna merah. Segera kubalas dengan emoji senyum. Dialog demi dialog terjalin lebih lanjut. Saat ‘ku tengah mengetik barisan kalimat, tetiba layar menjadi hitam.

“Sial, baterai habis.” Umpatku.

Aku berlari kecil menuju kamar dan mulai mengisi daya handphone. Kuhempaskan tubuh ini di ranjangku. Gurat senyumnya tergambar manis di langit-langit kamar. Kugapai bayangmu bagai di dekatku kini.

Merdunya lantunan azan maghrib menyadarkan lamunanku. Kalimat istighfar terlontar begitu saja dari mulut ini. Apa yang kuperbuat? Salahkah cinta ini padanya? Enggan badan ini beranjak dari tempat ternyaman di dunia. Kusetel radio di atas laci dengan lunglai. Alunan ayat-Nya benar-benar menenangkan hati. Kuhapal betul ayat ini, Q. S. 4: 1.

Bodohnya aku. Dengan tanpa dosa aku mencintainya tanpa sadar siapa pencipta cinta. Pemudi apa aku ini? Pemudi muslim sejati tak munhkin menyalurkan cinta saat belum halal. Mereka pasti mampu menahan hasrat itu. Ya, aku harus berubah. Takkan kusia-siakan anugerah yang Sang Maha Cinta berikan.

Bagai tersetrum listrik. Kisah di atas benar-benar masih sering terjadi khususnya bagi teman-teman semua yang sepantar saya. Semoga kita semua selalu dilindungi oleh rahmat-Nya. Aamiin. Subhanakallahumma wabihamdika asyhadualla illaha illa anta astaghfiruka waatubuilaih. Wassalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh.

Selasa, 14 November 2017

Cinta Dunia

Bismillahirrahmanirrahim. Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh. Kembali lagi, pada kesempatan kali ini, saya minta maaf jika kiriman saya yang sebelumnya tidam ada bentuk fiksinya sama sekali. Karena itu lebih ke bentuk pengajaran. Mohon maaf, itu semua semata-mata demi memenuhi tugas tertentu.

Maka, untuk kiriman saya kali ini akan berisi benar-benar sebuah karya fiksi. Insyaallah, dapat diambil hikmah dan pengajarannya. Terima kasih.

Kehidupan mewahku masih kurasa kurang saat melihat sosialita lain lebih hebat. Aku terus-terusan memperkaya diri dari hasil warisan orang tua. Mobil baru bertambah tiap bulan di garasi. Sempat akhirnya, kujual sebarang 5 mobil. Belum lagi kebutuhan mode yang terus mengalir. Aku selalu mengikuti tren masa kini.

Suatu masa, aku berkeliling kota menghabiskan sisa matahari terbenam. Kemegahan sebuah masjid yang kulewati sempat menggugah hasrat penasaranku. Kuputuskan untuk menyuruh supir menepi di sana. Aku melepas diri dan memasuki masjid itu. Pakaianku saat itu seperti anak muda kebanyakan. Gaun selutut tanpa lenganan. Aneh? Tepat sekali.

Sudah lama aku tak kemari. Selalu kuingat dosa yang kuperbuat saat ke tempat sakral ini. Seorang wanita sebaya menghampiriku. Tampilannya anggun nan sopan. Ia berjalan sambil bersedekap dengan Al-Qur'an mungil.

“Assalamu'alaikum ukhti, ada yang bisa dibantu? Sepertinya kau lelah.” Sapanya sopan.

“Oh, tak apa. Aku hanya mengagumi kokoh dan mewahnya bangunan ini.” Jawabku seadanya.

“Setidaknya ucapkan wa'alaikumussalam. Itu kewajibanmu jika kau seorang muslim.” Tegurnya ramah.

“Maaf, wa'alaikumussalam.” Ucapku terbata-bata.

“Kau tau, masjid yang kau anggap ‘kokoh dan mewah' ini sebentar lagi akan diruntuhkan.”

“Kenapa?” tanyaku penasaran.

“Entahlah, ana kurang tau, sepertinya ingin dibangun mal besar.” Jawabnya berat.

“Kenapa ya? Maksudku, apa tidak ada lahan lain?”

“Mungkin ia masih berpikir bahwa dibangunnya sebuah mal berarti menemukan harta karun. Sehingga ia bisa dengan mudahnya menggusur masjid yang merupakan permata yang lebih berharga dari sekumpulan harta karun itu...” jawabnya cerdas.

“Manusia saat ini masih berpikir bahwa dunia ini perhiasan, sayang jika hilang. Padahal, sudah jelas dalam Q. S. 57: 20 bahwa kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan.” Sambungnya.

Di situ aku tertegun. Entah kenapa aku merasa bahwa itulah aku. Aku adalah manusia yang masih mengganggap dunia ini perhiasan. Tanpa kenal waktu aku selalu mengeruk harta yang ada. Tak ada amalan untuk hari akhir kelak.

“Sudah dulu ya, ana harus lekas pulang. Assalamu'alaikum.”

“Wa'alaikumussalam.”

Aku tercenung kembali. Ragu dengan apa yang barusan terjadi. Teringat pesan wanita itu. Aku segera mengambil air wudhu dan memakai mukena masjid. Aku memulai sholat dengan perlahan. Lamat-lamat kuucap doa yang masih melekat di memori. Usai sudah.

Aku berusaha menegaskan diri untuk berubah. Aku tak ingin terjebak dalam permainan-Nya. Akan kutunjukkan bahwa aku bisa menang dan dapat meraih jannah-Nya. Tak ada yang akan melalaikan aku. Setan-setan itu akan kutebas habis. Kulewati mereka semua. Bismillah, menuju keistiqamahan yang hakiki.

Demikian, semoga pembaca sekalian bisa memetik pelajaran dari tulisan saya. Saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan. Subhanakallahumma wabihamdika asyhadualla illaha illa anta astaghfiruka waatubuilaih. Wassalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh

Senin, 13 November 2017

Allah menegur karena Allah Sayang Hambanya

Bismillahirrahmanirrahim. Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh. Pada kesempatan kali ini saya akan menjelaskan buah kecil yang insyaallah bermanfaat bagi anda yang saat ini sedang membaca. Yuk simak.

Kadang kala, kita merasa bahwa setiap ujian yang diberikan pada-Nya adalah nasib buruk. Padahal, dalam Al-Qur'an telah disebutkan dalam Q. S. 89: 15-16 tentang masalah ini. Sebenarnya, maksud dari ujian yang Allah berikan itu ada 2 jenis. Yang pertama karena azab dan yang kedua karena cinta. Sekarang, tinggal dimana letak derajat kita di mata Allah saat diberi ujian. Mudah-mudahan, kita selalu menjadi bagian yang dicintainya. Aamiin.

Jikalau Allah memberi ujian karena cinta, maka ia masih sayang pada kita dengan menegur kita dengan caranya yang tak terduga. Allah menegur kita agar kita kembali menyembah-Nya. Tapi setelah ujian selesai tetap istiqomah beribadah ya. Sesungguhnya Allah lebih menyukai ibadah yang istiqomah walau sedikit, dibanding ibadah yang banyak namun tidak terus menerus.

Nah, bagaimana nih? Apakah kita sudah termasuk hamba yang dicintai Allah? Semua tergantung pada pilihan kita masing-masing.

Itu saja buah kecil yang dapat saya sampaikan kali ini. Kritik dan saran sangay membangun bagu penulisan ke depannya. Subhanakallahumma wabihamdika asyhadualla illaha illa anta astaghfiruka waatubuilaih. Wassalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh.