Cari Karya

Rabu, 17 Februari 2021

Road to Bright Scholarship #1

Perjalanan itu kumulai sejak akhir tahun 2018. Hari itu tidak ada yang aneh, seperti kebanyakan remaja aku sedang asyik bersenda gurau dengan teman-temanku. Beberapa mulai terpecah dengan topik masing-masing. Menyisakan aku dan salah satu temanku yang saling membisu. Tanpa aba-aba, ia menyodorkanku pengumuman untuk mengikuti salah satu seleksi beasiswa. Awalnya aku ragu, karena kampus yang dituju merupakan PTS prestisius. Apalagi, rekam jejak akademik diri ini tidak sebagus temanku. Namun, tekad temanku yang begitu menggebu meyakinkan diri untuk mau mencoba hal baru.

Dan perjalanan itu terus berlanjut sepanjang tahun 2019. Aku melampiaskan kegagalan di PDSS dengan mendaftar banyak beasiswa. Mengesampingkan sedikit ego untuk cadangan jika saja jurusan yang kuidamkan menolak di SBMPTN atau jalur mandiri. Nihil hasilnya. Sampai pengumuman SBMPTN perjalanan seleksiku hanya sampai di tahap wawancara bahkan tes tulis. Beruntungnya aku lolos di pilihan kedua SBMPTN.

Kau tahu apa yang paling kutakutkan saat diizinkan untuk mengenyam pendidikan lebih tinggi dibanding orang tua? Pertama, aku takut mengecewakan mereka. Aku merasa gagal jika gelar sarjana ini hanya sebatas gelar. Kedua, aku anak pertama. Sudah menjadi aturan tidak tertulis sebagai seorang sulung untuk bisa membantu orang tua dalam meringankan biaya pendidikan adik-adiknya. Aku takut. Perjalananku mengenyam pendidikan di kampus terhenti karena uang. Dan bayangan itu seketika menghampiri di semester 2. Lebih cepat dari dugaanku. Benar-benar tidak kusangka.

Awalnya aku merasa aman karena saat pengumuman UKT baik umi atau abi tidak keberatan dengan nominal yang tertera. Namun Allah Maha Baik karena masih memberi kami cobaan di awal tahun dengan mendatangkan banjir. Aku rasa tidak perlu disebutkan seberapa besar kerugiannya, tapi akibatnya aku baru sanggup membayar UKT di detik-detik setelah masa perpanjangan bayar UKT.

Aku tidak tahu harus bersikap bagaimana saat itu. Apalagi Allah menguji kami lagi dengan kepergian nenek dari umi. Untuk pertama kalinya, aku melihat sosok wanita yang begitu tegar kini menangis di rumah almarhumah. Abi menggandeng tangan umi mesra. Perjalanan Bekasi-Kebumen tidak mampu menahan sanak saudara untuk mengubur nenek yang sering kusapa “simbah”. Aku tidak kuat. Namun air mata ini baru tumpah ketika melihat kuburan nenek dan kakek berdampingan keesokan harinya.

Belum selesai, perjalanan yang tidak gratis dan penuh pilu itu harus dibayar dengan panggilan dari advokasi prodi. Mereka khawatir aku tidak bisa membayar sampai waktu yang ditentukan saat itu. Singkat cerita diri ini pergi ke bank dengan uang yang mungkin orang tuaku pinjam entah dari saudara yang mana. Sungguh, sangat tidak rela membayar uang sebegitu banyak demi pendidikanku saja. Sedangkan, usaha orang tua kalang kabut dan harus mulai dari nol sejak banjir awal tahun.

Maret hingga April, aku mendapatkan tiga info beasiswa. Segera, aku mendaftar ketiganya. Ah tidak, salah satu beasiswa tidak sanggup kuselesaikan pendaftarannya karena syarat yang rumit dan tenggat waktu pendaftaran yang mepet. Alhamdulillah, kedua beasiswa yang kuperjuangkan lolos seleksi administrasi.

Namun, tidak semuanya berjalan mulus. Satu beasiswa kandas di tahap akhir yaitu wawancara. Sempat pupus harapan, aku berusaha untuk tetap semangat menghadapi wawancara di beasiswa terakhir. Namun aku tidak lagi banyak berharap. Mengingat, sudah sekitar tujuh beasiswa kudaftarkan kandas di tahap wawancara bahkan administrasi.

Tanggal 23 Mei 2020 menjadi hari bersejarah bagiku. Karena Alhamdulillah, aku lolos Smart Scholarship! Ya beasiswa terakhir yang kuperjuangkan. Saat itu, aku sampai histeris mengetahui info tersebut. Awalnya aku begitu pesimis. Sainganku hampir 300 mahasiswa UNJ ditambah yang memiliki hafalan akan diprioritaskan. Apa dayaku ini yang saat itu tidak memiliki pun 1 juz hafalan. Dari sana perjuangan belum sepenuhnya selesai, mengingat masih ada Bright Scholarship yang harus dicoba. Siapa tahu, kesempatanku di sini? Tidak ada yang tahu.

Manfaat yang kudapatkan berupa uang saku sebesar 500 ribu sebulan dan pembinaan pengembangan diri. Ah iya, dan relasi sebenarnya. Tapi sayang poin itu kurang terasa karena pembinaan virtual sehingga minim interaksi. Membayangkan memiliki puluhan teman baru di antara 100 orang penerima Smart Scholarship. Pasti sangat seru.

Seleksi Bright Scholarship dimulai akhir Agustus. Beberapa hari setelah insiden handphone milikku hilang di kereta arah Depok. Aku mengurus segala pemberkasan melalui handphone adikku. Semua berkas harus kufoto ulang karena semuanya tersimpan di galeri lama. Bahkan aku mengetahui infonya sedikit terlambat dibanding teman-teman yang lain. Aku juga bertanya kepada beberapa temanku sesama awardee Smart Scholarship.

Perjuangan tetap perjuangan. Belum lagi esai dengan minimal 1000 kata. Hal itu menjadikannya rekor esai terpanjang yang pernah kubuat. Semua berkas berhasil kukirim di detik-detik tenggat waktu. Sempat pesimis. Karena persiapan yang kulakukan tidak semaksimal Smart Scholarship. Terlebih, sainganku adalah sesama awardee yang pastinya merupakan orang-orang hebat karena berhasil lolos dan menerima beasiswa tersebut.

Wawancara lagi. Aku fokus memahami esaiku. Ya, tulisan abstrakku yang lebih banyak bualannya dibandingkan visi misi untuk kemajuan Indonesia. Sesekali aku merutuki diri ini. Apa yang kutulis ini, hah?!

Hari wawancara aku mempersiapkan sematang mungkin Harus tampil segar dan berusaha lebih cantik dari biasanya. Aku bahkan sedikit merias diri. Entah kenapa membuatku lebih percaya diri menghadapi wawancara. Saat giliran, aku gemetar bukan main. Blank aku rasa. Tapi kuusir pikiran itu jauh-jauh. Berpikir itu hanya asumsi saja. Semua pikiran masih ada di celah otak entah di bagian mana.

Pikiran-pikiran positif itu membantu banyak saat wawancara berlangsung. Meski lagi-lagi, aku sempat down saat ditanya hafalan yang dimiliki. Aku berusaha menjawab sebaik mungkin dengan mengatakan akan berusaha menambah hafalan jika diterima. Sisanya sedikit cemas, berusaha tetap menjawab tiap pertanyaan seprofesional mungkin. Walau tetap masih ada yang harus dievaluasi dari wawancara tersebut. Ya, aku sudah mencoba semaksimal mungkin paling tidak. Allah yang akan menyelesaikan akhirnya akan seperti apa.

Alhamdulillah kali ini Allah memberikanku kesempatan untuk berkembang bersama 11 orang hebat lainnya. Berasrama dan belajar banyak hal sembari tidak melupakan kewajiban berkuliah. Jika dipikir-pikir, seperti tidak mungkin. Tapi jika Allah sudah berkehendak segalanya menjadi mungkin dalam sekejap. Manfaat yang kuterima berupa uang saku sekitar 900 ribu dan pembinaan rutin. Ada begitu banyak pembinaan, mulai dari tahfidz, tahsin, prestasi, dll.

Wah, pasti pada enggak sabar ya sama tips lolos beasiswa Bright Scholarship? Simak di unggahan selanjutnya ya, hehe. Karena sudah terlalu panjang nih. Terima kasih telah membaca sampai akhir. Jangan lupa dukung aku dengan berlangganan blog ini dan follow Instagram @firdasmanad ya.

4 komentar:

  1. Keren nih cerita nya! Terlampau nyata kisah bahagia dan haru nya tersampaikan dengan baik! Semangat terus kakak penulis xixi ditunggu lanjutannya! Oiyaa sukses terus ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih, siapa pun kamu hehe. Karena emang dari kisah nyata, xixi. Sukses juga ya, kak!

      Hapus
  2. Keren banget perjuangan kamu, semangat terus ya, perempuan dan menjadi anak pertama adalah takdir antara hitam dan putih 🖤

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih, semangat kita untuk terus berjuang 💙

      Hapus