Cari Karya

Sabtu, 02 Juni 2018

Ramadhan Bersama Manda #16

Adik-Adik Manda


Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Postingan ini gak sengaja keapus, jadi dipos ulang. Harap maklum kalo tanggalnya sama 😥


Di perjalanan, wajah kedua adik kecilku yang mewarnai suasana rumah terbayang. Entah tangisan atau gelak tawa mereka. Itu semua menciptakan rumah terasa pelangi, warna-warni keceriaan yang tidak ditemukan di luar sana. Kebimbangan tiba-tiba menggelayut di pikiranku. Aku memikirkan adik-adikku yang, entahlah.

Baru kurasakan. Aku mulai jauh dari adik-adikku sejak.. Remaja mungkin. Kami mulai jarang bermain. Intensitas melakukan kegiatan bersama juga berkurang. Kami hanya bersama saat shalat berjamaah, sarapan, dan makan malam. Sisanya, kami seperti tidak saling mengenal. Belum tentu setiap hari berkomunikasi. Aku mulai menyadarinya.

Sampai di rumah, aku ke kamar adik kecilku. Saat aku ingin membuka pintu, seseorang dari dalam membuka pintu. Ibu. Ibu baru keluar dari kamar kedua adik kecilku.

“Mereka baru aja tidur. Kamu darimana?”
“Dari rumah temen, ma.” Ibu hanya ber-oh ria.

Aku membalikkan badan, memilih shalat dzuhur terlebih dahulu. Setelahnya, aku menuju kamar adik pertamaku. Sebelum itu, kuketuk pintu kamarnya terlebih dahulu. Tak lama, sosok laki-laki tanggung berbadan tambun yang kini tingginya melampaui tinggiku. Baru kusadari hal sepele seperti ini.

“Kenapa, kak?” aku membisu, tak tahu harus menjawab apa.
“Hmm. Main yuk.” Ajakku.
“Main apa?”
Werewolf gimana?”
Game yang di-line itu?” Aku mengangguk.

Berdua, kami menuju kamar adikku yang lain. Perawakan tinggi kurus dengan rambut sedikit bergelombang keluar dari kamar itu. Adikku yang kedua tumbuh menjadi gadis berperangai elok. Ia menggebu-gebu saat diajak bermain. Pasti dia merindukan momen-momen seperti ini.

Kami berkumpul di ruang tengah. Aku dan Rizki — adikku yang pertama, sudah memegang handphone masing-masing. Layla — adikku yang kedua, baru kembali dari dapur, dia meminjam handphone ibu. Kami bermain dengan suka ria, walaupun kami tidak bermain secara fisik, tapi suasana kebersamaan begitu terasa.

Ruang tengah serasa milik kami bertiga. Naungan kebahagiaan menyelimuti ruangan ini. Kami bermain sampai adzan ashar, aku mengingatkan mereka untuk mengakhiri game sebentar. Begitu penurutnya mereka sekarang, lebih terlihat dewasa. Walaupun mereka meminta satu sesi game lagi, namun pada akhirnya mereka mau mengikuti apa yang kusuruh mereka berbuat baik.

Besoknya, kami melakukan hal yang sama sampai menjelang adzan dzuhur. Hari Jum’at, Rizki harus ke masjid untuk shalat Jum’at. Kadang, di sela-sela permainan, Layla menceritakan kenangan-kenangan masa lalu. Aku dan Rizki hanya tersenyum bahagia.

Pukul 09:00, kami benar-benar istirahat bermain, fokus mengenang kejadian waktu lampau. Canda tawa, sedih, sampai bahagia, hingga terbentuk lesung pipit di wajah Layla.
Layla kehabisan cerita, senyap sempat mengurung kami, hingga aku membicarakan topik yang sedikit serius.

“Kalian 'kan mau masuk SMA sama SMP, udah kepikiran belum mau masuk mana? Tinggal hitungan hari loh.” Rizki dan Layla saling lirik, tak tahu harus menjawab apa.

“Kok jadi pada diem-dieman?” adikku yang berumur 3,5 tahun datang menghampiriku, meminta duduk di pangkuan.

“Kak, Si Habib 'kan udah bisa baca alif-ba-ta.” Layla berusaha mengalihkan topik, melihat Habib datang.

“Gak usah ngalihin topik deh.” Kuputar bola mataku malas.

Geram. Aku menyodorkan daftar SMP di kota kami, melalui handphone-ku. Aku juga mencarikan daftar SMA dan SMK melalui handphone Rizki. Mereka membaca saksama.

Masing-masing dari mereka menjatuhkan pilihannya. Layla ingin sekolah yang paling dekat dengan rumah. Aku hanya mengangguk seadanya. Rizky, dia malah mau satu sekolah denganku, walaupun aku tahun depan lulus. Aku menanyakan alasannya.

“Gapapa.” Hanya itu kata yang keluar dari mulutnya.

Kami lebih dekat sekarang. Apa pun kejadiannya, sekalipun bertengkar harus terjadi, aku senang. Kami lebih dekat sekarang. Mungkin karena disibukkan dengan agenda rapat, atau pertemuan dengan anggota, atau mengurus rohis dan osis, dan lain hal. Intensitas kami bercanda ria berkurang. Omong kosong mengobrol, saat sampai rumah, aku disibukkan dengan tumpukkan tugas yang harus dikumpulkan keesokan harinya. Mana waktuku untuk keempat adikku?

Semua terasa berbeda kini. Tiap detik terasa berharga. Mungkin, saat tahun ajaran baru dimulai, aku harus menyiapkan waktu untuk mereka. Intensitas bertemu bukanlah patokan dalam suatu hubungan, tapi bagaimana setiap pertemuan menjadi sangat berkualitas.

Aku menyiapkan waktu untuk mereka setiap pekan. Sekadar ke bioskop menonton film yang ingin mereka tonton, atau hanya ke kedai es krim di ujung jalan rumah kami.

Saat Dzuhur, aku pamit ke kamar. Rizki bersiap ke kamar mandi, Layla memilih bermain dengan adik kecil kami. Aku meminta maaf, bilang ada kepentingan. Al-Qur’anku semakin lama hanya tergeletak tak tersentuh. Nanti malam merupakan malam yang istimewa. “Aku tak boleh menyia-nyiakannya.” Teguhku dalam hati.

Bersambung...


Postingan yang #17 nanti aku post. Mohon maaf atas ketidaknyamanan ini. Sekian. Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar