Cari Karya

Minggu, 27 Mei 2018

Ramadhan Bersama Manda #11

Mempererat Tali Silaturahmi


Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Punya orang terdekat yang udah meninggal? Yuk simak lanjutan cerbung berikut ini. Bagaimana sebaiknya kita bersikap?


Matahari tepat di tengah-tengah saat aku mengakhiri perenungan minggu ini. Aku mulai menyisir kontak di handphone. Menanyakan kabar satu per satu, dan mengajak bertemu sore nanti. Nihil. Semua sibuk. Kebanyakan sudah memiliki agenda buka bersama, yang lainnya di luar kota atau memikirkan ulangan besok (sebagian sekolah belum ujian akhir).

Ke mana lagi aku akan pergi? Tiba-tiba dering teleponku berbunyi nyaring. Aku melihat nama yang tertera di layar, Nisa. Nisa? Kenapa dia? Sejak pertama aku mengenalnya dia tidak pernah meneleponku, bahkan dengan nomor telepon, bukan via aplikasi pesan instan.

“Assalamu’alaikum, Man.” Sapanya di ujung telepon.

“Wa'alaikumussalam. Ada apa Nis?”

“Ini bukan Nisa. Aku sepupunya, Aisyah. Ada berita duka yang harus aku sampein. Adik kedua Nisa meninggal dunia karena sakit.”

“Innalilahi wa inna ilaihi raji’un. Sekarang jenazahnya udah diapain kak?”

“Jenazah lagi dimandiin.”

“Oh gitu ya kak, makasih infonya. Aku berangkat ke sana sesegera mungkin.”

Aku bergegas pergi saat selesai menyiapkan diri. Pakaian khas hitam-hitam ala melayat aku kenakan. Rumah Nisa tidak terlalu jauh dari rumahku. Tak lama, aku sampai di rumahnya.
Halaman rumahnya dipenuhi berbagai kendaraan. Keluarga besar Nisa berkumpul, ada beberapa teman dekatnya pula. Sepeda motorku aku masukkan ke wilayah halaman, turut memenuhinya. Di dalam, adik Nisa sedang dikafani, bersiap dishalatkan ba'da ashar.

Aku menghampiri Nisa yang sedang sesenggukan di ujung ruangan. Ada beberapa saudaranya di sana.

“Nisa.” Sapaku lemah.
Ia tak memedulikan panggilanku. Salah satu saudaranya melihatku.

“Kamu Manda ya?”

“Eh? Kak Aisyah ya?” aku mengenali suaranya.

“Iya. Coba kamu tenangin dia deh. Kami, sepupu-sepupunya udah nyoba dari tadi, tapi gak bisa-bisa.

“Eh, aku bukan temen paling deketnya kak. Nisa lebih deket sama beberapa temen SMP-nya daripada aku, aku cuma temen rohis.

“Tadi mereka udah nyoba, tapi gak bisa. Siapa tau sama kamu bisa.”

“Ok.”

Para sepupu Nisa meninggalkannya. Kini hanya ada Nisa dan aku. Aku mendekatinya.

“Nisa.” Aku mengulang sapaanku.

“Jika kau berusaha menenangkanku, lebih baik kau pergi, kamu tidak tahu rasanya menjadi diriku.” Nisa membalas ketus.

“Hei. Kaputku. Kamu kaput 'kan? Yang biasa nenangin orang kalo lagi emosi, entah marah entah nangis. Dan, coba kuingat sebentar, kemaren siapa ya yang nenangin salah satu anggota rohis yang dapet berita duka?”

“Tapi ini beda, Man.” Nisa sedikit menjerit.

“Apanya yang beda? Malahan, tuh anak rohis yang meninggal ibunya. Bukannya aku bandingin, tapi ya, kamu harus kuat, Nis.”

“Kamu gak tau rasanya, Man.”

“Aku emang gak tau, tapi waktu itu kamu juga bilang kayak gitu ke anak rohis.” Aku membalasnya.
Nisa mendengus kesal, tidak memedulikanku.

“Aku tahu kamu sedih, tapi kamu harus inget, kita gak boleh berduka lebih dari tiga hari.”

“Lebih baik aku pergi.”

Nisa meninggalkanku sendiri di sini. Dia menerobos beberapa kerumunan menuju kamar pribadinya. Kak Aisyah menghampiriku melihat Nisa pergi.

“Kamu bilang apa ke dia?”
“Gak banyak, kak. Hmm, mungkin dia perlu waktu sendiri, baiknya dibiarin dulu aja, kak.” Dia hanya mengangguk.

Aku ikut menyolatkan jenazah. Nisa turut menyolatkan, dia disampingku. Sedikit sesenggukan di sela-sela shalat berlangsung. Selesai shalat, jenazah langsung dibawa ke kuburan. Aku menyertai jenazah menuju kuburan. Lokasi pemakaman tak begitu jauh dari rumah Nisa.

“Nisa, aku kangen kamu yang kemaren.” Aku memulai obrolan sepanjang jalan kembali ke rumah Nisa.

Sedari tadi aku sibuk memilih kata yang pas. Nisa hanya diam di boncengan, tak berkomentar.

“Ingat waktu kita berantem kalo lagi ngomongin sekbid? Dulu banget, waktu kamu di OSIS. Belum lama, kita juga masih suka ribut kalo ngomongin rohis, pas kamu udah keluar dari OSIS dan sekarang jadi kaput. Nis, setiap yang kita berantemin itu masalah yang harus ditemukan solusinya. Setiap masalah memang selalu menciptakan emosi baru. Kepulangan adek kamu juga masalah, emosi yang terjadi ya.. kita semua sedih. Solusinya apa? Kita harus sikapin dengan baik, lebih mendekatkan diri sama Allah karena kematian akan menghampiri semua makhluk hidup, tinggal menunggu siapa yang duluan dijemput. Kita juga gak boleh terlalu lama berduka, masa depan menanti di depan sana, hidup kita terlalu sia-sia jika hanya menangisi kepergian orang tersayang. Pun, mereka yang pergi mendahului kita pasti ingin kita giat beribadah giat belajar setelah kepergiannya.” Rentetan kalimat tersebut mengalir begitu saja.

Lagi-lagi Nisa hanya terdiam. Sepertinya ia merenung, memikirkan ucapanku.

Sampai di rumah Nisa, kami bersiap berbuka. Aku ikut menyiapkan, beberapa makanan dibawa ke kamar Nisa. Dia memilih berbuka bersama sepupu dan teman terdekatnya.

Adzan Maghrib berkumandang jelas. Kami meneguk segelas air putih kemasan dan beberapa kurma. Aku pamit setelah shalat Maghrib berjama’ah, takut ibu dan ayah khawatir. Aku lupa memberi kabar.

“Man, makasih ya buat hari ini. Maaf juga tadi aku kasar sama kamu. Aku tau aku salah, sering-sering jadi reminder amalan aku ya.”

“Iya, sama-sama. Gapapa kok. Kamu juga jadi reminder proker-proker aku ya, aku suka lupa, hehe.”

“Iya.”
“Aku pamit dulu ya, takut dicariin orang rumah.”
“Iya.”

Sepanjang perjalanan pulang, tak sengaja Manda memperhatikan masjid-masjid di pinggir jalan. Beberapa di antaranya mulai pudar warnanya. Manda pun tahu betul bagaimana fasilitas beberapa masjid — kurang terawat. Baru kali ini Manda berpikir sedetail itu.

Bersambung...


Udah hari ke sebelas nih. Kritik dan saran dong. Bisa di kolom komentar atau @firda_abdllh di Instagram. Makasih. Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar