Perjalanan itu kumulai sejak akhir tahun 2018. Hari itu tidak ada yang aneh, seperti kebanyakan remaja aku sedang asyik bersenda gurau dengan teman-temanku. Beberapa mulai terpecah dengan topik masing-masing. Menyisakan aku dan salah satu temanku yang saling membisu. Tanpa aba-aba, ia menyodorkanku pengumuman untuk mengikuti salah satu seleksi beasiswa. Awalnya aku ragu, karena kampus yang dituju merupakan PTS prestisius. Apalagi, rekam jejak akademik diri ini tidak sebagus temanku. Namun, tekad temanku yang begitu menggebu meyakinkan diri untuk mau mencoba hal baru.
Dan perjalanan
itu terus berlanjut sepanjang tahun 2019. Aku melampiaskan kegagalan di PDSS
dengan mendaftar banyak beasiswa. Mengesampingkan sedikit ego untuk cadangan
jika saja jurusan yang kuidamkan menolak di SBMPTN atau jalur mandiri. Nihil
hasilnya. Sampai pengumuman SBMPTN perjalanan seleksiku hanya sampai di tahap
wawancara bahkan tes tulis. Beruntungnya aku lolos di pilihan kedua SBMPTN.
Kau tahu apa yang
paling kutakutkan saat diizinkan untuk mengenyam pendidikan lebih tinggi
dibanding orang tua? Pertama, aku takut mengecewakan mereka. Aku merasa gagal
jika gelar sarjana ini hanya sebatas gelar. Kedua, aku anak pertama. Sudah
menjadi aturan tidak tertulis sebagai seorang sulung untuk bisa membantu orang
tua dalam meringankan biaya pendidikan adik-adiknya. Aku takut. Perjalananku
mengenyam pendidikan di kampus terhenti karena uang. Dan bayangan itu seketika
menghampiri di semester 2. Lebih cepat dari dugaanku. Benar-benar tidak
kusangka.
Awalnya aku
merasa aman karena saat pengumuman UKT baik umi atau abi tidak keberatan dengan
nominal yang tertera. Namun Allah Maha Baik karena masih memberi kami cobaan di
awal tahun dengan mendatangkan banjir. Aku rasa tidak perlu disebutkan seberapa
besar kerugiannya, tapi akibatnya aku baru sanggup membayar UKT di detik-detik
setelah masa perpanjangan bayar UKT.
Aku tidak tahu
harus bersikap bagaimana saat itu. Apalagi Allah menguji kami lagi dengan
kepergian nenek dari umi. Untuk pertama kalinya, aku melihat sosok wanita yang
begitu tegar kini menangis di rumah almarhumah. Abi menggandeng tangan umi
mesra. Perjalanan Bekasi-Kebumen tidak mampu menahan sanak saudara untuk
mengubur nenek yang sering kusapa “simbah”. Aku tidak kuat. Namun air mata ini
baru tumpah ketika melihat kuburan nenek dan kakek berdampingan keesokan
harinya.
Belum selesai,
perjalanan yang tidak gratis dan penuh pilu itu harus dibayar dengan panggilan
dari advokasi prodi. Mereka khawatir aku tidak bisa membayar sampai waktu yang
ditentukan saat itu. Singkat cerita diri ini pergi ke bank dengan uang yang
mungkin orang tuaku pinjam entah dari saudara yang mana. Sungguh, sangat tidak
rela membayar uang sebegitu banyak demi pendidikanku saja. Sedangkan, usaha
orang tua kalang kabut dan harus mulai dari nol sejak banjir awal tahun.
Maret hingga
April, aku mendapatkan tiga info beasiswa. Segera, aku mendaftar ketiganya. Ah
tidak, salah satu beasiswa tidak sanggup kuselesaikan pendaftarannya karena
syarat yang rumit dan tenggat waktu pendaftaran yang mepet. Alhamdulillah,
kedua beasiswa yang kuperjuangkan lolos seleksi administrasi.
Namun, tidak
semuanya berjalan mulus. Satu beasiswa kandas di tahap akhir yaitu wawancara.
Sempat pupus harapan, aku berusaha untuk tetap semangat menghadapi wawancara di
beasiswa terakhir. Namun aku tidak lagi banyak berharap. Mengingat, sudah
sekitar tujuh beasiswa kudaftarkan kandas di tahap wawancara bahkan
administrasi.
Tanggal 23 Mei
2020 menjadi hari bersejarah bagiku. Karena Alhamdulillah, aku lolos Smart
Scholarship! Ya beasiswa terakhir yang kuperjuangkan. Saat itu, aku sampai
histeris mengetahui info tersebut. Awalnya aku begitu pesimis. Sainganku hampir
300 mahasiswa UNJ ditambah yang memiliki hafalan akan diprioritaskan. Apa
dayaku ini yang saat itu tidak memiliki pun 1 juz hafalan. Dari sana perjuangan
belum sepenuhnya selesai, mengingat masih ada Bright Scholarship yang
harus dicoba. Siapa tahu, kesempatanku di sini? Tidak ada yang tahu.
Manfaat yang
kudapatkan berupa uang saku sebesar 500 ribu sebulan dan pembinaan pengembangan
diri. Ah iya, dan relasi sebenarnya. Tapi sayang poin itu kurang terasa karena
pembinaan virtual sehingga minim interaksi. Membayangkan memiliki puluhan teman
baru di antara 100 orang penerima Smart Scholarship. Pasti sangat seru.
Seleksi Bright
Scholarship dimulai akhir Agustus. Beberapa hari setelah insiden handphone
milikku hilang di kereta arah Depok. Aku mengurus segala pemberkasan
melalui handphone adikku. Semua berkas harus kufoto ulang karena
semuanya tersimpan di galeri lama. Bahkan aku mengetahui infonya sedikit
terlambat dibanding teman-teman yang lain. Aku juga bertanya kepada beberapa
temanku sesama awardee Smart Scholarship.
Perjuangan
tetap perjuangan. Belum lagi esai dengan minimal 1000 kata. Hal itu
menjadikannya rekor esai terpanjang yang pernah kubuat. Semua berkas berhasil
kukirim di detik-detik tenggat waktu. Sempat pesimis. Karena persiapan yang
kulakukan tidak semaksimal Smart Scholarship. Terlebih, sainganku adalah
sesama awardee yang pastinya merupakan orang-orang hebat karena berhasil
lolos dan menerima beasiswa tersebut.
Wawancara lagi.
Aku fokus memahami esaiku. Ya, tulisan abstrakku yang lebih banyak bualannya
dibandingkan visi misi untuk kemajuan Indonesia. Sesekali aku merutuki diri
ini. Apa yang kutulis ini, hah?!
Hari wawancara
aku mempersiapkan sematang mungkin Harus tampil segar dan berusaha lebih cantik
dari biasanya. Aku bahkan sedikit merias diri. Entah kenapa membuatku lebih
percaya diri menghadapi wawancara. Saat giliran, aku gemetar bukan main. Blank
aku rasa. Tapi kuusir pikiran itu jauh-jauh. Berpikir itu hanya asumsi saja.
Semua pikiran masih ada di celah otak entah di bagian mana.
Pikiran-pikiran
positif itu membantu banyak saat wawancara berlangsung. Meski lagi-lagi, aku
sempat down saat ditanya hafalan yang dimiliki. Aku berusaha menjawab
sebaik mungkin dengan mengatakan akan berusaha menambah hafalan jika diterima.
Sisanya sedikit cemas, berusaha tetap menjawab tiap pertanyaan seprofesional
mungkin. Walau tetap masih ada yang harus dievaluasi dari wawancara tersebut.
Ya, aku sudah mencoba semaksimal mungkin paling tidak. Allah yang akan
menyelesaikan akhirnya akan seperti apa.
Alhamdulillah kali ini Allah memberikanku kesempatan untuk berkembang bersama 11 orang hebat lainnya. Berasrama dan belajar banyak hal sembari tidak melupakan kewajiban berkuliah. Jika dipikir-pikir, seperti tidak mungkin. Tapi jika Allah sudah berkehendak segalanya menjadi mungkin dalam sekejap. Manfaat yang kuterima berupa uang saku sekitar 900 ribu dan pembinaan rutin. Ada begitu banyak pembinaan, mulai dari tahfidz, tahsin, prestasi, dll.
Wah, pasti pada enggak sabar ya sama tips lolos beasiswa Bright Scholarship? Simak di unggahan selanjutnya ya, hehe. Karena sudah terlalu panjang nih. Terima kasih telah membaca sampai akhir. Jangan lupa dukung aku dengan berlangganan blog ini dan follow Instagram @firdasmanad ya.
Keren nih cerita nya! Terlampau nyata kisah bahagia dan haru nya tersampaikan dengan baik! Semangat terus kakak penulis xixi ditunggu lanjutannya! Oiyaa sukses terus ya
BalasHapusMakasih, siapa pun kamu hehe. Karena emang dari kisah nyata, xixi. Sukses juga ya, kak!
HapusKeren banget perjuangan kamu, semangat terus ya, perempuan dan menjadi anak pertama adalah takdir antara hitam dan putih 🖤
BalasHapusMakasih, semangat kita untuk terus berjuang 💙
Hapus