Cari Karya

Kamis, 07 Juni 2018

Ramadhan Bersama Manda #22

Kue Manis untuk Hari Raya


Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Di sini siapa aja yang udah buat kue lebaran? Yuk, ikutan Manda buat kue bareng mamanya. Eits.. jangan lupa petik pesan moral yang terselip di dalamnya ya 😉


Jika aku tidak berniat bergadang, mungkin aku tidak akan bisa tidur hanya karena memikirkan kue yang akan ibu buat tahun ini. Apa spesialnya lebaran tahun ini? Aku hampir larut dengan pernak-pernik Ramadhan. Al-Qur’an yang tergeletak di laci tepi tempat tidur menyadarkanku. 

Kuhampiri Al-Qur’an dibungkus kain biru langit, lantas kembali bertilawah.
Sekitar pukul 01:30, aku menutup Al-Qur’anku, berniat mendirikan tahajud. Saat aku melewati dapur, terdengar suara-suara di sana. Kuhampiri sumber bunyi tersebut, rupanya ibu.

“Ngapain, ma?” ibu sedikit terkejut mengetahui keberadaanku.

“Eh? Enggak, semalem mama lupa masak nasi, jadi mama mau masak nasi.”

“Ohh. Berarti dari tadi mama gak tidur?” aku bertanya lagi, penasaran.

“Enggak lah. Sayang banget kalo ninggalin malam ini.”

“Terus kenapa gak i’tikaf aja, ma? Apa papa gak ngizinin? Dan, kenapa papa gak i’tikaf aja?” aku langsung menghujani ibu dengan berbagai pertanyaan yang masih membekas.

“Sayang, lailatul qadar bukan hanya perkara i’tikaf atau enggak, i’tikaf cuman salah satu ibadah yang bisa dilakukan saat lailatul qadar. Toh, kalo gak i’tikaf bukan berarti gak dapet kemuliaan malam seribu bulan.” Ibu malah menjelaskan yang lain, bukan menjawab pertanyaanku.

Dia membelai rambut lurusku dengan lembut. Sampai aku lupa dengan gundahku yang masih ingin beri’tikaf. Aku pamit pergi, bilang mau sholat tahajud.

Dalam do'a di sepertiga malam terakhir, aku meminta mendapatkan kemuliaan lailatul qadar. Tak lupa juga istighfar dan puji syukur kupanjatkan pada-Nya. Selesai shalat, aku melanjutkan tilawahku sampai ibu mengajakku untuk sahur.

Paginya, ketika ibu selesai menyiapkan segala keperluan kantor ayah, ibu mengajakku membuat kue. Ia bergegas mengeluarkan bahan-bahan kue. Aku mulai menebak kue yang akan dibuat dari bahan-bahan yang ibu gunakan. Sejauh ini ibu mengeluarkan bahan-bahan umum, ada tepung terigu, telur, mentega.

“Sebenarnya mama mau bikin kue apa sih?” penasaranku sudah tak terbendung.
“Mama mau buat nastar keju.” Jawab ibu sambil mengeluarkan selai nanas dan keju dari kulkas.

Mataku langsung berbinar kala melihat keju cheddar. Bara nun jauh di sana masuk ke tubuhku, membakar semangat untuk menyelesaikan kue ini. Aku mulai membantu ibu mencampur bahan-bahan. Ibu memegang mixer dan mencampur bahan, sementara aku satu per satu menambahkan bahan yang ibu minta.

Sesaat, adonan kue siap dibuat. Kami mulai membuat bulatan yang diisi selai nanas hingga dua loyang penuh. Saat nastar baru setengah matang, dengan semangat aku mengeluarkan loyang dari oven lantas menabur parutan keju. Loyang kembali dimasukkan. Sembari menunggu, kami membuat nastar lagi dari adonan yang masih tersedia.

Tak terasa, nastar keju buatan kami selesai. Alhasil, lima stoples penuh dengan nastar keju. Aku memandang bangga kue-kue itu, rasa-rasanya aku bisa saja buka toko kue sembari kuliah beberapa tahun lagi. Sayang sekali bakat ibu yang terpendam luput karena kesibukan mengurus kelima anaknya. Walau terkadang ia menerima pesanan kue dari para tetangga.

“Manda, ini yang tiga toples tolong taro lemari ya, nanti kalo adek-adek kamu tau langsung abis  sama mereka. Nah, yang dua kasih tetangga sebelah rumah. Mama mau beresin dapur dulu.” Aku mengangguk, segera mengerjakan yang diminta ibu.

Sekembalinya aku dari mengantar kue, ibu tengah memindahkan kue-kue manis untuk hari raya ke stoples. Total ada tujuh tipe kue, sudah termasuk buatan ibu dan aku. Hampir saja aku membayangkan rasa dari setiap kue itu. Apalagi kue dengan isi selai nanas dan taburan keju di atasnya. Aku memilih membantu ibu ketimbang mengkhayalkan tanggapan lidahku.

“Ma, aku bantu ya?” aku menawarkan tenaga.
“Iya. Oh iya, besok malem kamu ajak adek kamu buat tilawah ya. Kalo dia gak mau tilawah bareng, sesekali kamu cek ke kamarnya. Hitung-hitung biar mereka biasa.” Tugas sebagai anak sulung kembali menghinggapi pundakku.
“Iya, ma.” Aku menjawab singkat.

Bersambung...


Sekian dulu ya cerbung Ramadhan Bersama Manda kali ini. Tunggu kisah-kisah selanjutnya. Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar