Cari Karya

Kamis, 31 Mei 2018

Ramadhan Bersama Manda #15

Yang Maha Mengetahui


Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Penasaran, kenapa Manda khawatir karena melihat pengumuman di handphone-nya? Yuk baca..


Adzan Maghrib berkumandang sangat jelas, kami berbuka serentak. Sembari menunggu antrean wudhu, aku mengecek handphone-ku. Wajahku mendadak pucat pasi, ibu sampai khawatir. Aku melihat kembali pengumuman itu, entah bagaimana caraku mengatasinya.

Aku dan ibu langsung pulang setelah shalat Maghrib berjama’ah di masjid. Sepulangnya kami, ibu langsung menyiapkan makan malam yang sedikit terlambat. Aku berjalan ke kamar adik kecilku, membawa mereka ke meja makan. Di kamar, mereka masih tertidur pulas. Sepanjang sore mereka berdua tidur nyenyak, bak putri tidur.

Usai makan malam, seperti biasa kami sholat Isya’ berjama’ah. Aku langsung ke kamar setelah itu, membuka handphone. Kubaca lagi pesan itu, aku tak salah baca.

“Assalamu’alaikum, Manda. Besok ketemu kakak ya, jam 9 di rumah kakak.” 
“Wa’alaikumussalam. Insyaallah.” 

Entah apa tujuan kak Kirana mengajakku bertemu kali ini. Sisa malam kuhabiskan dengan menduga-duga, lupa dengan targetan tilawah. Aku mengambil Al-Qur’an berbalut kain biru langit sedikit malas. Kantuk mulai menggelayut manja. Tak sadar, aku tidur sambil mendekap Al-Qur’an mungilku.

Pagi kembali menyapa. Aku bersiap berangkat ke rumah kak Kirana. Saat sudah siap, aku menelepon kak Kirana.

“Halo. Assalamu’alaikum, kak Kiran.”
“Wa’alaikumussalam. Ada apa, Man?”
“Kak, aku udah siap, kalo aku berangkat sekarang gapapa 'kan?” aku menengok ke arah jam yang masih menunjukkan pukul 08:30.
“Oh. Ya udah gapapa.”
“Ok. Aku otw, kak.”

Semilir angin berembus lemah. Satu dua burung berkicau melewatiku. Aku memilih menurunkan kecepatan motorku dari kelajuan normal. Rumah kak Kirana tidak begitu jauh dari sekolah. Bertemu dengannya seperti akan menghadapi ujian fisika. Berat. Apalagi, setelah kuingat-ingat, beliau memang lulusan fisika.

Rumah kak Kirana tepat di depan mataku saat ini. Aku mengucap salam sedikit kencang. Sosok anggun berperawakan mungil muncul dengan senyum hangat serupa matahari terbit. Aku membalas senyumnya dengan senyuman tipis. Canggung. Pertemuanku dengan kak Kirana tak seperti biasanya.

“Ada apa kak?” aku bertanya to the point.
“Buru-buru amat. Tanya-tanya kabar dulu lah.”
“Gimana kabarnya?” kak Kirana bertanya setelah sebelumnya hanya sunyi memerangkap kami.
“Alhamdulillah, baik.”

Kak Kirana mulai menanyakan kabar keluargaku. Orang-orang terdekatku juga ia tanyakan kabarnya. Kami sempat menyerempet pembicaraan lain. Aku masih belum tenang, entah apa yang nanti akan ditanyakan kak Kirana pada akhirnya. Sampai akhirnya ia mulai menanyakan inti percakapan.

“Syiar apa kabar?”
“Ya, begitulah kak.”
“Coba jelasin.” Kak Kirana bertanya tegas disertai senyuman.
“Ya, gitu deh kak. Sebenarnya sejauh ini baik-baik aja. Ada sih hambatan, tapi masih bisa ke-handle.”
“Tapi kok kayaknya kamu punya masalah.”

Kak Kirana tahu betul bagaimana mengontrol emosinya agar tetap stabil. Aku pasti berkali-kali gugup karena ini. Sepertinya dia juga belajar ilmu psikolog hingga dia bisa tahu apa-apa dari diriku.

“Aku ngerasa berat aja kak. Bukan karena rohisnya. Tapi karena aku harus ngejalanin dua amanah di rohis sama osis. Kadang, aku ngerasa kayak gak bisa nyeimbangin keduanya.” Aku menuturkan sejelas yang kubisa.

Kak Kirana hanya tersenyum manis. Sepertinya dia siap menembakkan pelurunya kali ini. Pistol yang sudah ia siapkan sejak tadi bersedia memuntahkan peluru demi peluru.

“Gini loh, Man. Setiap posisi itu entah bagaimana caranya bisa disematkan ke kita, merupakan hal atau takdir yang memang harus kita jalanin. Suka gak suka, bisa gak bisa. Mungkin kamu ngerasa berat karena punya jabatan banyak, tapi Allah selalu tahu kemampuan hamba-Nya. Kalo kamu dikasih dua jabatan, berarti Allah yakin kamu bisa, Man. Allah itu Yang Maha Mengetahui. Dia tahu kamu bisa.”

Aku memikirkan kata-katanya. Aku hanya menunduk, sesekali melihat wajahnya yang tidak bisa ditebak.

“Kakak diterima di fisika unj itu takdir, padahal kakak pengen kuliah yang jauh. Awalnya kakak juga ngerasa berat, tapi di beberapa situasi kakak ngerasa lebih baik kuliah di sini daripada kuliah di tempat jauh. Kamu juga pernah cerita, sekolah kamu yang sekarang bukan impianmu bukan? Tapi coba pikir-pikir lagi, inget-inget lagi, mungkin ini yang terbaik. Allah, Dia Yang Maha Mengetahui.” Sambung kak Kirana.

“Hmm, kak. Jadinya, kakak ngapain nyuruh aku ke sini?” aku mengganti topik.

“Udah kok. Kakak cuman pengen tau kabar kamu doang.” Kak Kirana menjawab sambil sedikit tertawa.

Setelah waktu terus berjalan. Kecanggungan mereda, kak Kirana mulai membicarakan hal-hal yang lebih santai. Aku terbawa suasana kehangatan. Bagiku, dia bukan hanya seorang mentor, tapi kakak. Kakak yang baik, yang juga menginginkan kebaikan untuk adiknya. Seperti tadi, dia ingin aku menjadi visioner baik di rohis maupun osis.

Aku berpamitan saat Dzuhur. Khawatir ibu kerepotan dengan kedua adik kecilku. Kak Kirana tersenyum, mengizinkan. Kali ini, kami tidak hanya bersalaman, kami berpelukan. Seperti pelukan adik-kakak yang lama tak berjumpa.

Di perjalanan, wajah kedua adik kecilku yang mewarnai suasana rumah terbayang. Entah tangisan atau gelak tawa mereka. Itu semua menciptakan rumah terasa pelangi, warna-warni keceriaan yang tidak ditemukan di luar sana. Kebimbangan tiba-tiba menggelayut di pikiranku. Aku memikirkan adik-adikku yang, entahlah.

Bersambung...


Sekian. Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar